Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

DEAR, WEDARI Cerpen.

 DEAR, WEDARI.




Dengan sangat terpaksa pakde harus menyebutnya Wedari, usianya kepala tiga kala itu.

Wedari bukan selebgram atau bintang FB, tetapi ia hanya istri orang yang pandai menyimpan duit.

Rumahnya tidak begitu jauh dari rumah pakde, sekitar 50 meter saja.

Wedari bukan perempuan berkulit putih, tetapi seperti kopi kelebihan gula. Rambutnya legam ikal mayang, matanya begitu baswara.

Kami bertetangga sebenarnya, meskipun rumah kami sedikit berjarak.

Pakde mengenal Wedari dan sangat mengenal baik suaminya.

Mereka dikarunia dua orang putra, tetapi Wedari begitu wanodya di mata pakde.

Tidak ada yang aneh awalnya, bahkan pakde sering main ke rumahnya bila ada waktu luang.

Pakde tak harus mengetuk pintu depan, tetapi pakde sering masuk lewat dapur dan berbincang bertiga.

Ya, sedekat itu hubungan pakde dengan suaminya, pakde tak harus benar-benar menjadi tamu dengan duduk jatmika, menjaga sikap di sofa ruang tamu.

Orang Jawa memang begitu di sini. Kalau sudah akrab bisa masuk lewat dapur lalu minta kopi. Nyak-nyakan! Bukan berarti kami tak memiliki unggah-ungguh.

Seringnya pakde main untuk membahas hal pekerjaan atau sekadar ngobrol-ngobrol saja dengan suaminya, perlahan-lahan pakde mengagumi istrinya. Ingin sekali pakde  bersyair cinta seraya bersenandung untuknya.

Pakde pendam rasa itu sebab pakde tak mau merusak rumah tangga teman sendiri, apalagi belum tentu Wedari juga suka dengan pakde yang mulai menebar pikat pesona di hadapannya. Iya, toh?

Karena memendam rasa suka kepada istrinya, pakde sering mengajak suaminya bekerja di proyek atau borongan buat rumah. Pakde mengajak suaminya untuk menjadi kuli dan meladeni pakde dengan status tukang. Tukang ndopog, tukang rusuh, tukang ngapusi, tukang maido, dan tukang .... (monggo ditambah sendiri)

Pokoknya setiap pakde dapat job, suaminya pakde ajak untuk menjadi kuli, dan itu berlangsung lama.

Banyak kesempatan bagi pakde untuk datang ke rumahnya dan melihat wajah Wedari yang manis tanpa pengawet itu.

Apakah mbokdemu tahu kalau pakde mulai menaruh hati dengan Wedari? Jawabnya tentu tidak! La wong Pakde ini pemain ulung kalau soal menipu mbokdemu itu.

Begitulah, Lur. Pokoknya setiap ada kesempatan pakde pasti main ke rumah Wedari dengan alasan membahas pekerjaan.

Pokoknya mengalir begitu saja seperti kencing pakde.

 

****

 

Tak terasa sudah 2 tahun pakde mengagumi istri orang.

Makin terbius pesona Wedari, pakde makin sering membayangkan kelon dengannya. Astaga! Pakde mulai terganggu dengan pikiran ini. 

Kacau pokoknya, tetapi pakde masih tak mau menunjukkan isi hati ini padanya.

 

****

 

Pakde masih main seperti biasa, tetapi frekuensinya sudah jarang.

Suaminya juga sudah jarang ikut pakde bekerja karena kedekatan pakde dengan mandor proyek yang menentukan siapa-siapa saja tukang dan kulinya. Biasanya dia akan menghubungi tukang-tukang lama yang pernah bekerja dengannya dengan membawa kuli. Agak laen emang. Bangun candi saja tidak pilih-pilih orang, tetapi ini ... ah, sudahlah!

Pakde itu tak pernah tergabung dengan rombongan lain, tetapi pakde punya kedekatan dengan seorang mandor kepercayaan junjungan yang sering menggarap proyek perumahan.

Pakde akan digabungkan dengan mereka yang kebanyakan bukan orang dari desa pakde. Ada paling beberapa orang saja.

Kalau pakde sedang tak ada job, pasti mandor ‘bocor alus’ ini menghubungi pakde dan mengajaknya bekerja.

Kembali ke alur cerita, Lur. Nanti malah off side.

Pokoknya kalau dapat job sendiri pasti pakde akan ajak suaminya Wedari, tetapi kalau di proyek, tidak.

Agunging raos katresnan di hati pakde lama-lama tumbuh, tepatnya mulai mekar bak sedap malam.

****

Malam itu Wedari dan suaminya datang ke rumah. Maksud kedatangan mereka meminta pakde untuk mengiring manten dari anaknya.

Wedari akan menikahkan putra pertama dan pakde diundang untuk mengiring manten ke rumah calon besannya karena akad dan hajatan dilangsungkan di rumah pengantin perempuan.

Dengan senang hati pakde dan mbokdemu menyanggupinya, terlebih kami juga hidup bertetangga, tetapi yang pasti pakde menyanggupinya karena Wedari, titik!

 

****

 

Hari itu tiba.

Pakde sudah mengenakan batik terbaik yang pakde punya, batik lengan panjang berwarna cokelat tua, mengoles rambut dan kumis dengan minyak zaitun, tak lupa songkok hitam, sementara mbokdemu ... (Ah, paling ribet kalau kondangan sama mbokdemu itu. Macak lamaaaaaa sekali sampai-sampai pakde ketiduran).

Komen, Lur. Apakah bojomu juga begitu?
 

Singkat cerita kami semua berangkat naik mobil carteran. Sayangnya, Wedari duduk di depan bersama pengantin pria atau anaknya, sementara pakde duduk tepat di belakangnya bersama suaminya.

Kalau mbokdemu pakde titipkan sama Paijo!

La wong mbokdemu itu suka mabok kalau naik mobil. Ndeso! Tercecer pupurnya dihembus angin masa bodo!

 
Singkatnya kami sudah sampai di rumah pengantin perempuan dan hajatan pun digelar meriah.

Pakde sering mencuri pandang saat Wedari duduk di pelaminan mendampingi putranya.

Wajah dan dandanannya itu loh, duh! Dia terlihat makin cantik dengan mengenakan kebaya serta rambut yang disanggul. Pingin pakde sawer rasanya!

Siang pakde pulang dengan rombongan meninggalkan Wedari yang terus menyalami tamu undangan.

Ya, meskipun pakde pulang, tetapi rasanya hati pakde tertinggal dan tergeletak di meja hajatan tersebut!

Itulah awal di mana pakde rasanya ingin segera memboyong Wedari dan menjadikan istri kedua di istana Alengka, tetapi tentu tak mungkin pakde lakukan sebab bagaimanapun ia masih istri sahabat pakde sendiri. Pakde tak mau mengejawantah Rahwana dengan wujud pakde yang sempurna dalam rupa.

Intinya, pakde masih memendam rasa itu sampai beberapa waktu lamanya, hingga ....

 

****

 

Awal tahun 2015.

Wedari sudah punya cucu, bahkan anak keduanya juga sudah menikah.

Anak pertama yang pakde iring kala itu hidup berumah tangga dan membuat rumah di samping rumah ibunya.

Pakde sudah pindah dari rumah yang lama ke rumah yang baru. Rumah kami kini berjarak kurang lebih 150 meter dan di antara jarak tersebut banyak rumah dan satu Masjid.

Bertahun-tahun sudah berlalu dan pakde masih mengagumi Wedari yang sudah kadung menjadi permaisuri dengan kanigara di hati pakde.

Jujur, pakde sering membayangkan kalau mbokdemu itu adalah Wedari saat melakukan tugas pakde sebagai suami di atas kasur kapuk yang terbungkus desau desah di kamar.

Sebenarnya pakde tak mau jujur tentang ini.

Waktu-waktu kala sendiri pakde juga masih sering disergap oleh bayang-bayang Wedari.

Banyak kesempatan untuk bertemu dengannya, baik di acara layatan, atau acara-acara tertentu di desa, lebaran, dan masih banyak kesempatan lain yang membuat golak dalam derana dipaksakan.

Akan tetapi, sepertinya Wedari tak tertarik dengan pakde, buktinya ia tak merasakan kalau pakde diam-diam meracuninya dengan serbuk cinta.

Atau mungkin pakde tak berani mengungkapkan isi hati pakde secara langsung kepadanya hingga pakde sendiri yang menderita oleh goresan cinta?

Pakde pikir, andai Wedari juga suka dengan pakde, maka kami akan melakukan hubungan diam-diam mengingat kami berdua sudah beranak cucu. Tentu hubungan kami tak ingin diketahui oleh anak dan pasangan kami masing-masing yang menyebabkan rusaknya pagar ayu rumah tangga kami.

Sayangnya itu hanya pengharapan sepihak, pakde tak pernah mengungkapkan isi hati pakde karena pakde belum menangkap gelagat kalau Wedari suka dengan pakde.

Pernah beberapa kali pakde mendengar desas-desus kalau Wedari terlibat hubungan asmara dengan lelaki lain.

Ada yang bilang kalau Wedari dengan K, ada pula yang bilang kalau Wedari sedang dekat dan hangat-hangatnya dengan H.

Akan tetapi, pakde tak mau memutus asa, bila melihat Wedari saja pakde sudah senang maka pakde akan terus melakukannya meski ujung kaki di bibir jurang menganga.

Sejauh ini pakde masih sering berkunjung ke rumahnya dan membawa perasaan pakde yang masih terbungkus rapi tanpa cela.

 

****

 

Pakde makin sering dapat job nukang di proyek perumahan dan sudah jarang main ke rumah Wedari.

Tiba-tiba pakde mendapat kabar kalau suaminya Wedari masuk rumah sakit.

Malamnya pakde dan mbokdemu pergi ke rumah sakit dengan mengendarai motor.

Dari keterangan Wedari pula kalau ternyata selama ini suaminya sudah menderita infeksi saluran kencing.

Apakah ini yang menyebabkan Wedari berselingkuh dengan K atau H seperti yang pakde dengar perihal kabar burung yang menyakitkan telinga itu?

Pakde pikir, pakde bisa masuk, menghapus K dan H, lalu menuliskannya kembali menjadi nama pakde.

Kenapa tidak? Kalau Wedari menyukai K dan H karena burung kacernya, pakde juga punya kok, perkutut malah.

Selama suaminya belum pulang, pakde diam-diam sering ke rumah sakit. Iya, sendiri tanpa mbokdemu itu.

Wedari tidak pernah bercerita atau menyinggung nama K dan H, tetapi sepertinya Wedari dalam kesulitan sebab dari penuturannya kalau suaminya harus dioperasi ke Surabaya.

Pakde jatuh iba sebenarnya bila mengingat hubungan kami yang begitu baik selama bertahun-tahun, tetapi entah mengapa pakde sumpahi agar suaminya lekas mati saja!

Eladalah! Ndilalah suaminya mati beneran, Lur. Yong!

Pakde belum tanya apa penyebabnya saat melayat ke rumah dan mengurusi jenazah mendiang suaminya.

Setelah selesai baca Yasin dan tahlil yang digelar selama tujuh malam berturut-turut dan malam itu adalah malam terakhir, pakde sengaja tak langsung pulang karena mbokdemu masih rewang di rumah duka.

Dari hasil medis yang ditunjukkan Wedari kepada pakde, ternyata selama ini suaminya mengidap kanker ganas.

“Nek arep nguyuh sering sambat panas anune, Kang,” (Kalau mau kencing sering mengeluh panas anunya, Kang), ucap Wedari di depan pakde.

“Yo, kate piye meneh. Umur menungso gak ono seng ruh. Didungakno ae padang dalan lan jembar kubure. Mau iku gur lantaran, kabeh menungso bakal mati to?” (Ya, mau bagaimana lagi. Umur manusia tidak ada yang tahu. Didoakan saja terang jalannya dan tak sempit kuburnya. Tadi itu hanya lantaran, semua manusia akan mati ‘kan?), balas pakde sok ngustaz.

Pakde kok jadi menyesal karena pernah menyumpahi suaminya agar mati saja kala itu, ya.

 

****

 

Seringnya pakde main ke rumah Wedari saat mendiang suaminya hidup dulu membuat warga sekitar tak pernah menaruh curiga karena memang sedekat itu hubungan pakde dengan mendiang suaminya.

Entah hari apa kala itu, pakde lupa. Tiba-tiba pakde sakit dan tanpa diduga Wedari datang menjenguk pakde, padahal hanya sakit biasa. Pakde yakin bukan karena merindukan kasih sayang Wedari, tetapi penyakit murahan, batuk pilek.

Wedari datang dengan banyak bawaan, mbokdemu yang menyambutnya.

Ketika mbokdemu lengah, Wedari menyusul pakde di kamar. Ia turut mendoakan pakde semoga lekas sembuh.

Pakde senang sekali. Rasa-rasanya pakde kembali bugar setelah dipegang dahinya saat Wedari menakar panas badan pakde dengan telapak tangannya.

Mbokdemu tidak menaruh curiga sebab sudah biasa baginya kalau pakde sakit pasti banyak teman atau tetangga yang datang mengunjungi rumah pakde. Bukan karena pakde bintang populer di desa, tetapi karena timbal balik, sebab kalau ada tetangga sakit pakde selalu datang mengunjungi. Ah, separipurna itu memang pakdemu ini.

 

****

 

Tak lama berselang datanglah bulan Ramadan.

Pakde berangkat teraweh bersama mbokdemu di Masjid yang memang tak jauh dari rumah.

Pakde selalu menunggu Wedari datang dengan duduk di teras Masjid ditemani sebatang keretek di jepit jari. Lega rasanya kalau melihat ia datang teraweh dengan mengenakan mukena.

Ketika teraweh usai, pakde secara diam-diam tidak langsung pulang ke rumah, tetapi menyusul Wedari ke rumahnya.

Ada anak Wedari, tetapi ia tak menaruh curiga apa-apa sebab kedekatan pakde dengan keluarganya, terlebih kepada mendiang bapak mereka.

Malam itu pakde ingat betul kalau pakde pulang jam satu malam hanya untuk mendengar curhat Wedari.

 

****

 

Siangnya pakde coba untuk mengunjungi Wedari lagi.

Dia bertanya, “Poso ora, Kang?” (Puasa tidak, Kang?).

Pakde jawab, “Ogak.” (Tidak).

“La ngopo ora poso?” (Kenapa tidak puasa?).

“Lali ados,” (Lupa mandi), jawab pakde mencoba menggodanya menjurus.

Siang itu pakde ngopi dan dibuatkan mi rebus tanpa kecap, padahal pakde ikut membaca doa sahur malamnya di depan semangkuk sup telur puyuh bersama mbokdemu. Pakde terpaksa buka puasa lebih cepat demi bisa mendekati Wedari.

Wedari banyak bercerita tentang hidupnya sejak ditinggal oleh sang suami, terlebih ia bimbang saat H mengajaknya menikah!

Mendengarnya tentu pakde naik pitam, tetapi pakde coba untuk tetap duduk manis mendengar ceritanya.

Akhirnya pakde mencoba menanyakan apa yang menjadi kegelisahan hatinya. Dia menjawab tidak lagi memikirkan anak-anaknya, tetapi memikirkan goda syahwat yang menerpa.

Sebagai perempuan yang belum ‘kering’, tentu ia masih merindukan dekapan hangat laki-laki, dan H pernah menawarkannya sebagai istri kedua.

Pakde menyerahkan sepenuhnya keputusan Wedari. Kalau ia mau menjadi istri kedua H ya, monggo.

Yang membuat pakde tak bisa bicara setelahnya adalah kalau selama ini ia diam-diam mencintai pakde.

Genderang kemenangan ditabuh!

Menurut pengakuannya, Wedari sudah lama memendam rasa kepada pakde, tetapi ia tak mau dicap pelakor, begitu katanya.

Apa pakde harus menceraikan mbokdemu untuk bisa menikahi Wedari yang selama ini pakde cintai? Tentu tidak! Pakde tak mungkin bisa hidup dengan mbokdemu yang kenyih itu, tetapi pakde juga menginginkan Wedari.

Dari pengakuannya, pakde jadi tahu kalau Wedari sudah mengagumi pakde sejak sering main ke rumahnya, terlebih sejak suaminya tak lagi memberinya nafkah batin akibat infeksi saluran kencing.

Ah! Ternyata bertahun-tahun kami berdua hanya bisa memendam perasaan masing-masing. Kami begitu dekat, tetapi seperti ada dinding kaca yang memisahkan perasaan kami.

Siang itu, Ramadan tahun itu, Wedari berbuka lebih cepat setelah pakde menggiringnya ke kamar untuk menenggak manisnya anggur surgawi setelah sekian lama ia hanya mengidamkannya saja.

Pakde sadar telah meninggalkan noktah di catatan malaikat. Pakde yakin ada setan yang tak terikat sempurna hingga berhasil lepas di bulan suci, buktinya ia bisa menggoda kami. Dasar setan!

Penantian bertahun-tahun itu kini terbayar lunas. Untuk pertama kalinya pakde menikmati ‘apem kukus’ istimewa yang disuguhkan oleh Wedari, apem kukus yang selama ini hanya dibungkus rapi.

“Oh, Kang To.” Pakde ingat desahnya tatkala mengantarnya melayang ke jumantara  yang penuh pancarona kala itu.

 

****

 

Kami seperti kawula muda yang dimabuk cinta.

Setiap pulang teraweh pakde selalu diam-diam ke rumah Wedari dan pulang larut malam.

Di rumahnya pakde diperlakukan seperti suami sahnya meski dalam remang cahaya lindap.

Wedari yang belakangan dirundung mendung kini sedikit riak berombak oleh kunjungan diam-diam pakde.

Jenggala gersang nan tandus itu telah kembali subur karena pakde rajin menggarap dan memberinya pupuk.

Kami telah berkomitmen untuk tak menampakkan kasmaran ini di depan khalayak ramai. Biar bagaimanapun Wedari masih punya anak dan menantu, begitu juga pakde, masih punya mbokdemu yang sering mencak-mencak kalau pakde lupa karena telah menaruh handuk di tempat tidur.

Infonya, Lur. Di mana nggeh tempat tukar tambah istri?

 

****

 

Hubungan kami berlangsung kurang lebih 2 tahun.

Setiap ke rumah pakde sudah dilayani seperti suaminya, tentu dengan melihat kondisi sekitar karena di sebelah rumah adalah rumah anak Wedari. Kami tak mau sembrono yang akan berujung arak-arakan telanjang.

Awalnya mbokdemu curiga karena pakde masih rajin main ke rumah mendiang suami Wedari, mengingat status yang disandang Wedari adalah janda, tetapi pakde berkilah kalau sebatas main saja.

Mbokdemu yang mudah pakde bohongi itu sudah menaruh kepercayaan akhirnya percaya saja.

 

****

 

Selama 2 tahun pakde gendakan dengan Wedari dan itu masih aman.

Malam itu, setelah pulang dari acara tahlilan di salah satu rumah duka warga yang meninggal pakde mampir ke rumah Wedari.

Sikapnya berubah! Begitu dingin dan candala, tidak seperti Wedari yang pernah pakde kenal.

Tiap kali pakde tanya kenapa kok lain, tidak hangat lagi seperti dulu, dia menjawab, “Sampean duwe garwo, Kang.” (Anda punya istri, Kang).

Pakde balik bertanya kenapa dulu ia mengatakan kalau mengagumi pakde yang merupakan suami mbokdemu, lalu kenapa ia memeluk erat, mengerang, dan mengejang saat pakde menggantikan posisi mendiang suaminya di atas tempat tidur, lalu kenapa ia begitu perhatian saat pakde sakit, lalu ... ah!

Ia tak mampu menjawabnya.

Pakde juga bilang kalau semua terjadi begitu saja. Pakde mencintai Wedari tanpa rencana, semesta yang berkehendak! Kalau pakde bisa memilih, tentu pakde akan memilih jatuh cinta dengan janda pirang yang kaya dan bukan dia!

Pakde juga bertanya apakah maksud dari ucapannya itu berarti meminta pakde untuk menikahinya?

Dia menggeleng dan tak memberikan alasan apa pun!

Pakde juga bertanya apakah ada lelaki lain yang burung kacernya berkicau lebih keras?

Dia juga menggeleng.

 

****

 

Sikap Wedari telah berubah, padahal bertahun-tahun kami sama-sama memendam rasa.

Sejak saat itu tiap kali pakde berkunjung sikapnya masih dingin tanpa alasan yang jelas.

Pakde memutuskan untuk sedikit menjauhinya, berharap ia akan segera dirundung kangen dengan pakde.

Itu benar!

Setelah sekian bulan kami tak saling tegur sapa akhirnya ia datang ke rumah, tetapi pakde tak menggubrisnya dan ia lebih memilih berbincang dengan mbokdemu.

Malamnya pakde coba untuk kembali mengunjunginya, dan ajaib, sikapnya berubah!

Sudah dipastikan kalau malam itu kemesraan akan berlanjut di peraduan meski tanpa taburan bunga mawar dan kidung sang pujangga bersyair asmaraloka.

Kala itu pakde buat Wedari klenger hingga tenger-tenger. Manis madu cinta kami tenggak karena keblinger.

 

****


Akan tetapi, setelah beberapa minggu sikapnya kembali ke semula, dingin, dan sedikit acuh setelah pakde berkunjung siang itu.

Pakde seperti orang yang mabuk kepayang. Setiap ada kesempatan pakde ingin selalu mengunjunginya sampai-sampai pakde tak sadar kalau mbokdemu mulai curiga!

Pakde ke rumahnya tak lebih ingin memperbaiki situasi yang pakde rasakan menjenuhkan, tidak seperti dua tahun terakhir di mana pakde merasa bertakhta dan mendepak K atau H dari hatinya, tetapi hubungan kami kian buruk.

Sore itu pakde pulang dan di rumah mbokdemu rupanya sudah mengendus perbuatan pakde. Kami ribut besar kala itu hingga pakde mengikhlaskan permintaan mbokdemu yang minta cerai.

Keadaan berangsur membaik setelah pakde pikir tak ada gunanya melanjutkan hubungan dengan Wedari yang sikapnya angin-anginan. Pakde mengakui semua kesalahan di depan mbokdemu. Pakde harus bersikap ksatria dengan segala kesalahan yang sudah terjadi.

Mbokdemu menangis seperti orang kesurupan Jin Masjid.

Pakde sudah tak bisa lagi berpikir jernih. Andai mbokdemu mau minta cerai ya, monggo kerso. Toh dulu kami tidak saling mencintai! Pakde dan mbokdemu menikah karena 'kecelakaan' dan pakde dipaksa untuk bertanggung jawab.

Namun, itulah kelebihan mbokdemu. Geger geden dan selingkuh yang pakde lakukan berhasil ia redam hingga tak seorang pun tahu dengan syarat pakde tak melakukannya lagi.

Mahal to harganya mbokdemu ini. Ijolan yuk, Lur.

 

****

 

Sejak saat itu pakde sudah tak pernah lagi ke rumah Wedari, tetapi pakde yakin kalau ia juga merindu.

Kenapa begitu? Pakde orang yang percaya psikologi cinta! Kalau pakde susah melepaskan seseorang dari pikiran pakde, maka pakde yakin kalau orang itu juga susah melepaskan pakde dari pikirannya.

Hari-hari pakde jalani dengan tak mau lagi ke rumah Wedari, tetapi terus menunggu ia datang seperti dulu.

Bukankah ia pernah bersikap begini dan berakhir mesra kala itu? Akan tetapi, Wedari tak kunjung datang untuk bersua dengan pakde. Puspas perasaan pakde saat itu.

Pakde nandang wuyung sekali di masa ini. Pakde terbelenggu rindu. Semua pakde rasakan serba salah.

Pernah malam itu pakde menunggunya datang sampai dini hari meski pakde tahu Wedari tak akan datang.

Pernah juga pakde mbrebes mili nelangsa di pojok rumah karena memikul rindu yang teramat berat. Pakde tak sanggup dipermainkan oleh rindu begini rupa.

Ingin sekali Pakde berlari ke rumahnya, tetapi langkah pakde tertahan oleh janji pakde di depan mbokdemu kalau pakde tak akan menemui Wedari lagi.

Kala malam pakde tidak bisa tidur, di pekerjaan pakde tidak bisa fokus, pakde jadi sering melamun dan memikirkan Wedari.

Tidak butuh waktu lama sebenarnya untuk sampai ke rumah Wedari, tetapi pakde tak mau kehilangan mbokdemu yang sudah separuh putaran bumi menemani hidup pakde baik suka ataupun kala digores lara.

 

****

 

Masa-masa indah 2 tahun lalu masih membekas.

Kami sering bertemu pada akhirnya, tetapi sudah tak lagi saling tegur sapa. Menyedihkan memang, apalagi di hati pakde masih meraja namanya.

Aku tahu Wedari juga merasakan apa yang pakde rasakan, tetapi pakde tak mau menduga kalau ada lelaki lain yang diam-diam telah menikung pakde.

Sampai masa ini pakde masih dihempas oleh rindu yang belum juga mereda.

Bagaimana pakde tak tersiksa, Wedari sangat pakde kagumi, bahkan dalam melaksanakan tugas sebagai suami di kasur pakde masih membayangkannya. Bukan karena Wedari mantan biduan yang pintar goyang dan lihai memegang mik, tetapi entah mengapa pakde merasa damai saat di sampingnya.

 
Pakde diam-diam masih sering menanyakan kabar kepada tetangga rumahnya, salah satu orang yang dekat dengannya juga, dan pakde tak menduga kalau Wedari pernah menanyakan kabar pakde karena memang kami sudah jarang bertemu. Wedari saat itu sudah bekerja jadi juru racik di salah satu warung makan dan pulang sore.

Hingga pakde mendengar kabar kalau Wedari akan pindah, ikut lelaki yang akan menjadi suaminya.

Inikah jawaban atas perubahan sikapnya kepada pakde? Hati ini kembali diracuni lara.

Kenapa waktu pakde tanya ia tak menjawab kalau diam-diam ia ingin pakde nikahi karena sebuah status? Wedari tak mau jadi yang kedua, tetapi untuk meminta pakde bercerai tak mungkin juga.

Itu pakde tahu setelah nekat menemuinya karena tak mampu lagi pakde memendam rasa rindu yang kian ranum membiru. Dia menangis dan mohon maaf meski di hatinya terukir nama pakde.

 

****

 

Pakde hadir di pernikahannya yang sangat sederhana karena Wedari memilih untuk nikah di bawah tangan dengan lelaki yang tidak pakde kenal, bukan K atau H.

Hanya beberapa tetangga saja yang ia undang malam itu.

Sakit rasanya hati ini. Pakde patah arang kala itu.

Hilih! Paling juga burung calon suaminya itu emprit! Perutnya saja yang endut.

Pakde mulai benci suaminya itu, pakde tersulut kobar panasnya api cemburu!

 

****

 

Dua minggu berikutnya Wedari sempat pamit ke rumah, tetapi pakde sedang kerja dan mbokdemu yang menyambutnya. Wedari berpesan kalau ia pamit akan pindah ke Semarang ikut suaminya.

Sepulang kerja mbokdemu menyampaikan itu. Pakde pura-pura, “Oh, yo gak popo to.” (Oh, ya tidak apa-apa).

Di belakang rumah pakde kembali nelangsa, mbrebes mili mengenangnya.

Setelah pakde bertahan dari dera rindu kini berakhir pilu. Ah, pakde dipermainkan oleh cinta dan sakit ini tiada obatnya.

Apakah Wedari menikah hanya untuk mengejar sebuah status atau memang karena ingin melupakan pakde? Entah! Pakde sendiri tak pernah mendapat jawabannya saat pakde tanyakan pada malam yang dipayungi gugus bintang gemintang.

Cinta pakde masih ada untuknya dan pakde juga yakin kalau ia akan selalu mengingat pakde di mana pun berada karena jiwa kami pernah menyatu dengan  diiringi tetabuhan pucung lokananta.

Dear, Wedari. Apakah kamu sudah menamatkan cerita kita dengan akhir bahagia? END.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search