DI ATAS NORMAL SERIES 6
DI ATAS NORMAL 6 (Pakde To Series)
Kala itu aku sedang duduk sendirian di teras depan rumah, hujan turun sangat lebat sore itu. Aku hanya
termenung menatapi setiap titik rintik hujan yang jatuh membasahi bumi, pikiranku menerawang jauh.
Saat itu tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju ke arah rumahku yang memang berada di pinggir jalan lintas menuju kota.
Brummm.
Lantas terlihat seorang laki-laki turun dari sepeda motor dengan keadaan basah kuyup.
“Le, numpang berteduh, yo,” ujarnya kala itu setelah memarkirkan motor dan membuka helm.
Aku menatap lelaki yang akhirnya aku kenal sebagai Pakde To.
“Nggeh, Pakde,” (Silakan, Pakde), jawabku sopan karena memang Pakde To lebih tua dariku.
Ia hendak duduk di lantai teras, namun segera aku tawarkan sebuah kursi.
“Weh! Gak usah, Le. Teles,” (Wah! Tidak usah, Le. Basah), katanya.
“Tidak apa-apa, Pakde. Duduk saja,” balasku.
Pakde To kala itu tersenyum sambil menarik kursi, segera ia duduk.
Aku melihat Pakde To memeluk tubuhnya sendiri karena kedinginan.
“Berrr!”
Dia tidak memakai jaket dan baju yang ia pakai sudah hampir basah keseluruhan.
Merasa kasihan, aku segera masuk dan mengambil sehelai handuk di kamar.
****
“Ini, Pakde. Buka saja bajunya,” ucapku sambil menyerahkan handuk padanya.
Ia hanya menatapku lalu kemudian mengambil handuk.
“Terima kasih, Le,” ucapnya.
Pakde To lantas membuka bajunya, aku melirik diam-diam menatap tubuhnya yang bertelanjang dada.
Tiba-tiba aku merasa jantungku berdegup kencang.
Dada bidang Pakde To sangat menggoda, tetapi buru-buru kualihkan pandanganku karena ia sudah memakai handuk di badannya.
Tak lama kemudian Pakde To berdiri lagi.
“Celono ne yo teles. Oleh gak salin celono neng kene?” (Celanaku basah. Boleh tidak Pakde buka celana di sini?), tanyanya kemudian.
Untuk sesaat Aku hanya terdiam.
“Di dalam saja, Pakde. Mari,” ucapku akhirnya.
Pakde To akhirnya ikut masuk ke rumah.
“Di belakang ada kamar mandi. Pakde buka di sana saja,” lanjutku setelah kami masuk ke dalam rumah.
Pakde To segera melangkahkan kakinya Ke belakang.
Oh, iya. Rumah ini kubeli atas hasil jerih payahku bekerja.
Aku hanya tinggal sendirian karena memang aku seorang perantauan.
Orang tua dan keluargaku berada di kampung halaman.
Rumahku tidak terlalu besar, hanya ada ruang tamu, 2 kamar tidur, dapur, dan kamar mandi di belakang.
****
Beberapa menit kemudian.
Pakde To balik lagi ke ruang tamu dengan hanya memakai handuk yang terlilit di pinggang.
Darahku berdesir melihat pemandangan di depanku saat itu.
Dada Pakde To cukup bidang, perutnya juga ramping, tidak seperti kebanyakan bapak-bapak seumurannya yang buncit.
“Duduk, Pakde,” ucapku menawarkan melihat ia hanya
berdiri saja.
“Terima kasih, yo. Maaf lo, Le. Sudah merepotkan,” ujarnya setelah ia duduk di kursi tamu.
“Nggak apa-apa, Pakde,” balasku.
“Memang Pakde tinggal di mana?” tanyaku kemudian.
Pakde To menyebutkan tempat tinggalnya, “Bangorejo.”
Aku mengangguk, aku tahu daerah itu, hanya berjarak lebih kurang delapan kilometer dari rumahku.
“Tadi Pakde habis dari mana?” tanyaku lagi.
“Pakde ko kuto. Onok keperluan,”(Pakde dari kota. Ada
keperluan), jawabnya ringan.
“La pas di ujung jembatan itu tiba-tiba hujan deres. Karena enggak ada tempat berteduh pakde lanjut saja.
Eh, pakde enggak tahan adem. Karena melihat rumah ini
terbuka dan ada orangnya, pakde beranikan diri untuk singgah,” jelasnya lagi dengan bahasa berlogat Jawa.
****
Begitulah, tidak terasa sudah hampir dua jam kami
ngobrol. Aku jadi tahu kalau Pakde To sudah menikah.
Pakde To juga bekerja sebagai tukang bangunan.
Ketika hujan akhirnya reda, Pakde To memakai pakaiannya kembali dan permisi pulang sambil
berterima kasih, namun sebelum ia pulang, aku sempat meminta nomor handphonenya.
“Kate nggo opo, he?” (Buat apa, he?).
“Siapa tahu nanti ada rencana mau renovasi rumah. ‘Kan tinggal hubungi Pakde saja,” ucapku beralasan.
Pakde To dengan senyum khasnya mengambil handphoneku dan menuliskan nomornya di layar.
****
Tak kusangka, sejak saat itu Pakde To sering menghubungiku.
Katanya ia sangat berterima kasih padaku karena telah
memberinya tempat berteduh.
“Kalau tidak, paling pakde akan sakit karena terlalu lama
kehujanan,” lanjutnya di seberang telepon.
****
Selain sering menelepon, Pakde To setiap kali ke kota sering mampir ke rumahku juga.
“Pakde tas pesan beberapa bahan bangunan. Permintaan soko pelanggan pakde,” katanya suatu hari saat ia mampir ke rumah.
Ya, seperti biasa bahasanya
campur-campur.
Aku hanya tersenyum menatapnya. Aku suka menatap Pakde To, terlalu gagah, tapi wajahnya sungguh
menyeduhkan hatiku.
****
Ah! Entah kenapa, perlahan aku mulai menyukai sosok Pakde To.
Sering rindu juga kalau ia tidak ada kabar. Kadang aku yang terlebih dahulu meneleponnya.
“Halo, Pakde.”
Pakde To sangat baik. Hubungan kami jadi semakin dekat.
Pakde To benar-benar telah mampu mencuri hatiku. Kelembutan sikapnya dan keramahtamahannya
membuatku tidak mampu untuk melupakannya.
Namun, semua rasa itu hanya mampu aku pendam. Aku berusaha bersikap biasa saja di depan Pakde To.
Aku belum ingin dia tahu perasaanku. Aku takut saat dia tahu, ia justru akan menjauhiku.
****
Beberapa hari setelahnya.
Aku berencana akan menambah ruangan dapur rumahku yang masih kecil dan sempit.
Aku minta Pakde To datang untuk melihat kondisi dapurku, sekaligus
memperkirakan bahan-bahannya apa saja.
“Weladalah! Kebetulan sekali, Le. Pakde lagi sepi lokak,” katanya waktu itu.
Cerita lengkapnya bisa dibaca di Trakteer. Klik Trakteer dan nikmati kisahnya (Bisa dibaca offline).
No comments:
Post a Comment