KUTANG Episode 1
TRIO MBAJUK: KUTANG
PROLOG
Pagi itu kampung mendadak geger. Beberapa lelaki tampak
kumpul di teras rumah Pak RT.
Matahari belum lagi tinggi, udara masih menyisakan hawa
dingin dari malam yang berlalu empat jam tadi.
“Tidak bisa dibiarkan terus kejadian ini, Pak Rete!” seru
Samamudin.
“Punya istriku juga hilang, Pak Rete,” ucap lelaki botak
klimis.
“Baru saja, ini tadi waktu berangkat ke sini, tetanggaku juga
kehilangan.” Yang lain berucap.
“Kejadian ini sudah berlangsung kurang lebih seminggu dan
kata orang yang pernah melihat, sosok itu menyelinap dari arah belakang rumah
penduduk.” Di akhir ucap, lelaki itu menghisap rokok di jepit jari.
Menghempasnya ke udara.
Bush!
“Aneh, belum pernah ini terjadi di kampung kita.” Timpal yang lain.
“Punya istrimu juga hilang, Rin?” tanya Pak RT, kepada Birin.
“Enggeh e, Pak.” (Iya, Pak). Birin memasang wajah cemberut.
“Istrimu?” tuding Pak RT ke arah Yanto.
“Sami, Pak. Kutange garwo kulo nggeh ical,” (Sama, Pak.
Kutang istri saya juga hilang), jawab Yanto.
“Ha, nggeh toh, Pak. Leres to niki, sanes guneman lan tanpo
bukti.” (Ha, benar toh, Pak. Benar, ‘kan sekarang, bukan gosip yang tanpa bukti).
Sarwono sumbang suara meyakinkan.
“Pokoknya saya mau kampung ini diadakan ronda malam,” usul Purnomo
dengan wajah serius.
“Rak ngono to, Dulur-dulur,” (Bukanya begitu, Saudara-saudara),
imbuhnya lagi memprovokasi..
“Bagaimana, Pak Rete?”
Pak RT hanya mengusap kening. Sedari tadi dia berkernyit. Info
warga pagi ini sungguh tak pernah dia pikirkan sebelumnya.
“Selain benda-benda istri kalian, apakah ada benda lain yang
juga turut hilang?”
Pertanyaan Pak RT dibalas saling tatap oleh warga yang
datang. Tampak mereka menggeleng, mengisyaratkan kalau tak ada benda lain yang
hilang di rumah mereka selain kutang.
“Tidak ada, Pak Rete.” Samamudin berkata setelah mendapat
kesimpulan kalau tidak ada benda lain, dibuktikan dengan gelengan kepala orang
yang ada di kiri dan kanannya.
“Aneh,” gumam Pak RT.
“Malah saya dengar bukan hanya barang-barang dalaman para
istri, beberapa kutang dan cancut milik anak gadis-gadis juga hilang, Pak
Rete.” Ucapan Siswanto membuat semua
mata mengarah kepadanya kini.
“Bukan aku loh, ya. Sory, ye, sory, ye,” tampik Siswanto
ketika dirasa semua mulai mencurigainya.
“Benar apa yang kamu katakan itu, Sis?”
“Ha, ya, benar toh, Pak Rete. Itu saya dengar dari tetangga
sebelah saya. Nah, tetangga sebelahnya lagi bercerita kalau sebelah dari
tetangganya kehilangan itu. Begitu cerita dari tetangga saya yang dia dengar
dari ....”
“Halah! Sampek riyoyo kupat gak entek iku ngko nek mbok turutne
terus ceritone. Intine ae ginio!” (Halah! Sampai lebaran ketupat tidak habis
itu nanti kalau kamu turut terus cerita tetanggamu. Intinya saja kenapa!), sambar
Subari yang memiliki perut gendut dengan pori-pori wajah seperti jeruk purut.
“Pokoknya inti ceritanya begitulah, Pak Rete,” singkat
Siswanto akhirnya.
“Kalau bisa malam ini kita sudah bagi tugas untuk ronda
kampung, Pak Rete. Jangan terus dibiarkan, takut semua warga makin resah.”
Mendengar itu, Pak RT hanya mengangguk-angguk, tampak
semburat setuju di wajahnya.
“Ya, sudah. Kita berkumpul di Masjid setelah magrib. Kita
langsung bagi jadwal serta membagi nama-nama yang bertugas.” Pak RT cepat
mengambil keputusan.
“Apa perlu saya sampaikan di Group WA saja, Pak Rete?” usul
Paiman selaku admin Grup Yasinan Bapak-Bapak Dusun Bangorejo.
“Iya. Iya, aku setuju. Kalau diundang ke Masjid, pasti banyak
yang tidak berangkat,” sambar Riyanto.
“La, ‘kan sekalian sembahyang berjamaah toh?”
“Itu, ‘kan katamu. Buktinya mana? Tiap magrib juga Masjid
kosong. Cuma ada Imam dan dua Makmum.” Riyanto yang rajin ke Masjid berkata sesuai
fakta kebenaran dan keadilan.
“La, aku pulangnya malam je.” Entah suara siapa.
“Magrib kadang masih di jalan.” Celetuk diakhiri kasak-kusuk.
“Aku juga, si Jago malah masuk ke kandang ayam tetangga yang
punya babon, repot sudah jadinya.” Ini suara Warsito.
“Kalau aku magrib salat di rumah. Maklum motor cuma satu
dipakai anakku kerja,” alasan Susilo.
“Ah! Sudah ... sudah! Kenapa malah bicara alasan
masing-masing. Kita ini mau rembuk masalah ini. Bukan melebar ke mana-mana!”
lerai Pak RT.
“Akan tetapi menurut saya, baiknya Pak Rete saja yang
keliling menyampaikan ini. Mungkin dengan begitu makin banyak warga datang ke
Masjid,” usul Birin.
“Repot, Rin. Kalau Pak Rete keliling sore masih banyak warga
yang belum pulang kerja. Mending disampaikan lewat WA saja. Bukan maksud ingin lancang,
Pak Rete, tetapi hemat saya untuk menyingkat waktu, tentu dengan penyampaian
yang jelas, saya pikir teman-teman yang lain akan sangat maklum. Ini sangat
penting, tetapi terserah Pak Rete. Saya hanya menyarankan saja.” Lelaki yang
sering dipanggil Kang Masdi sumbang saran.
“Ya, sudah, ya sudah. Biar itu nanti saya yang putuskan.
Sekarang berhubung waktu makin siang kalau kalian mau kembali bekerja saya
persilakan.” Pak RT masih terlihat mengusap peluh di dahi.
“Yo, balik, yo! Pokok ngko bengi bar magrib ae piye apike,” (Ayo,
pulang, ayo! Yang penting nanti malam sesudah magrib saja bagaimana bagusnya), ajak
Samamudin.
“Kalau begitu kami semua pamit, Pak Rete,” lanjutnya dengan
mengajak warga yang lain.
“Ayo, ayo!”
“Ayo.”
“Ayo.”
“Kami pamit, Pak Rete.” Suara Mbah Naryo sedikit cempreng.
“Ya, silakan.” Pak RT beranjak seraya melepas beberapa
tamunya dengan senyum ramah.
****
Masih saja terjadi pembicaraan di perjalanan pulang.
“Apa iya ada yang laku pesugihan di kampung kita ini, he?”
“Ah, aku rasa tak ada. La wong terlihat toh kalau di kampung
kita tak ada yang lebih kaya. Kismin semua.
“Terus mau dibuat apa coba?” tanya lelaki berbaju batik.
“Ya, mungkin saja untuk ....”
“Untuk apa?”
Mereka melewati jalan kerikil selebar empat langkah orang
dewasa. Satu pohon petai dengan banyak pendul tampak menggantung kekuningan.
Kicau terecok terdengar dari pohon pisang yang tak jauh dari mereka.
“Atau jangan-jangan ada yang berniat jahat di kampung kita,”
sambung Samamudin.
“Jahat bagaimana?” tanya Purnomo.
“Mau membuat celaka si pemilik barang.”
“Ah, masak iya.” Yanto tidak yakin.
“La kamu ini bagaimana toh, To. Benda-benda seperti itu bisa
dibuat apa saja, yang pasti pelakunya mempunyai niat jahat atau memang punya
niat dengan sarat harus mencuri barang dalaman perempuan. Piye to kamu ini. ”
“Dari mana, Bapak-bapak,” sapa Pondi, pemilik warung pinggir
jalan yang mereka lalui.
“Dari rumah Pak Rete, Kang!” seru Sarwono.
“La kok tumben rombongan begitu? Ada masalah apa toh?” tanya Pondi,
berdiri di depan warung meletakkan botol berisi bensin yang isinya tidak cukup
satu liter.
“Tidak ada masalah apa-apa, Kang. Ini hanya masalah orang
yang punya istri saja.”
Pondi seketika terdiam seraya menelan ludah. Statusnya
sebagai bujang lapuk membuatnya menundukkan wajah, malu.
“Ya, sudah. Kalau begitu kami terus, Kang.”
Sebagian berlalu pulang ke rumah masing-masing dengan
menerobos jalan. Tinggallah Birin yang tertahan saat Pondi menarik tangannya. “Sebenarnya
ada masalah apa lagi di kampung ini, ha?”
“Apa masalah selingkuh lagi?” sambungnya.
“Makan gratis jadi Rp.15.000?”
“Ustaz menghamili santri?” cecarnya lagi.
“Polisi salah tangkap lagi?”
“BPJS sebagai sarat urus SIM?”
“Gak jadi pindah ke IKN?”
“Guru mesum sama siswinya?” Kejar Pondi oleh rasa penasaran.
“Hus! Nyerocos terus koyok rem blong!” bentak Birin.
“La, aku ini tanya kok?”
Birin mendekatkan mulut ke telinga Pondi. “Misteri hilangnya
kutang.”
“Ha, lali utang?” (Ha, lupa utang?).
“Misteri kutang, Kang!” maki Sobirin kesal.
“O? Tak kira lali utang. Aku sudah deg-degan, takut kalau
kalian-kalian lupa utang di warungku. Ha, ya bangkrut toh warungku.”
“Ya, sudah, Kang. Saya mau minta tolong ini.”
“Minta tolong apa?” Pondi dengan dahi berkerut.
Kembali Birin mendekatkan mulut ke telinga Pondi, “Saya utang
rokok dulu, ya.”
Pondi berkernyit lalu menarik tangan, mendekatkan mulut ke telinga
Birin, “Seng wingi gurung mbok saur.” (Yang kemarin juga belum kamu bayar).
Birin hanya bisa berdiri diam saat Pondi meninggalkannya.
“Tak dungakno bangkrut!” (Saya doakan bangkrut!). rutuk
Birin, bersungut melangkah pergi.
****
Pukul 20.30.32.
“... Demikian rembuk malam ini. Saya harap kesadaran bagi
tiap warga untuk menjaga lingkungan kita ini.”
“Sudah kita sepakati tadi. Bagi siapa yang berhalangan untuk
melaksanakan ronda malam, bisa tukar dengan warga lain.”
“Mungkin ada lagi yang mau bertanya atau yang kurang paham
untuk masalah ronda malam ....”
“Saya, Pak Rete.”
“Silakan, Kang Tumisan.”
“Bagaimana kalau yang berhalangan kita denda saja,
hitung-hitung buat kas kampung.”
“Huuu.” Sahut yang lain.
“Pemaksaan kuwe jarkulah. Nyong ura setuju, Pak Rete. Seket
ewu arep mbok Rika pletet ura bakal metu duwitelah. Nyong ura setuju ... pokoke
nyong ura setuju, titik!” (Pemaksaan itu namanya. Saya tidak setuju, Pak Rete.
Lima puluh ribu mau Anda peras saya tidak akan keluar duitnya. Saya tidak
setuju ... pokoknya saya tidak setuju, titik!).
“Ya, iyalah. Kang Saimun ‘kan sepuluh ribu juga tidak bakal
punya uang. La, wong kerjanya suka pinjam duit ke sana ke sini,” balas
Samamudin.
“Ura kayak kuwe. Jarku sih pemerasan mbok iku arane. Masak
sing ura nyang jaga kena denda kayak kuwe, rembuk model piye jenenge kayak kiye,
he?” (Bukan seperti itu. Kalau saya itu pemerasan namanya. Masak yang tidak
berangkat kena denda seperti itu, rundingan macam apa ini namanya kalau sepeti
itu, he?)
“Ini untuk melatih tanggung jawab, Kang Saimun. Kalau banyak
yang tidak jaga terus alasannya repotlah, anulah, inilah, apalah-apalah, terus
bagaimana?”
“Kalau saya setuju dengan pendapat Kang Tumisan,” sambung
Samamudin.
“Ura. Nyong panggah ura setuju.” (Tidak. Saya tetap tidak
setuju).
“Bilang saja kalau urusan uang Rika keberatan, Kang.”
“Ura kayak kuwe, ura merga nyong keberatan. Cara kayak kuwe
ki nek nurute nyonge sih ura lumrah mbok.” (Tidak seperti itu, bukan karena
saya keberatan. Cara seperti itu kalau menurut saya tidak seharusnya).
“Ya, sudah. Sudah! Ada bagusnya usul Kang Tumisan, tetapi ada
benarnya juga Kang Saimun. Jadi, bagi yang berhalangan, kita kasih kelonggaran
untuk tukar ronda. Kalau dua kali, tiga kali berturut-turut, bagaimana kalau
tetap membayar. Bagaimana?”
“Setuju!”
“Setuju!”
“Baiklah. Kita sepakati keputusan malam ini. Untuk petugas
ronda tiap malam sudah pula kita sepakat. Mulai besok malam ....”
“Kulonuwun!” (Permisi!).
“Alaikumsalam,” jawab serentak anggota rembuk.
“Sudah selesai acaranya baru datang, Kang,” ucap Samamudin.
“Iyo, ki mau telat. Kelalen nek onok WA kon kumpul neng Mejid,”
(Iya, ini tadi terlambat. Kelupaan kalau ada WA disuruh kumpul di Masjid),
balas Kuswanoto.
“Halah. Dasar saja tidak niat,” tambah Pahmin.
“E, Asbak Lempung! Jenenge wong lali kate dipiyek-piyekno yo
gak kelingan kok!” (E, Asbak Tanah liat! Namanya orang lupa mau bagaimana juga
tidak ingat!). Kuswanoto
langsung emosi.
“La apa Njenengan tidak baca WA?”
“Urusanmu opo, ha? Wes sukur awakku gelem teko, kok muna-muni
ae.” (Apa urusannya, ha? Sudah bagus saya mau datang, kok masih banyak bicara).
“Sudah, toh, sudah!” Pak RT kembali menenangkan situasi.
“Kita maklumi saja, mungkin Kang Noto sibuk atau mungkin saja
ada perlu lain. Tidak usah dipermasalahkan untuk urusan sepele seperti ini.”
“Kae! Rungokno kupingmu kui!” (Itu! Dengarkan telingamu itu!).
Kuswanoto merasa dapat pembelaan.
“Sudah! Sudah!” Pak RT kembali meminta semuanya untuk tenang.
“Petugas ronda malam nanti akan kita tempel di gardu
pertigaan jalan. Mulai besok malam, demi keamanan lingkungan kita, saya harap
sekali lagi untuk tetap patuh pada hasil rembuk malam ini.”
“Pak Ustaz, mungkin ada yang ingin disampaikan?”
Ustaz Sopyan menggeleng, tanda cukup untuk rembuk di Masjid
malam ini.
“Baiklah, kalau begitu kita akhiri rembuk ini. Mohon maaf
bila ada kata-kata yang kurang berkenan dan tidak tata dalam penyampaian.”
****
Setelah acara rembuk usai.
“Aku kok curiga dengan Kang Noto, ya. Dari mana coba dia
datang terlambat, sementara semua para lelaki di kampung kita sudah berkumpul
di Masjid.”
“Hus! Jangan mengawur kalau bicara,” ucap satu lelaki,
berpakaian batik lengan panjang, peci hitam.
“Iya, Kang. Di saat kampung kita sedang marak pencurian
dalaman, kok Kang Noto datang setelah acara selesai, padahal rumah dia dengan
Masjid ‘kan tidak jauh. Iya, ‘kan?” Lelaki dengan peci putih terus memberi anggapan.
“Iya, benar juga. Atau maksudmu kalau yang suka mencuri
dalaman selama ini Kang Noto? Begitu maksudmu?” Dalam gelap terdengar tanya.
“Ya, aku tidak menuduh. Cuma kecurigaanku saja.”
“Mana mungkin pelakunya Kang Noto, buat apa coba dalaman. Ha
wong Yuk Warsinah saja bokongnya enam jengkal. Mana muat,” tampik lelaki
berbatik.
“Bisa saja toh kalau Kang Noto mempunyai kelainan, suka
mencuri dalaman istri-istri di kampung kita. Iya, toh?” yakin lelaki berpeci
putih.
“Wah, kalau benar bagaimana, ya?” balas yang berjalan di
tengah.
“Atau mungkin dia sedang melakukan sebuah puja ritual, dengan
sarat dalaman perempuan?”
“Hus! Nanti kalau sampai ke telinga Kang Noto, habis kamu!”
“Cuma dugaanku saja kok.”
“Masak iya Kang Noto memuja dalaman perempuan?” tanya yang terlihat
paling bego, lelaki berbatik.
“Itu sebagai sarat, Kang? Aduh ... ngomong sama Sampean itu
tidak pernah menyambung. Angel!”
“Aku pernah baca di Twitter kalau orang yang punya kelainan
begitu namanya petis.”
“Ha? Petis? Rujak maksudmu, Kang?” Lelaki berpakaian batik
menoleh.
“Iya, petis.”
“He, itu fetis! Bukan petis. Makanya gaul!” sambar lelaki di
tengah.
“Ah, sama saja, hanya beda depannya.”
“Angel! Angel!” (Payah! Payah!).
****
Pukul 21.45.20.
Ngung.
Ngung!
Binatang kecil mulai mendekat ke pipi.
Plok!
Satu tamparan mencoba membunuhnya.
“Kang Noto ke mana to?”
“Mbuh,” (Entah), jawab Saimun.
“Coba Sampean telepon, Kang.”
“Ura aktip.” (Tidak aktif).
“Coba lagi. Apa mungkin ketiduran?”
“Ura aktip, temenan. Kiye nyong jajal pisan maning, yak.”
(Tidak aktif, sungguh. Ini saya coba sekali lagi, ya).
Tutttt.
Kemudian terdengar, “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif,
atau berada di luar jangkauan.”
“Ngandel ura. Nyong kiye wonge jujur, ura tau nglomboni batire.
Sumpah.” (Percaya tidak. Saya ini orangnya jujur, tidak pernah membohongi
teman. Sumpah).
“La terus ke mana Kang Noto? Sebentar lagi jam sepuluh. Masak
iya hari pertama dia berhalangan datang.” Sugito mulai gelisah.
Ngung.
Ngung!
Saimun segera menepuknya.
Plok!
“Aduh, Kang! Sakit!” teriak Sugito dengan memegangi pipi.
“Lemut,” (Nyamuk), ucap Saimun enteng.
“Ah, sudah! Apa saya susul saja dia?” tanya Sugito
“Ura usah mbok. Ngandel ambi inyong, ura suwe maning pesti
teka mengene.” (Tidak usah. Percaya sama saya, tidak lama lagi pasti datang).
“Nyong nguripi diang sit yak? Lemute mubal. Kuwe ... pada
marani Sampean. Lemut jomblo mbok kuwe,” (Saya menghidupkan api, ya? Nyamuknya
banyak. Itu ... menghampiri Anda. Nyamuk jomlo sepertinya), sambung Saimun
seraya membuka telapak dan siap menghajarnya.
“Hop, hop!” tolak Sugito saat Saimun bermaksud akan mengusir
nyamuk di pipinya.
“Bonyok semua nanti mukaku!” Kemudian berlalu ke belakang
gardu untuk mulai mencari ranting kering dari pohon rambutan yang mati.
****
Pukul 22.17.45.
Kuswanoto hadir dengan membawa bungkusan hitam, plastik keresek
berukuran sedang.
“Mengendi bae Rika lah. Arane ronda kuwe jam sanga wes ana
neng gerdu, Kang,” (Ke mana saja Anda. Yang namanya ronda itu jam sembilan
sudah ada di gardu, Kang), todong Saimun
berdiri di balik kepulan asap.
“Buhuk ... buhuk! Grujuken banyu iku diange, Mun!” (Uhuk ...
uhuk! Siram air saja itu apinya, Mun!).
Kuswanoto kembali terbatuk batuk. “Buhuk ... buhuk!”
“Sih, ngawur bae! Ra weruh nyong ambi Kang Gito nguripi kiye.
Lemute ura umum. Lemut-lemut randa mbok, pada demen menclok reng pipi.” (Hus,
sembarangan! Tidak tahu apa saya dengan Kang Gito menghidupkan ini. Nyamuknya
banyak sekali. Nyamuk-nyamuk janda barang kali, suka hinggap pipi).
“Apa kuwe, Kang? Martabak, yak?” (Apa itu, Kang? Martabak,
ya?).
“Martabak batokmu amblek!” (Martabak jidatmu amblas!), jawab
Kuswanoto.
“Tuli nyong mung takon. Ura usah muring mbok.” (Saya hanya
bertanya. Tidak usah marah kenapa).
Sesaat Sugito datang dengan menjatuhkan seikat ranting
kering.
Bruk!
“La ini, ini ... temannya habis dirubung nyamuk. Njenengan
baru datang. Dari mana saja, Kang!).
“Iki?” (Ini?). Kuswanoto menunjukkan bungkusan hitam.
“Apa itu?” tanya Sugito.
“Watu! Nggo mbialang matamu!” (Batu! Untuk melempar kepalamu!).
“Ha ha ha. Kawus!” (Ha ha ha. Sukur!), timpal Saimun
terbahak-bahak.
“La, ditanya baik-baik kok malah ....”
“Nyoh!” (Ambil!). Kuswanoto memberikan satu kotak wadah nasi.
“Nasi goreng?” Sugito menerima pemberian itu.
“Bom! Ben ajur ngisan lambemu!” (Bom! Biar hancur sekalian
bibirmu!).
“Ha ha ha. Aja kayak kuwe lah, Kang. Mesakena Kang Gito nek
geseng. Ha ha ha.” (Ha ha ha. Jangan seperti itu, Kang. Kasihan dengan Kang
Gito kalau gosong. Ha ha ha).
“Ote-ote.” (Bakwan), balas Kuswanaoto.
“Pantas terlambat ronda. Njenengan goreng ote-ote?” ledek
Sugito.
“Tak tungkak lambemu lo nggko nek ngece!” (Saya tendang
mukamu nanti kalau meledek!).
“La iku sih apa maning. Jatahe nyong mbok?” (Itu satunya apa
lagi. Buat saya?) Saimun mempertanyakan satu bungkusan yang terlihat rapi dalam
balut kertas kado.
“Sembrono ae lek ngomong. Jatahmu yo iku. Iku ote-ote.
Telatku teko mergo ngenteni mbakyumu nggawekno nyamikan nggo diapuranmu kabeh
iku.” (Sembarangan saja kalau bicara. Jatahmu
ya itu. Itu bakwan. Aku terlambat datang sebab menunggu mbakyumu yang
ingin membawakan penganan untuk kalian itu).
“Oalah? Jan Rika kiye uwonge setia kawan temenan lah. Bangga
nyong duwe kanca kayak Rika, Kang.” (Oalah? Anda ini orangnya sungguh setia
kawan. Bangga saya punya kawan seperti Anda, Kang).
“Sudah ayo, sini! Saya buatkan kopi,” ajak Sugito, seraya
naik ke gardu.
“La opo gowo termos, To?” (Memangnya bawa termos, To?), tanya
Kuswanoto.
“Bawa, Kang. Njenengan tenang saja. Sesudah minum kopi kita
keliling kampung, ya?”
“Wah! Koyoke awakku gak iso.” (Wah! Sepertinya saya tidak
bisa). Kuswanoto meletakkan bungkusan.
“Kok Tidak bisa?” Sugito menoleh dengan berkernyit.
“Awakku nyusul rodok bengi ae. Piye?” (Saya ikut agak malam.
Bagaimana?)
“Deneng kayak kuwe! Ura bisa! Pokoke ura bisa. Ronda wong
telu, yak kudu mider wong telu.” (Kok seperti itu! Tidak bisa! Pokoknya tidak
bisa. Ronda bertiga, ya harus keliling bertiga). Saimun yang tadi sibuk
membetulkan api unjuk protes.
“Iyo, paham. Awakku jek onok perlu, Mun. Ko rodok bengi
mbalek rene. Ngono ae kok umreng doan!” (Iya, paham. Saya masih ada keperluan,
Mun. Malam baru kembali ke sini. Begitu saja kok ribut kalian!).
“Ada perlu apa lagi, Kang? Kalau saya disuruh keliling dengan
Saimun yang penakut itu. Wah! Malah ....”
“Seng kucur sapa! Nyong kendel mbok. Medi apa seng gung tau
mundur ruh kepelan saka Cilacap, ha! Kiye, kepelan saka Cilacap! Kiye ...
kiye.” (Yang takut siapa! Saya pemberani. Hantu mana yang belum pernah mundur
tahu kepalan tangan dari Cilacap ini, ha! Ini, kepalan dari Cilacap! Ini ...
ini). Saimun menunjukkan genggaman tangan, mengarahkannya kepada Sugito.
“Hadoh! Rubres neng kene! Wes kono aturlah piye apike. Ko
rodok bengi awakku mbalek rene.” (Aduh! Kacau di sini! Sudah atur saja
bagaimana bagusnya. Malam saya kembali ke sini). Kuswanoto beranjak.
“Ko sit, ko sit! Arep mengendi maning. Tugase dewe kiye jaga,
ko nek ana kutang sing ilang maning kepriwe jal. Kepriwe?” (Nanti dulu, nanti
dulu! Mau ke mana lagi. Tugas kita jaga, nanti kalau ada kutang yang hilang
lagi bagaimana coba? Bagaimana?).
“Ilang yo ben. Tuku neh.” (Hilang ya biar. Beli lagi). Enteng
jawab Kuswanoto.
“Ura malah tuku maning, Kang? Ura kepenak ambi Pak Rete mbok.”
(Bukannya beli lagi, Kang? Tidak enak dengan Pak Rete).
“Gak kepenak opone. Ilang yo, wes! Gur badokan kutang. Seng penting
njerone gak katut ilang. Rak ngono to?” (Tidak enak apanya. Hilang ya, sudah!
Hanya kutang. Yang penting dalamnya tidak ikut hilang. Bukannya begitu?).
“Aduh yung ... ngomong mbi Rika kiye ruwet. Ruwet ... temenan
ruwet.” (Lah ... bicara dengan Anda ini payah. Payah ... sungguh payah).
“Wes toh, Mun. Awakku ki onok kepentingan sedelok. Gak ogak
nek tak tinggal suwe. Mengko rodok jam rolas wes. Jam rolas awakku mbalik rene,
yo?” (Sudahlah, Mun. Saya ini ada kepentingan sebentar. Tidak kalau saya
tinggal lama. Nanti sekitar jam dua belas. Jam dua belas aku kembali, ya?)
“Lah, repotlah urusane kiye. Rika malah kayak kuwe, kepriwe
sih.” (La, repot urusannya ini. Anda, malah seperti itu. Bagaimana sih).
“Sebenarnya Njenengan itu mau ke mana toh, Kang?” tanya
Sugito yang sedari tadi nyimak.
“Sedelok,” (Sebentar), jawab Kuswanoto.
“Iya, tapi mau ke mana?” kejar Sugito.
“Peh jan! Pingin roh urusane wong ae awakmu ki, Git.” (Wah! Mau
tahu saja urusan orang kau ini, Git).
“Rika nyogok, yak?” (Anda menyuap, ya?)
“Nyogok oponen, he?” (menyuap apanya, he?)
“Kuwe, ote-ote kuwe. Nggawa ote-ote mung nggo nyogok ben ura
melu ronda. Kuwe nyatane kuwe ... kuwe.” (Itu, bakwan. Membawa bakwan hanya
untuk menyuap biar tidak ikut ronda. Itu kenyataannya itu ... itu). Saimun
menunjuk-tunjuk kotak nasi.
Kuswanoto lalu melepas sarung yang sedari tadi melingkar di
leher.
Plok!
“Aduh! Sih kayak kuwe!” (Aduh! Kok begitu!).
“Lambemu amblek iku!” (Bibirmu amblas itu!).
“Wes ngene ae. Gak usah neng endi-endi sampek awakku balek. Piye?
Ko dewe muter bareng-bareng. Cocok tah cocok?” (Sudah begini saja! Tidak usah
ke mana-mana sampai saya kembali. Bagaimana? Nanti kita keliling sama-sama. Akur
apa akur?).
“Iya, wis. Nyong cocok nek kayak kuwe.” (Iya, sudah. Saya
setuju kalau begitu).
“Ya, sudah, tetapi jangan lama-lama ya, Kang?” pinta Sugito.
“Iyo, iyo ... saknyukan tok!” (Iya, iya ... hanya sebentar
saja!). Kuswanoto lalu mengeloyor pergi.
****
Keduanya saling tatap seiring Kuswanoto hilang di ujung
pertigaan yang mengarah ke barat.
“Sak nyukan kuwe kepriwe maksute?” (Sebentar itu apa
maksudnya?), tanya Saimun setelahnya.
“Wah! Tidak beres ini. Pasti Kang Noto ....”
“Pesti apa?” (Pasti apa?). Saimun dengan wajah bertanya.
“Rene ... rene.” (Sini ... sini).
Saimun lalu mendekatkan telinga.
“*&^%**%$#@!==&^5 titttt (Sensor),” bisik Sugito.
Saimun tampak mengangguk-angguk dengan dahi berkerut.
“Ngomong apa mau Rika, Kang?” (Bicara apa tadi Anda, Kang?) Saimun
tampak kebingungan saat semua yang didengar tak jelas.
“Sudah, ayo!” ajak Sugito dengan menarik tangan Saimun.
Keduanya lalu bergegas menuju arah barat, meninggalkan termos
yang tak lagi ditutup, meninggalkan bakwan goreng, juga asap yang terus
mengepul membumbung.
****
“Cepat, Kang!” Suara Sugito dengan sedikit ditahan.
“Iya, iya. Alon mbok. Kiye katoke nyong mlorot.” (Iya, iya.
Pelan-pelan. Ini celanaku kedodoran).
“Sst! Jangan keras-keras!” Sugito meletakkan telunjuk di
depan bibirnya.
“Ura atos. Kiye asih melungker?” (Tidak keras. Ini masih
meringkuk).
“Apanya?”
“Sih Rika takon apa mau? Atos apa ura mbok?” (Anda tanya apa?
Keras atau tidak iya ‘kan?).
“Ya, Allah, Kang ... Kang. Jangan keras-keras bicaranya. Nanti
ketahuan!” kesal Sugito lalu menginjak kaki Saimun.
Des!
“Aduh yung! Aja kaya kuwelah!” (Aduh! Jangan seperti itu!).
“Nyong pikir mau manuke inyong atos apa ura. Ya, uralah, ura
ana lawane. Ha ha ha.” (Saya pikir anuku keras apa tidak. Ya, tidaklah. Tidak
ada lawannya. Ha ha ha).
Sarung yang melingkar di leher Sugito mampir ke wajah Saimun.
Blok!
“Sih kayak kuwe! Enteng temenan nyampluki rai batire!” (Kok
seperti itu! Gampang benar memukul muka teman!).
“Tawa Sampean seperti gendruwo!”
“Hus! Ura ilok nyebut-nyebut jenenge gendruwo. Njedul temenan
kepriwe?” (Hus! Tidak baik menyebut-sebut nama genderuwo. Muncul sungguhan
bagaimana?)
“Katanya hantu mana saja takut dengan kepal tangan Sampean.
Kiye ... kiye. Kepelan saka Cilacap! Kiye ... kiye!”
“Sih malah reyang! Sida apa ura kiyelah!” (Kok malah ribut!
Jadi apa tidak!).
“Sudah, ayo!”
“Ya, ayuk wis. Sapa wedi!” (Ya, ayo. Siapa takut!).
****
Pukul 22.37.10.
Bayangan hitam yang terus bergerak menerobos malam akhirnya
berhenti di sebuah rumah.
Tampak gelap pada bagian depan, menyisakan cahaya dari sela
dinding papan pada bagian samping.
Tok! Tok! Tok.
“Sri.”
Tok! Tok! Tok.
Tak terdengar sahut jawab.
“Sri.”
“Siapa?” Suara Sri.
“Wong bagus. Ehem!” (Orang ganteng. Hem).
Ruangan depan terlihat terang seiring suara sakelar dipantik.
Bruk!
Bayangan hitam, tak lain adalah Kuswanoto yang tadi mengendap
datang ke samping rumah segera menuju pintu depan.
Krek!
“Kang Noto!” Sri menoleh ke arah dinding, sebuah jam detak
dengan logo partai kerbau di tengahnya.
“Masuk!” pintanya kemudian.
“Pateni lampune,” (Matikan lampunya), bisik Kuswanoto.
Klek!
Ruangan depan kembali gelap.
Kuswanoto mengekor di belakang Sri, menuju dapur.
“Yah mene kok wes turu.” (Masih jam begini kok sudah tidur).
“La mau apa lagi. Badanku rasanya pegal semua, Kang. Lagi
pula Aji sudah tidur dari sore.” Sri lalu menakar kopi, gula, kemudian meraih
termos.
“Mau makan?” tawarnya kepada Kuswanoto.
“Wes, gak usah. Wes mangan neng omah mau. Mbakyumu njangan
terong.” (Sudah, tidak usah. Sudah makan di rumah. Mbakyumu masak terong).
Sri mendekat dengan satu gelas di atas tatakan.
“Sri.” Kuswanoto langsung meraih lengan Sri.
“Apa? Minta kerokan lagi?”
“Ogak, yo! Seng masuk angin ki yo sopo.” (Tidak, ya! Yang
masuk angin itu ya siapa).
“La, terus?”
“He he he.” Kuswanoto menjawabnya dengan terkekeh, kumisnya
ikut bergerak-gerak.
“Eh, Sri, awakmu sek kelingan toh tanggal piro iki?” (Eh,
Sri, kamu ingat tanggal berapa sekarang ini?).
“Tanggal? La kok tumben Njenengan tanya tanggal?” Sri
mengerutkan kening.
“Gur takon.” (Hanya bertanya). Kuswanoto meraih gelas.
“Kang, Njenengan pasti sudah mendengar kabar.”
“Kabar opo?” (Kabar apa?).
“Itu, tentang dalaman yang katanya sering hilang dicuri. Benar
itu?”
“Kok ngopeni jeroane uwong, he? La opo cawetmu ugo katut
ilang ta piye?” (Kok mengurusi dalaman orang, he? Apa cancutmu ikut hilang apa
bagaimana?).
“Njenengan ini kok? Ya, tidak. Cuma kok aneh, ya. Dalaman
pada hilang di jemuran, di lemari, di bak cucian. Ih ... aku kok takut toh,
Kang Mas?”
“Wedi ginio? Pokok isine gak melu ilang rak yo wes to?”
(Takut kenapa? Yang penting isinya tidak ikut hilang, ya sudah, ‘kan?)
“Iya, tetapi belum pernah ada yang aneh-aneh di kampung ini
....”
“Jare sopo? Endog neng petarangan yo kelakon ilang kok. Wes
gak aneh ngono iku.” (Kata siapa? Telur di kandang juga bisa hilang, sudah
lazim itu).
“Iya, Kang, tetapi ini barang dalaman perempuan loh, Kang Mas?
Takut disalah gunakan. Bisa saja buat pelet, santet, apa pesugihan.”
“Lah mboh, Sri. Pokok awakmu gak ilang soko atiku, wes ayem
urepku. Kate kolorku ilang, sendalku ilang, Mbakyumu ilang ... karep wes.”
(Entah, Sri. Yang penting kamu tidak hilang dari hatiku, sudah tenteram
hidupku. Mau kolorku hilang, sendalku hilang, mbakyumu hilang ... terserah).
“Ah, Njenengan ini kok ada-ada saja. Kalau kolornya hilang
nanti bagaimana.”
“Tuku neh,” (Beli lagi), jawab Kuswanoto.
“Tak kira ....”
“Mbok kiro opo, he? Terus mabur gek diuber-uber arek
sekampung manukku, he? Iyo?” (Kamu sangka apa, he? Lalu terbang dikejar-kejar
anak satu kampung, he? Iya?)
“Ha ha ha. Ya, tidak begitu kok, ya.”
“Sri, awakku kate ngomong serius.” (Sri, saya mau berbicara
serius).
“Tinggal bilang saja.”
“Ojok neng kene po ‘o?” (Jangan di sini kenapa?).
“Ke mana? Ini sudah malam loh, Kang Mas.”
“Neng kamar ae yok, luweh romantis lan syahdu. He he he.” (Di
kamar yuk, lebih romantis dan syahdu. He he he).
“Eh? Sudah tertebak.”
“He he he,” kekeh Kuswanoto.
Keduanya lalu menuju kamar.
****
Sementara itu di luar kamar.
“Temenan apa mengene?” (Sungguhan apa ke sini?).
“Sst!” Sugito meminta Saimun mengecilkan suara.
“Kiye temenan apa, Kang?” (Ini sungguh apa, Kang?).
“Iya. Sst!”
“Mulih bae yuh. Wedi nek dewe malah diarani maling.” (Pulang
saja. Takut kalau kita nanti dituduh mencuri).
“Sst! Sudah diam to, Kang Mun!”
“Kepriwe mengko nek dewe konangan. Diarani maling ....”
(Bagaimana kalau nanti kita ketahuan. Dituduh maling ....).
“Sudah toh, Kang? Kita intai saja.”
****
Kembali ke kamar.
Kuswanoto tampak sudah menggenggam tangan Sri.
“Ada apa?” Sri dengan wajah penuh terka.
“Awakmu sayang toh mbek aku?” (Kamu sayang ‘kan denganku?)
Sri mengangguk, diakhiri menunduk.
“Kambek Pak Rete?” (Dengan Pak RT?).
Sri lalu mencubit pinggang Kuswanoto. “Mulai lagi, ya?” Satu
sosok yang paling dibenci Kuswanoto, sekaligus rival dalam menempatkan nama
tertinggi di hati Sri.
“Pokoke awakku, I Love You, Sri.” (Pokoknya aku, I Love You,
Sri). Kuswanoto memoncongkan bibir. Helai kumis lebatnya bak ujung tombak, siap
menusuk pipi Sri yang terawat.
Krak!
Terdengar suara ranting patah di sisi luar kamar dan itu
hanya berbatas dinding papan.
Kuswanoto kontan menoleh, takut kalau ada yang mengintainya.
Merasa tidak mendengar suara mencurigakan lagi, Kuswanoto
langsung ....
Cup!
Sri tersipu saat bulu tengkuknya meremang setelah ujung kumis
Kuswanoto mendarat sejenak di pipinya tadi.
“Awakmu ki pokoke rondo seng kapatri neng atiku, Sri.” (Kamu
ini pokoknya janda yang terpatri di hatiku, Sri).
“Mbel,” (Bohong), timpal Sri.
“Lo sumpah. Kurang opo jal. Kate njalok opo? Montor? Tak
kreditno ngko. Omah? Tak kontrakno? Manuk? Tak cekelno? Kurang opo jal, he?”
(Loh sumpah. Kurang apa coba. Mau minta apa? Motor? Saya kredit nanti. Rumah?
Saya kontrakkan? Burung? Saya tangkap? Kurang apa coba, he?).
Sri makin dalam tertunduk dengan senyum dikulum.
“Sugeng ambal warso, yo, Sri.” (Selamat ulang tahun, ya, Sri).
Sri mendongakkan wajah untuk menatap Kuswanoto yang sudah
menunggu dengan tatap.
“Terima kasih, ya, Kang Mas.”
“Mugo tansah ayu. Diparingi yuswo seng dowo lan soyo pinter
goyang ....” (Semoga selalu cantik. Diberikan umur panjang dan pintar goyang ....).
“Kok pintar goyang?”
“Iyo. Pinter goyang nggo nguripi Aji. Ngobahne sikil lan
tangan nggone nyambut gawe?” (Iya. Pintar goyang buat menghidupi Aji. Menggerakkan
kaki dan tangan dalam bekerja?).
“Ah, Kang Mas.” Sri membawa kepala rebah di dada tegap
Kuswanoto.
Kuswanoto menyambutnya dengan terus membelai rambut Sri yang
terurai legam.
“Sri?”
“Apa, Kang?”
“Awakku duwe hadiah nggo awakmu.” (Aku punya hadiah buatmu).
“Serius?”
“Hok oh. Sek.” (Iya. Sebentar).
Kuswanoto melangkah keluar kamar, menuju bangku, dan meraih
bungkusan yang sedari tadi dia sembunyikan pada sisi gelap.
Kembali ke kamar dengan senyum mengembang.
“Apa itu, Kang Mas?”
Kuswanoto tak menjawabnya. Membuka plastik hitam,
mengeluarkan isinya.
Tampak sudah kotak yang pernah dilihat Saimun di gardu ronda waktu itu.
“Apa ini, Kang Mas?”
“Iki wujud katresnanku marang awakmu, Sri. Wong ayu seng
tansah manggon neng ati.” (Ini wujud rasa cintaku kepadamu, Sri. Orang yang
selalu ada di hati). Kuswanoto mencolek dagu Sri.
“Bukaken.” (Silakan buka).
“Serius, Kang Mas.”
“Iyo, iyo. Wes toh bukaen. Mandar mugo awakmu seneng.” (Iya,
iya. Silakan buka. Semoga kamu suka).
Sejenak Sri mengamati benda kotak yang dibungkus kertas kado
merah jambu dengan gambar taburan lambang hati.
Bret!
Menyobeknya.
Membukanya dengan perlahan. Sejenak dia melempar senyum
kepada Kuswanoto.
Dibalas anggukan oleh Kuswanoto yang kerap datang kala malam.
“Wah! Apa ini?” Sri makin dibuat penasaran dengan isinya.
Masih, dibungkus dengan plastik hitam.
Sret!
Merobeknya lagi.
Mengeluarkan isinya.
“Apa toh ini?”
Masih, bungkusan lebih kecil ukurannya dan dibungkus plastik
hitam pula.
Sret!
Dirobek lagi.
“Apa toh, Kang Mas.” Sri makin penasaran.
Sret!
Masih berlapis plastik hitam lagi.
Sret!
Astaga! Masih lagi.
Sret!
Makin kecil ukurannya kini.
Sret!
... Dan masih lagi.
Sret!
“Ini?” ucap Sri menunjukkan sesuatu yang bungkus
berlipat-lipat.
Kuswanoto melebarkan senyum.
“Ya, ampun. Ini?” Sri menahan tawa, “Empft.”
Makin lebar senyum Kuswanoto.
“Kutang?” ujar Sri.
Kuswanoto yang mencoba menahan tawa kini. “Empft.”
“Apik toh?” (Bagus, ‘kan?).
“Apanya yang spesial. Cuma kutang.”
“Loh? Iki nek dinggo, pucuke onok lampune. Murub ... kelip-kelip.
Abang ijo ... abang ijo.” (Loh, ini kalau dipakai, bagian pucuk ada lampunya. Hidup
... kelap-kelip. Merah hijau ... merah hijau).
“Empft. Ha ha ha.” Meledak tawa Sri.
“Kok ngguyu? Gak seneng tah?” (Kok tertawa? Apa tidak suka?).
“Ya, masak kutang ada lampunya. Mana hidup kelip-kelip kalau
dipakai.” Sri terlihat senang, bahkan itu tak terjadi, dan tak ada lampu di
ujung kutang.
“Terima kasih ya, Kang Mas.”
“Hok oh. Ojo mbok sawang wujude. Iku wujud katresnanku, masio
gak sepiro regane.” (Iya. Jangan kamu lihat barangnya. Itu bukti cintaku,
walaupun tidak seberapa harganya).
“Tidak, Kang. Ini terlihat bagus. Bahkan warnanya aku suka.
Merah jambu. Hiks.” Sri lalu kembali merebahkan kepala, sigap Kuswanoto
mendekapnya.
“Sri?”
“Apa?”
“Onok hadiah spesial neh.” (Ada hadiah spesial lagi).
“Ah! Serius, Kang Mas?”
Kuswanoto lalu mengecup bibir Sri. Membawanya rebah di atas
tempat tidur.
Hadiah spesial yang dikatakanakan segera terbukti saat satu
persatu benda terlihat melayang dan berhamburan.
Ber!
Baju batik Kuswanoto melayang, jatuh ke lantai.
Ber!
Celana!
Ber!
Sarung!
Ber!
Kini pakaian Sri melayang, jatuh ke lantai saling tindih.
Ber!
Pakaian tipis berbentuk segi tiga.
Ber!
Kutang!
Wer!
Selebihnya jiwa-jiwa yang melayang ke langit tujuh yang
berhias bunga-bunga surga diiringi gending lokananta dalam indah erotika
kamasutra.
“Oh, Kang.”
****
Di sisi kamar.
“Sst!” Saimun mencoba mencolek Sugito yang terlihat serius
dalam remang terka pengintaian.
“Hus!” Colek Saimun lagi.
“Apa?” Sugito menarik wajah dari celah dinding.
“Wislah ayuh. Ndeleng apa sih? Garai
pingin baelah.” (Sudahlah ayo. Lihat apa? Membuat ingin saja).
“Asem Kang Noto! Pantas memilih ronda di rumah Sri!” rutuk
Sugito dalam hati. Bersambung ....
Siapa pelaku sebenarnya dari dalang pencurian kutang? Mampukah
Trio Mbajuk (Kuswanoto, Saimun, dan Sugito) menemukan pelakunya atau
jangan-jangan benar adanya anggapan warga kalau Kuswanoto adalah dalang dari
semua kekisruhan ini? Lalu apa reaksi Saimun dan Sugito setelah mengintai Kuswanoto
yang ‘ajeb-ajeb’ dengan janda pujaan hatinya itu?
Bersambung ke episode 2
No comments:
Post a Comment