Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

ALUM

 ALUM



Mbakku bernama Lestari, menikah dengan seorang lelaki, anak dari seorang ustaz pemilik Pondok Pesantren Mifathul Jannah.

Awalnya aku melihat tidak ada yang salah dengan pernikahan mereka, semuanya berjalan dengan lancar dan sebagaimana mestinya, bahkan aku sempat salut dengan Mbak Tari, aku merasa ia beruntung dinikahi oleh anak pemilik pondok pesantren yang terletak beda kecamatan dengan desaku.

Mbak Tari pernah cerita kepadaku kalau dia bahagia mempunyai suami yang religius dan juga mapan secara ekonomi, bapak juga bangga mempunyai menantu seperti Mas Bandi, aku pun demikian.

“Masmu kae sayang tenan karo mbak lo, Sri,” (Masmu itu sayang sekali dengan mbak lo, Sri), katanya kala itu, saat Mbak Tari datang berkunjung ke rumah kami.

Ekonomi keluargaku tidak begitu baik, bapak hanya buruh harian, kadang kerja, kadang tidak. Dengan dinikahi oleh Mas Bandi, paling tidak beban bapak sedikit berkurang karena kini hanya aku tanggungannya.

Mbak Tari kini hidup di rumah mertuanya, tinggallah aku dan bapak yang mendiami rumah papan sederhana ini.

Usia perkawinan Mbak Tari kini sudah hampir menginjak satu tahun dan mereka belum juga dikarunia seorang anak.

Aku pikir mereka belum siap saja dan aku tak berpikir kalau salah satu dari mereka ada yang gabuk.

 
****

Sore dengan mendung pekat yang menggayut.

Sore itu aku baru mau masak, sudah menjadi kebiasaanku sejak Mbak Tari menikah untuk menyiapkan makan begitu bapak pulang kerja nanti.

Tiba-tiba Mbak Tari pulang ke rumah.

“Assalamualaikum.”

Bergegas aku menuju pintu depan. “Alaikumsalam.”

Pintu kubuka.

Kreeek.

“Mbak Tari?”

“Kok ndingaren sore ngene dolan mrene to, Mbak? Biasane isuk.” (Kok tumben sore begini main ke sini, Mbak? Biasanya pagi). Aku menyisi begitu Mbak Tari masuk dan tak menjawab pertanyaanku.

“Bapak rung balek po, Sri?” (Bapak belum pulang, Sri?).  Ia berkata tanpa menoleh ke arahku, tetapi justru malah masuk ke kamarnya, kamar masa gadisnya dulu, kamar yang sering aku bersihkan tanpa mau menempati karena aku juga punya kamar sendiri di samping kamar bapak.

Aku tak berpikir yang aneh-aneh, kecuali kenapa Mbak Tari datang sore begini. Biasanya ia akan datang pagi bersama Mas Bandi atau kalau memang kangen dengan kami dia akan datang siang dan pulang sore.

Aku beranikan membuka gorden pintu. Kulihat Mbak Tari sudah merebahkan tubuh.

Sejenak kemudian ia menoleh ke arahku.

“Aku arep nginep neng kene,” (Aku mau menginap di sini), katanya.

“Loh! La memange Mas Bandi neng ndi lo, Mbak?” (Loh! Memangnya Mas Bandi ke mana loh, Mbah?), tanyaku penasaran karena tumben Mbak Tari mau menginap di rumah setelah hampir setahun ia tak pernah menginap di rumah.

“Masmu enek kerjaan neng Sumatra, entuk undangan ceramah,” (Masmu ada kerjaan di Sumatra, dapat undangan ceramah), jawabnya yang membuatku lega.

“Oalah. Yo, ra opo-opo to, Mbak. Iki yo omahe Sampean kok,” (Oalah. Ya, tidak apa-apa toh, Mbak. Ini ya rumah Anda kok) , balasku sambil tersenyum.

“Tak tinggal sek yo, Mbak. Bapak delok neh balek.” (Saya tinggal dulu ya, Mbak. Bapak sebentar lagi pulang).

Aku bergegas menuju dapur untuk menjalankan tugasku dan membiarkan Mbak Tari beristirahat.

Sempat aku berpikir, dengan siapa Mbak Tari ke sini bila Mas Bandi katanya di Sumatra untuk mengisi ceramah? Biasanya ia datang diantar naik motor oleh suaminya itu.

****

“Mbak, gelem Sri gawekne wedang!” (Mbak, mau kubuatkan minum!), teriakku dari dapur.

Aku tak mendengar Mbak Tari menyahut.

“Mbak, gelem Sri gawekne wedang ora!” (Mbak, mau Sri buatkan minum tidak!).

Aku bergegas menuju kamarnya lagi karena tawaranku tidak ia balas, mungkinlah Mbak Tari tidak mendengar.

Urung aku membuka gorden pintu saat dengan jelas mendengar suara tangis Mbak Tari.

Karena penasaran, aku memberanikan diri dengan sedikit mengintai dari celah gorden.

Aku melihat Mbak Tari masih berbaring dan menangis, wajahnya benar-benar tertekan, seakan-akan masalah hidupnya begitu berat.

 

****

 

Petang menjelang setelah tadi sempat diguyur hujan.

Gerimis turun disertai angin yang berhembus dingin.

Rumahku memang sedikit terpencil di antara beberapa rumah penduduk, ada di sudut desa, dan tak jauh dari hamparan sawah. Bila malam tiba hawanya akan terasa dingin dan sunyi. Suara serangga malam sudah menjadi kidung tentrem bagi orang kecil sepeti bapak yang sudah susah payah membesarkan aku dan Mbak Tari sejak ibu meninggal.

Bapak menjadi duda sejak aku lahir, sementara aku sendiri tidak melanjutkan ke jenjang menengah atas setelah dinyatakan lulus dari SMP Terbuka setahun lalu.

“Mbakmu gugahen, Nduk. Opo ora sembayang?” (Bangunkan mbakmu, Nduk. Apa tidak salat?),  tanya bapak di ambang pintu yang sudah mengenakan sarung.

“Nggeh, Pak,” (Baik, Pak), jawabku meletakkan lipatan baju di atas tempat tidur.

“Bar iku jak mangan sisan,” (Setelah itu ajak makan sekalian), imbuhnya.

Aku mengangguk.

Sebenarnya banyak hal yang ingin aku ceritakan kepada Mbak Tari, bercerita mengenai keinginanku untuk merantau ke kota ikut Mbak Inem, meski jadi babu seperti dirinya, tidak masalah bagiku. Mbak Inem yang merupakan teman Mbak Tari sering kirim uang. Meski ia seorang babu, nyatanya ia bisa membelikan sawah buat orang tuanya, tetapi aku tak mau mengusik tidur Mbak Tari.

Aku juga mau cerita kepada Mbak Tari malam ini kalau ada pemuda desa sebelah yang menyatakan cinta padaku.

Begitu banyak cerita dan begitu berlipat-lipat kangenku kepadanya setelah ia memutuskan ikut Mas Bandi ke rumah mertuanya.

Jarang sekali aku bercerita meski Mbak Tari sudah beberapa kali ke rumah, itu karena aku kurang bebas sebab ada Mas Bandi yang ikut menemaninya saat berkunjung.

Untuk bercerita dengan bapak aku malu. Jadi, kupikir ini waktu yang tepat untuk menceritakan semua mumpung Mas Bandi tidak ikut.

 

****

 

Sesampai di kamarnya.

Aku melihat Mbak Tari duduk termenung di tepi tempat tidur.

“Mbak?” Aku segera mengambil tempat, duduk di sampingnya.

“Sedelo neh magrib. Tak kiro Mbak urung tangi,” (Sebentar lagi magrib. Saya kira Mbak belum bangun), kataku lalu merebahkan kepala di pundaknya.

Begitu lembut kurasakan belaiannya saat ia mengelus rambutku.

“Sembayang sek, Mbak. Bar iku bapak ngonkon maem,” (Salat dulu, Mbak. Setelahnya bapak menyuruh makan),  ujarku seraya menegakkan kepala.

Aku melihat mata Mbak Tari sembab. “Mbak ora opo-opo to?” (Mbak tidak kenapa-kenapa ‘kan?).

Mbak tari menggeleng sambil senyum, senyum yang dipaksakan.

Tak lama kemudian bapak muncul di ambang pintu. “Wes gek ndang, Nduk.” (Sudah cepat, Nduk).

“Ayo, Mbak!” ajakku karena kebiasaan kami untuk menunaikan salat magrib berjemaah.

Baru saja aku bangkit tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu depan.

Tok! Tok! Tok!

“Assalamualaikum!” Terdengar salam dari luar.

“Jal ungaken, Nduk!” (Coba lihat, Nduk!), perintah bapak.

Aku segera melangkah menuju pintu depan.

“Assalamualaikum!”

“Alaikumsalam!” jawabku seraya membuka pintu.

Krekkk.

“Mas Bandi!” Aku sedikit terkejut sebab Mbak Tari bilang kalau suaminya ke Sumatra.

“E ... e ... wonten, Mas,”(E ... e ...ada, Mas),  jawabku sedikit gugup dan lagi-lagi aku menyisi saat Mas Bandi memaksa masuk

 

“Pak,” ucapnya lalu mencium tangan bapak yang masih berdiri di depan pintu kamar Mbak Tari.

Aku masih berdiri seraya memegang pintu saat bapak memberikan isyarat agar segera salat bersamanya dan membiarkan Mas Bandi menemui Mbak Tari.

 

****

 

Di kamar bapak aku menjadi makmumnya, kamar yang berhadapan dengan kamar Mbak Tari.

Untuk kali ini aku tak bisa khusuk sebab jelas terdengar suara Mbak Tari yang sepertinya sedang bertengkar dengan Mas Bandi.

Meski suara keduanya sedikit ditahan, tetapi itu jelas terdengar di telingaku.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Aku melihat bapak menoleh ke arahku segera setelah salam terakhir akibat suara isak dari Mbak Tari.

Aku menggeleng.

“Wes gek tatakne madang kono,”  (Sudah sana kamu siapkan makan sana), ucap bapak lirih.

Aku berniat bangkit untuk melepas mukena, tetapi aku mendengar kalau Mas Bandi berkata dengan nada marah yang ditahan.

Akan tetapi, tak lama kemudian Mas Bandi keluar diikuti oleh Mbak Tari.

Bapak yang biasanya zikir setelah salat pun ikut beranjak.

“Pak, kulo bade wangsul, nggeh,” (Pak, saya mau pulang, ya), ucap Mas Bandi.

“La enek opo lo, Le?” (Memangnya ada apa toh, Nak), tanya bapak.

“Mboten wonten nopo-nopo kok, Pak.” (Tidak ada apa-apa kok, Pak). Justru Mbak Tari yang menjawab seolah-olah tak terjadi sesuatu, bahkan kini mereka tampil mesra di depan kami, padahal aku dan bapak sempat terganggu saat salat oleh pertengkaran mereka barusan.

Mas Bandi juga bilang ke bapak kalau semuanya baik-baik saja.

Setelahnya mereka pamit.

Aku merasa heran kenapa begitu cepat perubahan sikap Mbak Tari.

“Tutupen lawange,” (Tutup pintunya), pinta bapak.

Aku melangkah menuju pintu karena pesan bapak pula kalau magrib pintu harus segera ditutup, tetapi aku sempat melihat kalau Mbak Tari ditarik agar berjalan cepat menuju motor Mas Bandi yang diparkir di jalan sedikit jauh dari halaman rumahku.

 

****

 

Seminggu sejak kejadian itu.

Meski kata orang suasana pedesaan menyenangkan, tetapi bagiku  keramaian kota yang kuimpikan.

Siang itu aku baru saja pulang mengirim ransum makan siang buat bapak yang bekerja di sawah orang.

Jalan setapak yang diapit pohon-pohon perdu adalah pemandangan setiap hari.

Kring! Kring!

Kontan aku menoleh ke belakang saat Mas Samingan yang pernah menyampaikan perasaannya padaku segera turun dari sepeda.

“Ko ngirim yo, DiK?” (Dari mengantar nasi ya, Dik?), tanyanya seraya tersenyum semringah begitu sudah di depanku.

Jujur aku masih merasa malu bila harus menatap matanya, aku mengangguk sambil memainkan ujung kerudung.

“Wes ayo tak gonceng.” (Sudah ayo aku bonceng).

“Ora usah, Mas. Tak mlaku wae,” (Tidak usah, Mas. Biar saya jalan saja), balasku menolak.

Mas Samingan akhirnya memutuskan jalan sambil menuntun sepedanya.

“Oh, iyo, Dik. Wes ruh urung nek Mbak Tari saiki wes ora sak omah karo mertuone?” (Oh, iya, Dik. Sudah tahu belum kalau Mbak Tari sekarang sudah tidak serumah dengan mertuanya?).

Aku menghentikan langkah lalu menoleh ke arah Mas Samingan.

“Krungu ko sopo Sampean?” (Dengar dari siapa Anda?).

“Oalah, Dik, Dik. Aku ki wuokeh koncone la mergo iku koncoku weruh nek Mbak Tari manggon neng kontrakan kono lo.” (Oalah, Dik, Dik. Aku ini banyak temannya sebab itu temanku tahu kalau Mbak Tari tinggal di kontrakan yang ada di sana itu).

“Kontrakan endi to, Mas?” (Kontrakan yang mana toh, Mas?).

“Kontrakan neng pinggir Kuto Sido Makmur kono lo.” (Kontrakan yang ada di pinggiran Kota Sido Makmur sana loh).

Seketika aku membatin, apakah pertengkaran antara Mbak Tari dan Mas Bandi seminggu lalu ada kaitannya dengan kabar yang disampaikan oleh Mas Samingan? Apakah Mbak Tari tertekan hidupnya tinggal serumah dengan mertua lalu memutuskan untuk mengontrak? Bila memang itu masalahnya, kenapa tidak dibicarakan baik-baik saja dan kenapa harus bertengkar di rumah bapak? Sejuta pertanyaan berkecamuk di kepalaku.

“Karo Mas Bandi?” (Dengan Mas Bandi?).

“Yo, mboh, Dik. Iku wae jarene koncoku seng kerjo neng kono kok.” (Ya, entah, Dik. Itu saja kata temanku yang bekerja di sana kok).

Aku segera melanjutkan langkah.

“Eh, Dik. Tapi, ngopo malah ngontrak, yo? Mertuwone Mbak Tari iku kan kawulo ageng seng duwe pondok pesantren, omahe yo gedi, tur Mas Bandi iku anak siji-sijine.” (Eh, Dik. Akan tetapi, kenapa malah mengontrak, ya? Mertuanya Mbak Tari itu ‘kan orang besar yang punya pondok pesantren, rumahnya juga besar, terus Mas Bandi itu anak satu-satunya).

“Yo, mboh, Mas. Kok takon aku. Aku ra ruh Mas nek urusan iku,” (Ya, entah, Mas. Kok tanya aku. Aku tidak tahu Mas untuk masalah itu), jawabku.

Selebihnya kami hanya bicara ngalor-ngidul setelah melewati jerambah gelugu yang di bawahnya ada air jernih mengalir.

Jujur aku suka dengan Mas Samingan, tetapi pesan bapak tidak boleh dulu pacaran. Jadi, kami hanya ngobrol di sepanjang jalan yang diapit persawahan, berteduh sejenak di bawah rimbun rumpun bambu, dan sudah bisa dipastikan berpisah di pertigaan jalan yang tak jauh dari rumahku.

Meski begitu, hatiku rasanya berbunga-bunga pulang ditemani olehnya dan ia tahu kapan aku pulang mengantar ransum untuk bapak.

“Dik, sesok aku ra ngiso ngancani. Aku sesok meranto neh. Ngmpulne duit ben sok iso geden-geden.” (Dik, besok aku tidak menemani. Besok aku merantau lagi. Mengumpulkan uang biar saat menikah bisa besar-besaran).

Pipiku dibuat merona oleh ucapannya.

 

****

Malam harinya.

Setelah makan aku mengantarkan secangkir kopi buat bapak kamar.

Aku lihat bapak berbaring dengan meletakkan satu tangan di atas dahinya. Aku tahu bapak sangat lelah setelah seharian bekerja di sawah untuk mencukupi kebutuhanku.

“Pak, niki benterane.” (Pak, ini minumnya).

Kulihat bapak segera menggulung sarungnya lalu beranjak.

“Yo, Nduk. (Ya, Nduk).

Sebenarnya aku mau mengatakan kepada bapak perihal kabar yang disampaikan oleh Mas Samingan tentang Mbak Tari yang katanya kini hidup di kontrakan, tetapi aku ragu.

“Nduk?”

Aku pikir tidak aneh juga kalau mereka memutuskan mengontrak, tetapi secara derajat Mas Bandi yang merupakan anak semata wayang pemilik pondok pesantren ... aku rasa tidak mungkin kalau Mbak Tari dan Mas Bandi malah memilih hidup ngontrak di pinggiran kota karena yang kutahu tanggung jawab Mas Bandi juga sibuk untuk mengurus beberapa santri, akan makan waktu bila harus bolak-balik ke pesantren.

“Nduk!”

“Eh, kulo, Pak.” (Eh, saya, Pak).

“Mikirne opo, he?” (Memikirkan apa, he?).

Aku menggeleng lalu tertunduk.

“Ora enek kabar ko mbakmu?” (Tidak ada kabar dari mbakmu?).

Aku diam kini. Mungkinkah aku menceritakan ini dengan bapak? Aku bimbang karena tak mau membebani pikirannya.

“Bapak ki wes melu seneng nek mbakmu kae dibojo Bandi, tapi kok suwe men yo, Nduk?” (Bapak ini ikut senang kalau mbakmu itu dinikahi oleh Bandi, tetapi kok lama sekali ya, Nduk?).

“Dangu nopone, Pak?” (Lama apanya, Pak?), tanyaku heran.

“Wes setaon lo mbakmu kae omah-omah, kok durung ngewei bapakmu iki putu.” (Sudah setahun mbakmu itu berumah tangga, kok belum kasih bapak cucu).

“Sri mboten ngertos perkawis niku, Pak.” (sri tidak tahu masalah itu, Pak).

“La iyo to. Wong-wong kae lo wes do diceluk embah.” (La iya to. Orang-orang itu loh sudah dipanggil embah).

Aku mencoba memahami perasaan hati bapak. Mungkin dengan adanya cucu hidupnya tak begitu sepi.

“Pak?”

“Hem. Opo?” (Hem. Apa?).

Aku melihat bapak meraih gagang cangkir lalu menyeruput isinya.

“Wau kulo ketemu kaleh Mas Samingan.” (Tadi saya bertemu dengan Mas Samingan).

“Ladalah, Nduk, Nduk! Bapak wes nate kondo, ora usah cedak-cedak karo Samingan. Ibune kae lo minggat mergo kepincut dudo. Kacang pesti nurut lanjaran, Nduk.” (Ladalah, Nduk, Nduk! Bapak sudah pernah ngomong, tidak usah dekat-dekat dengan Samingan. Ibunya itu minggat karena kepincut duda. Kacang pasti ikut lanjaran, Nduk.) Bersambung









PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search