PULAU KAPAL BANGKA BELITUNG
Cerita rakyat dari Bangka Belitung. Berjudul asal mula Pulau Kapal.
Dahulu kala di Kepulauan Bangka Belitung di dekat sungai Cicurug hiduplah sebuah keluarga yang sangat miskin. Keluarga itu dikaruniai seorang anak yang sangat rajin.
Mereka sekeluarga hidup dari hasil menjual buah-buahan dan dedaunan yang mereka petik dari hutan. Setiap hari sang anak selalu ikut kedua orang tuanya mencari hasil hutan.
Pada suatu hari yang cerah mereka kebingungan tidak ada bahan makanan di rumah, sehingga mereka sekeluarga tidak bisa makan.
“Tidak ada yang bisa dimasak hari ini.”
“Sepertinya aku harus mencari sesuatu yang bisa dimasak dari hutan.” Kemudian sang ayah memutuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari bahan makanan.
****
Sesampainya di hutan ia memilih untuk menebang rebung agar dimasak oleh istrinya. “Wah rebung ini saja, ya. Sepertinya sedap jika dimasak.”
Ketika sang ayah menebang rebung, ia menemukan tongkat di antara rumputan bambu.
“Apa ini sebuah tongkat?” Tongkat cantik itu dihiasi intan permata dan batu merah delima.
“Sangat cantik tongkat ini. Siapa pemiliknya?” Ia melihat sekitar. Tidak ada orang di hutan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa tongkat tersebut ke rumahnya.
“Sepertinya tidak ada yang punya. Aku bawa pulang saja agar ibu dan anakku tahu.
Setelah selesai memotong rebung, sang ayah segera pulang ke rumah dengan membawa tongkat tersebut.
****
Di rumah, ia segera menunjukkan tongkat tersebut kepada istrinya. “Aku menemukan tongkat ini di sela-sela bambu.”
Sang istri memegang tongkat itu dan menyipitkan matanya. “Apakah tidak ada pemiliknya?”
“Tidak ada.”
“kita simpan saja. Siapa tahu pemiliknya mencari.”
Sang ibu melihat di sekeliling ruangan rumah kecilnya itu. “Tapi kita tidak punya lemari untuk menyimpan benda indah ini. Aku khawatir akan dicuri oleh orang lain.”
Sang anak tiba-tiba hadir di tengah obrolan kedua orang tuanya. “Kita jual saja. Jadi tidak repot menyimpannya.”
Kedua orang tuanya pun bertatapan setuju.
“Ide bagus. Pergilah ke negeri seberang, Nak. Jual tongkat ini di sana. Pasti akan laku dengan harga yang mahal.”
Sang anak pun akhirnya berangkat ke negeri seberang dengan membawa tongkat yang ditemukan oleh ayahnya itu.
****
Sesampainya di negeri itu, sang anak segera menawarkan tongkat itu ke orang yang lalu lalang. “Lihatlah tongkat ini! Sungguh indah! Tak akan ada yang menyamai keindahan tongkat ini! Aku menjualnya dengan harga yang pas!”
Orang-orang pun mengerubungi anak itu. Banyak yang tertarik dengan keunikan tongkat tersebut.
“Bagus, ya?”
“Iya. Bagus,” ujar beberapa orang yang ada di situ.
Akhirnya tongkat tersebut pun laku dengan harga yang sangat mahal.
Sang anak sangat bahagia, namun setelah berhasil menjual tongkat itu, sang anak tidak pulang ke rumah, ia memilih menetap di negeri itu dengan uang hasil penjualan tongkat berharga.
****
Kehidupan sang anak di negeri itu menjadi berubah drastis. Ia menjadi orang yang kaya raya dan bergaul dengan kalangan bangsawan.
“Ini dia kehidupan yang menyenangkan. Ha ha ha.”
****
Bertahun-tahun ia tidak kembali ke kampung halamannya, hingga sang anak bertemu dengan salah seorang putri dari saudagar terkenal di negeri itu
“Ia sangat cantik jelita. Aku menyukainya.”
Setelah mendapatkan hati Sang Putri, ia pun menikahinya.
“Alangkah beruntungnya aku bisa menikahimu.”
“Jangan membuatku tersipu malu,” balas sang istri.
****
Suatu hari yang cerah. Sang Ayahanda dari istrinya memerintahkan untuk pergi berdagang.
“Mau gak mau kau memimpin perdagangan ini,” ujar sang Ayahanda.
“Bolehkah aku membawa putrimu?” balas sang menantu.
“Tentu saja. Dia istrimu. Pergilah dengan hati-hati.”
Akhirnya mereka pun berlayar ke negeri lain dengan anak buah kapal yang tangguh.
****
Di kapal mereka membawa banyak sekali perbekalan makanan selama berlayar, seperti hewan-hewan, sehingga suasana kapal sangat ramai dengan suara binatang.
“Binatang itu meramaikan kapal ini, ya?” ucap istrinya.
Kapal mereka menepi di sungai Cicurug. Melihat sungai itu sang anak teringat akan kampung halamannya.
“Sungai itu adalah kampung halamanku,” katanya dalam hati.
“Kenapa melamun?” tanya istrinya.
“Oh, Tidak apa-apa,” balasnya.
****
Berita kedatangan kapal mewah itu didengar oleh seluruh masyarakat, termasuk kedua orang tuanya.
“Ibu, kata tetangga di sungai Cicurug sana, anak kita datang, Bu. Dengan kapal sangat mewah.”
“Oh ternyata benar. Anakku akan pulang dengan membawa kesuksesan. Oh aku tidak sabar akan bertemu dengannya.” Sang Ibu segera menyiapkan makanan kesukaan anak itu. Kemudian ia pergi menemui anaknya dengan kerinduan yang mendalam. “Kami sangat merindukanmu, Nak.”
****
Ketika sampai di kapal mewah itu, sang ibu berlari membawa makanan dengan sangat senang.
“Ayah dan ibumu datang, Nak.”
“Ibu membawakan makanan untukmu.”
Lelaki muda yang berdiri di samping kapal itu tertegun melihat seorang wanita dan lelaki paruh baya menghampirinya.
Penampilannya yang lusuh membuat sang anak jijik. “Siapa Kalian! Berani-beraninya naik ke kapalku. Turun! Jangan mengotorinya!”
Sang Ibu masih mencoba mendekati anaknya. “Nak, kami ayah dan ibumu. Apakah kau tidak mengenali? Ini masakan kesukaanmu, Nak.”
“Kalian hanya mengaku-ngaku, ‘kan? Karena kalian miskin! Agar kami beri uang yang banyak! Basi!”
“Turun cepat!”
Sang ibu menyerahkan makanannya, namun sang anak melemparnya.
“Rebung-rebus! Aku tidak suka makanan kampung! Kalian bukan orang tuaku! Orang tuaku adalah bangsawan ternama! Kaya raya! Bukan orang miskin yang lusuh seperti kalian!”
Hancurlah hati kedua orang tua anak itu. Mereka bercucuran air mata.
Dengan berat langkah, mereka meninggalkan kapal itu.
Sang Ibu menahan sedih dan amarahnya.
“Jika saudagar kaya raya itu adalah anakku, Maka karamlah kapal itu bersamanya.”
Setelah kalimat itu keluar dari mulut sang ibu, tiba-tiba muncul badai dan gelombang yang sangat besar.
Gelombang itu menghantam kapal mewah itu beserta sang anak, istri, dan seluruh awak kapal.
“Tolong!”
“Tolong!”
Kapal itu terombang-ambing dan terbalik. Seluruh penumpang tewas seketika, termasuk sang anak dan istrinya.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian tersebut di tempat Karamnya kapal sang anak muncullah pulau yang bentuknya menyerupai sebuah kapal.
Berdasarkan cerita dari masyarakat, sekitar terdengar suara-suara binatang yang diyakini sebagai binatang yang dibawa sang anak saat berlayar, dan pulau itu dinamakan Pulau Kapal
No comments:
Post a Comment