CALON ARANG [HISTORY[
CALON ARANG
Sejarah nusantara tidak hanya diisi deretan tokoh protagonis. Terdapat pula seorang tokoh antagonis yang namanya saja bahkan Empu meremangkan bulu roma kita. Yakni Rangda Calon Arang, sang ratu teluh yang dipercaya pernah meneror tanah Jawa dengan wabah mematikan pada abad ke-11.
Siapa yang tak mengenal Bali dengan keindahan alam dan kekayaan budayanya?
Di Pulau Dewata ini, sebuah tarian istimewa ditetapkan oleh UNESCO, sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia, yakni tari Barong.
Tarian ini adalah bagian dari seni pertunjukan drama tari Calon Arang, yang memuat kisah pertempuran antara kebaikan, yang diwakili Barong, melawan kejahatan yang diwakili Rangda, atau sang janda.
Kisah Calon Arang, yang begitu populer di Bali, sesungguhnya berasal dari Jawa, dan sepenuhnya berbalut budaya Jawa Kuno.
Kisah ini diangkat dari Lontar Calon Arang. Meski berlatar masa pemerintahan Airlangga di kerajaan Daha, Jawa Timur, yakni pada sekitar awal abad ke-11, Lontar Calon Arang menunjukkan ciri-ciri sastra dari masa akhir Majapahit, yakni dari abad ke-16. Kemungkinan naskah ini terbawa ke Bali bersama kaum cerdik yang meninggalkan Jawa saat Majapahit mengalami kehancuran.
****
Dikisahkan hiduplah seorang janda bernama Calon Arang yang memimpin Kadewaguruan Tantra aliran kiri, di desa Girah, di pinggiran kerajaan Daha.
Janda ini memiliki putri yang jelita, bernama Ratna Manggali. Namun karena sang janda adalah juru teluh, tidak ada lelaki yang berani meminang Ratna Manggali. Merasa ditolak masyarakat, Calon Arang murka.
Bersama murid-muridnya, sang janda melakukan ritual memuja Bathari Durga agar diberi kekuatan untuk membalas dendam.
Calon Arang pun mendapat kekuatan yang diinginkannya, meski hanya boleh digunakannya di daerah pinggiran.
Bethari Durga juga mengingatkan agar Calon Arang tidak dikuasai nafsu amarah karena akan membuat kematian yang berbalik pada Calon Arang.
Penyakit yang mematikan itu pun tersebar.
Penduduk yang ketakutan mengadu kepada Raja Airlangga yang segera mengutus pasukan rahasia untuk membunuh Calon Arang. Namun mereka gagal, bahkan jatuh korban akibat kesaktian sang janda.
Mengetahui keterlibatan istana, kemarahan Calon Arang diarahkan ke seluruh negeri Daha.
Ia mempersembahkan caru berupa daging manusia, memohon agar Bethari Durga menambah kekuatan teluhnya.
Bethari Durga pun berkenan dan menyebarlah teluh ke seantero negeri hingga mencapai ibukota.
Raja Airlangga meminta bantuan pada Empu Barada, seorang pendeta suci agama Buddha yang beraliran Tantra kanan.
Empu Barada lalu mengirim muridnya, yakni Empu Bahula, untuk melamar Ratna Manggali, agar redam murka Calon Arang.

Pernikahan Empu Bahula dan Ratna Manggali turut dibiayai Raja Airlangga. Namun bukannya surut, amarah Calon Arang makin menjadi dan ia terus menebar teluh ke seluruh negeri.
Hal ini mendorong Empu Bahula untuk meminta Kitab Tantra yang digunakan Calon Arang pada Ratna Manggali, dan dengan diam-diam menunjukkannya kepada Empu Barada.
Menurut Empu Barada, kitab itu adalah kitab kebaikan, namun sengaja diarahkan ke aliran kiri oleh Calon Arang untuk menimbulkan malapetaka.
Mulailah Empu Barada bertindak, dengan mendatangi desa-desa yang tertimpa wabah.
Mayat-mayat yang belum rusak dihidupkannya kembali, dan keluarga korban diberinya ajaran yang menenangkan.
Wabah sirna, dan murid-murid Calon Arang lalu bertobat dan ingin berguru pada Empu Barada. Hingga akhirnya Empu Barada pun berhadapan dengan Calon Arang sendiri.
Sebelumnya Bethari Durga telah memperingatkan bahwa Calon Arang akan menemui ajal di tangan Empu Barada.
Maka sang janda pun meminta Empu Barada meruwat dirinya agar dapat bersih dari dosa. Dikarenakan besarnya dosa Calon Arang, Empu Barada menolak.
Murkalah Calon Arang dan terjadi pertarungan.
Tantra kiri melawan Tantra kanan.
Tatapan Calon Arang mampu menghancurkan sebuah pohon beringin. Namun kesaktian itu sama sekali tidak menyakiti Empu Barada, yang hanya berkata, “Hai, Besan, keluarkan yang lebih besar lagi.”
Dari mata, hidung, dan mulut Calon Arang keluarlah bola-bola api yang sangat panas. Namun, dengan kekuatan yoganya, Empu Barada bersabda, “Aku cabut nyawamu.”
Seketika itu juga matilah Calon Arang di tempatnya berdiri.
****
Kisah Calon Arang pun diwarnai welas asih terhadap mereka yang berada di jalan angkara. Empu Barada diceritakan menghidupkan kembali Calon Arang, lalu mengajarkan kepadanya kebenaran tertinggi.
Setelah itu Calon Arang pun melepas nyawa dalam damai. Maka, sesungguhnya keinginan Calon Arang untuk mati dalam kesempurnaan tadi telah terwujud.
Selanjutnya, Empu Barada menyucikan seluruh wilayah Girah dan mengubah desa itu menjadi kadewaguruan Tantra beraliran kanan, bernama Rabut Girah.
Ritual ruwat kemudian dilanjutkan pada diri Raja Airlangga, istana, dan akhirnya seluruh negeri.
Dengan demikian, Empu Barada telah membebaskan negeri Daha dari malapetaka.
Akhirnya wilayah Airlangga di Jawa dibelah menjadi dua, yakni Janggala dan Kadhiri. Empu Barada pun bertindak sebagai panitia pembelahan.
Tak hanya menentukan pembagian desa-desa, Empu Barada juga menyegelnya dengan kutukan agar kedua kerajaan baru itu tidak saling menyerang.
Kisah ini kemudian ditutup dengan lenyapnya Empu Barada karena telah mencapai kesempurnaan, atau moksa.
****
Kisah Calon Arang ini masih diingat oleh masyarakat Jawa dan masih dipentaskan dalam panggung cerita rakyat. Di Pulau Dewata, cerita ini menjadi induk bagi berkembangnya kesenian tari Rangda dan Barong. Bahkan kisah ini kerap dikaitkan dengan ritual pangleakan. Selain itu, terdapat wacana modern yang mengaitkan kisah Calon Arang dengan feminisme. Di mana Calon Arang dianggap mewakili kaum perempuan yang selalu kalah dan terpinggirkan. Namun, apakah tokoh Calon Arang benar-benar ada dalam sejarah, atau sekedar fiksi?
Banyak masyarakat kita yang meyakini Calon Arang adalah tokoh historis. Beberapa cara digunakan untuk membuktikan keberadaannya.
Pertama, terdapat sisa-sisa peninggalan Calon Arang, yakni Petilasan Calon Arang di Gurah, Kediri, Jawa Timur. Secara toponimi, nama Gurah diyakini berasal dari Rabut Girah, yakni desa yang menjadi tempat tinggal Calon Arang.
Kkik Trakteer untuk membuka cerita yang memerlukan kode.
Kedua, Prasasti Wurare (1289 M) di Surabaya juga menyebutkan nama Empu Barada dan kisah pembelahan pulau Jawa, sebagaimana tercantum dalam Lontar Calon Arang.
Ketiga, Kitab Negarakertagama (1365 M), yakni naskah yang ditulis di zaman Majapahit pun, menyinggung kisah pembelahan pulau Jawa oleh Empu Barada.
Keempat, Prasasti Pucangan atau Calcutta Stone (1042 M), mencatat adanya perempuan berkekuatan raksasa yang harus dihadapi Airlangga.
Kelima, secara tradisi, Calon Arang dikaitkan dengan tokoh historis Mahendradhatta (961 - 1011 M), yakni saudari Raja Dharmawangsa Teguh (991 – 1007 M) dari kerajaan Medang Jawa Timur yang menjadi permaisuri di Bali.
Sayangnya, tidak satu pun dari sumber-sumber tadi dapat membuktikan keberadaan Calon Arang. Pertama, petilasan Calon Arang hanya menyimpan setumpuk batu-batu yang tidak bisa bercerita apa pun tentang Calon Arang. Penyebutan kekunoan ini sebagai petilasan Calon Arang hanya didasarkan pada keyakinan semata.
Kedua, Prasasti Wurare baru dipahat pada masa Raja Kertanegara (1268–1292 M), yakni dua abad setelah zaman Raja Airlangga.
Jadi berita di dalamnya, mengenai Empu Barada dan pembelahan kerajaan, tidak bisa dijadikan sumber primer.
Begitupun dengan Negarakertagama yang ditulis tiga abad setelah zaman Airlangga.
Ketiga, Prasasti Wurare dan Kitab Negarakertagama juga sama sekali tidak menyebutkan keberadaan Calon Arang.
Prasasti Pucangan pun hanya menyebut wanita berkekuatan raksasa, sama sekali tidak menyebut Calon Arang.
Keempat, kaitan Calon Arang sebagai Mahendradhatta atau Gunapriyadharmapatni pun hanya didasarkan pada tradisi, tanpa adanya sumber sejarah yang primer.
Adalah fakta bahwa satu-satunya sumber yang menceritakan tentang Calon Arang adalah Lontar Calon Arang. Sayangnya, lontar ini ditulis tahun 1540 Masehi, yakni 5 abad setelah zaman yang menjadi setting dalam kisah Calon Arang itu sendiri. Sehingga Lontar Calon Arang tidak bisa dijadikan sebagai sumber primer bagi sejarah kerajaan Daha. Namun, Lontar Calon Arang dapat menjadi referensi jika kita ingin mempelajari kehidupan masyarakat Jawa Kuno pada awal abad ke-16, sesuai dengan tahun penulisannya.
Lontar Calon Arang, bisa dibilang adalah karya sastra sejarah, yang dituliskan menurut pandangan atau kepercayaan masyarakat setempat secara turun-temurun.
Sehingga melaluinya kita dapat berkomunikasi dengan jiwa zaman masyarakat itu. Tak heran, Lontar Calon Arang adalah salah satu kisah paling masyur dari ladang sastra Jawa Kuno.
Namun, karena ketiadaan bukti historis yang memadai, tanpa mengurangi penghargaan kepada mereka yang percaya pada ketokohan Calon Arang, dapat menyimpulkan bahwa Calon Arang bukanlah tokoh historis. Jika demikian, untuk apakah leluhur kita mengabadikan kisah Calon Arang di dalam lontar?
Hal ini berkaitan dengan kondisi masyarakat pada masa akhir Majapahit. Tantrayana, yakni teknik mempercepat tercapainya kesempurnaan atau kesadaran tertinggi. Dalam teknik ini, perjalanan spiritual dimulai dengan membangkitkan energi kundalini yang dinamis dan berkekuatan besar, serta bersifat feminim dan mempertemukannya dengan sahasra, yakni cakra tertinggi dan tersuci. Di sinilah tempat Sanghyang Paramasunya, yang tenang dan sempurna, serta bersifat maskulin.
Tindakan ini melibatkan teknik pernapasan dan yoga. Namun Tantra juga menawarkan jalan lain untuk mencapai kesadaran tertinggi, yakni melalui sastra, dari mana kata tantra sendiri berasal.
Maka keterpisahan dan penyatuan kembali dua energi, sebagaimana dijelaskan tadi, diejawantahkan dalam bentuk sastra cerita. Baik dalam bentuk relief, misalnya kisah Panji di Candi Penataran, atau pertemuan Candrawati dan Sutasoma di Candi Jawi, Juga dalam bentuk tulisan, misalnya lontar Calon Arang.
Calon arang sendiri adalah personifikasi energi kundalini yang dinamis dan mematikan, serta harus dipertemukan dengan Empu Barada sebagai personifikasi sahasra yang tenang dan mencerahkan.
Sehingga tidak berlebihan jika kita menyebut kisah Calon Arang sebenarnya adalah personifikasi ajaran Tantra.
Diharapkan melalui lontar ini, para pembaca mencapai kesadaran sempurna, seperti halnya mereka yang menjalankan yoga dan teknik pernapasan. Sebagai lontar perjalanan jiwa menuju kesempurnaan, tidak ada yang menang maupun kalah dalam kisah ini.
Hal ini tentu berbeda dengan konsep Rwa-Bhinneda di mana kebaikan dan kejahatan berada dalam pertempuran abadi, namun tidak saling mengalahkan. Namun Barong-Rangda yang merupakan personifikasi dari konsep Rwa-Bhinneda, kemungkinan adalah pengembangan dari kisah lontar Calon Arang.
****
Tindakan-tindakan Empu Barada dalam kisah ini cukup menarik untuk disimak. Pertama, ketika dipikirnya akar masalah Calon Arang adalah Ratna Manggali yang tak kunjung dilamar, putri Calon Arang itu pun dilamar untuk muridnya. Namun ketika terungkap bahwa akar persoalan sesungguhnya adalah pikiran sang janda yang dikuasai kejahatan, Empu Barada pun segera mengambil tindakan.
Kedua, meski Raja Airlangga memohon bantuannya, Empu Barada lebih memprioritaskan rakyat daripada menyelamatkan istana. Dia blusukan ke masyarakat yang paling terdampak dan berfokus menolong mereka.
Ketiga, meski teluh Calon Arang telah menelan banyak korban, Empu Barada menunjukkan welas asihnya dengan memberi pencerahan kepada jiwa Calon Arang agar ia bisa meninggal dalam damai. Maka, dengan kemampuan menemukan akar persoalan, menentukan skala prioritas, dan welas asih terhadap sesama, Percayalah, apa pun masalah yang mendera, Anda akan bangkit dengan cepat dan menjadi pemenang.
Selesai.

No comments:
Post a Comment