PENJAGA MAKAM
Kehilangan pekerjaan selama krisis moneter di tahun 1998
membuat Sutrisman stres.
Sebagai perantau, selama ini dia sudah berjuang sekuat tenaga
untuk mencari nafkah di ibukota, tapi dia harus menerima nasib ketika gelombang
PHK membuatnya menjadi pengangguran.
Usahanya untuk mendapatkan pekerjaan baru juga tidak
membuahkan hasil.
Dia pun merasa putus asa dan hanya berdiam diri di kontrakan
saja.
Karena tidak ada lagi yang bisa dikerjakan maka akhirnya Sutrisman
memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, dia akan menenangkan pikiran
bersama keluarga di sana, dia juga akan minta saran dari kerabat juga
kawan-kawan, siapa tahu ada pekerjaan yang cocok untuknya.
****
Tiba di kampung halaman.
Sutrisman langsung disambut hangat oleh istri dan putranya
yang berusia 4 tahun. Merekalah yang menjadi penyemangat baginya selama ini.
Tahu keadaan sang suami yang sedang tidak baik, istrinya
memberi dorongan semangat agar selalu kuat dan tidak berputus asa.
Sutrisman memeluk keluarga kecilnya dengan mata berkaca-kaca.
Dia berharap segera mendapat pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup juga untuk
melengkapi perabotan rumah yang baru dibangunnya tahun lalu.
****
Dua hari kemudian.
Sutrisman yang merasa suntuk pergi ke Musala untuk menenangkan
diri. Musala itulah yang selalu menjadi tempat bernaung ketika hatinya sedang tidak
baik.
Dia akan membaca Alquran dan akan mengenang masa kecilnya
dulu selama berjamaah di Musala. Masa di mana kebahagiaan sangat utuh saat bersendawa
dengan kawan-kawannya baik sebelum maupun setelah mengaji bersama. Kini masa
telah berganti, Musala hanya disambangi oleh orang-orang dewasa saja, itu pun
hanya beberapa orang, tidak tampak anak yang ikut.
Mungkin perubahan zaman membuat para kiai kampung mulai tersisihkan.
Tidak ada lagi tausiah di Musala seperti sewaktu itu.
Anak-anak lebih ditekan ke Pondok Pesantren Modern maupun
mendatangkan guru ngaji ke rumah masing-masing.
Sutrisman Berharap ada generasi penerus yang akan melanjutkan
ibadah di Musala masa kecilnya itu.
Sutrisman terenyak dari lamunan. Dibuangnya puntung rokok
yang hampir menyudut jemarinya ketika datang seorang warga.
Sutrisman pun mulai percakapan dengan warga, salah seorang tetangganya yang bernama Karmin.
Perbincangan selepas isya itu akhirnya menjurus masalah
pekerjaan, Karmin memberitahukan kalau Mbah Tarmo juru kunci makam telah
meninggal sekitar sebulan yang lalu.
“Sampai saat ini belum ada yang menggantikannya sebagai penjaga
makam.”
“Baik putra maupun menantu Mbah Tarmo tidak ada yang mau
melanjutkan pekerjaannya itu.”
“Mereka sudah nyaman dengan pekerjaan masing-masing.”
“Warga kampung juga tidak ada yang berminat menjadi penjaga
makam.”
Dari situlah Karmin menawarkan pada Sutrisman. Siapa tahu dia
berminat.
Memang selama ini sebagai penjaga makam kampung tidaklah
memiliki gajian yang tetap.
Upah yang didapat adalah hasil garapan lahan desa sekitar
makam saja.
Tidak heran jika ada tanaman seperti pisang ataupun randu
untuk dipanen penjaga makam, sedangkan gajian yang didapat biasanya setahun
sekali.
Menjelang bulan Ramadhan pihak desa akan menarik warga untuk
upah penjaga makam. Tarikan itu pun tidak ditarget besarnya uang, tapi
seikhlasnya saja, dan itulah yang didapat dari penjaga makam, sedangkan hasil
sampingannya adalah jika menjelang hari raya biasanya seminggu sebelum Idul
Fitri si penjaga makam akan selalu berada di lokasi kuburan. Kebanyakan
orang-orang yang mudik atau pendatang yang nyekar akan memberi uang padanya.
Karmin lebih dulu mengingatkan agar Sutrisman jangan lupa
mematikan lampu Musala kalau pulang nanti.
Sejenak Sutrisman merenungi tentang pekerjaan yang ditawarkan.
Hatinya pun memutuskan kalau dia akan menemui beberapa kawan
untuk mencari pekerjaan lain dulu, jika memang benar-benar tidak ada barulah
dia akan diskusikan dengan istrinya.
****
Pada awalnya hati Sutrisman berat menerima tawaran Karmin,
tapi karena tidak kunjung mendapat pekerjaan juga mengingat menanggung istri
dan anaknya berusia 4 tahun akhirnya dia pun minta restu sang istri dan Sutrisman
pun memantapkan bekerja sebagai juru kunci makam kampung.
Dia mampu meyakinkan istrinya bahwa selain beramal bagi
sesama, uang yang didapat juga penuh keberkahan, yang penting adalah ikhlas dan
selalu bersyukur dengan berapa pun uang yang didapat.
Segera Sutrisman bersiap untuk menemui Karmin yang bekerja
sebagai perangkat desa. Dia akan melamar pekerjaan itu.
Dengan penuh kemantapan dia buang segala keraguan demi masa depan
keluarganya.
****
Setelah izin didapat,
resmilah Sutrisman sebagai penjaga makam yang baru.
Rumah Sutrisman dengan makam berjarak sekitar 600 meter.
Lokasi makam juga tidak berada di tengah pemukiman seperti
kota-kota, namun berada di antara lahan perkebunan pinggiran desa.
Ada rasa takut, namun dia menganggap tugasnya itu tidak sulit
seperti yang diperkirakan. Sutrisman hanya perlu memastikan tidak ada orang
luar yang masuk ke kawasan kuburan dan dijadikan tempat untuk berjudi atau
pengamal ilmu hitam, harus memastikan tidak ada orang yang mengganggu area
kuburan.
Berkaca pada penjaga makam lama yakni Mbah Tarmo maka Sutrisman
akan melakukan ronda sebanyak tiga kali pada waktu siang hari dan dua kali pada
waktu malam.
Rasa takut dan gemetar itu perkara biasa baginya. Setiap kali
melakukan ronda malam dia selalu berzikir sambil menyorot senter ke area pemakaman
dan alhamdulillah di awal tugasnya dia tidak menemui kejadian aneh dan dia
menikmati bercocok tanam di tanah kosong area pemakaman yang juga sebagai
penghasilannya.
****
Sebulan telah berlalu.
Meski tidak banyak uang yang didapat dari hasil bumi dan pemakaman,
namun setidaknya cukup untuk kebutuhan keluarga untuk bayar listrik dan air.
Sutrisman selalu bersyukur atas apa yang didapat.
Malam ini dia bersiap dengan tanggung jawabnya, dia tidak mau
jika kecolongan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Sutrisman yang ketiduran selepas isya tadi datang kemalaman.
Biasanya ronda malam dilakukan pukul 21.30 malam ini sekitar
pukul 23.00.
Saat baru sampai suasana senyap.
Sesekali gonggongan anjing liar terdengar dari kejauhan,
sedangkan binatang malam sudah tidak bersuara lagi.
Setelah menaruh sepeda ontelnya, Sutrisman mengeluarkan
senter bertenaga 3 baterai ABC lalu mulai berjalan pelan sambil menyorot ke
sekitar kuburan.
Baru beberapa langkah jantung Sutrisman terasa copot saat
melihat sesuatu yang tidak biasa.
Sorot senternya terhenti pada sebuah kuburan di mana terdapat
seorang perempuan sedang duduk di sana dengan baju kebaya kuno dan rambut digulung
konde.
Perempuan yang membelakanginya itu duduk menghadap sebuah
nisan.
Tampak pula selendang motif lurik melingkar di bahunya.
Sutrisman terus berkumat-kamit berzikir.
Meskipun janggal, namun Sutrisman berharap jika Apa yang
dilihat menjelang tengah malam itu adalah seorang manusia.
Merasa ada yang memperhatikan sosok perempuan itu bangun dan
bergerak meninggalkan makam tersebut. Dia berbalik lalu berjalan mengikuti sorot
senter Sutrisman.
Wanita muda yang sepantar dengan Sutrisman, yakni berusia sekitar
30-an tahun itu wajahnya pucat pasti. Sama sekali tidak ada raut kehidupan di
wajahnya.
Ketika berjalan melintas di sisi Sutrisman, segera Sutrisman
menghentikan zikir lalu menyapanya.
Namun, tidak ada sepatah kata keluar dari mulut. Wanita itu
terus berlalu begitu saja menuju semak-semak di tepi kawasan kuburan.
Dengan memberanikan diri Sutrisman mencoba mengikuti
perempuan tersebut, namun dia kehilangan jejak.
Yang mengherankan tidaklah ada jalan keluar kawasan kuburan
melalui semak-semak tersebut, sungguh hal yang tidak masuk akal.
Meskipun dia juga merasa takut, namun Sutrisman tetap
menjalankan tugasnya.
Di malam itu ia terus berzikir dan mengarahkan pikirannya ke
hal yang positif.
Senter kembali diarahkan ke segala penjuru.
Setelah dirasa aman, Sutrisman yang gagal menemui sosok
perempuan itu melangkah menuju makam yang disinggahinya tadi.
Di nisan yang masih utuh Sutrisman melihat jelas tertera nama
seorang perempuan. Tulisan kuno itu menunjukkan jika sudah meninggal dunia
hampir 60 tahun yang lalu.
Setelah itu Sutrisman beranjak meninggalkan makam menuju
pulang.
****
Masih di malam yang
sama.
Pukul 02.00 dini hari. Sutrisman kembali ronda untuk yang
kedua.
Itulah yang dilakukan ronda pada pukul setengah 22.00 dan
pukul 02.00.
Sesuai saran pamong desa dia juga tidak harus ronda malam
bila tidak ada orang yang baru meninggal, tapi malam ini masih ada makam warga
yang 5 hari kemarin meninggal dunia.
Jadi, dia harus melakukan ronda dua kali.
Kembali Sutrisman menghentikan langkah sambil mengucap istigfar
ketika sekali lagi dia melihat perempuan yang sama, tapi kali ini sayup-sayup terdengar
suaranya yang sedang menangis di pinggir makam yang sama pula.
Beberapa saat memberhentikannya, perempuan itu tiba-tiba
menolehkan wajah ke arah Sutrisman.
Dalam samarnya malam dan cahaya senter kali ini wajahnya
terlihat menyeramkan, tidak pucat pasi seperti semalam, tapi hancur dan penuh
belatung yang berloncatan. Tampak pula giginya yang tanpa bibir.
Segera Sutrisman mematikan senter lalu berlari menuju
sepedanya yang terparkir.
Sayang, dia salah arah sehingga justru masuk ke area
pemakaman.
Dalam kebingungan Sutrisman dikejutkan dengan suara menggema
yang meminta agar ia tidak mengganggunya.
Refleks Sutrisman mencari sumber suara.
Ketika memandang ke atas, perempuan itu sudah bertengger di
atas pohon randu besar di tengah area kuburan.
Pemandangan mengerikan itu membuat Sutrisman terus berlari
tanpa tujuan.
****
Sungguh apa yang terjadi bagikan sebuah mimpi.
Sutrisman meninggalkan sepedanya dan berlari mengikuti
jalanan kampung.
Entah bagaimana kelanjutannya tiba-tiba Sutrisman sadar sudah
berada di halaman rumah.
Saat bertanya pada istrinya, dia diberitahu kalau ditemukan
dalam kondisi pingsan di depan pintu rumah.
Kejadian itu membuat hampir seminggu Sutrisman demam tinggi
dan setelah dibawa ke Puskesmas sang istri memanggil seorang ustaz untuk
memulihkan semangat Sutrisman .
Herannya adalah nisan yang dijumpai Sutrisman dalam keadaan utuh,
lengkap dengan nama, tanggal, dan hari kematian di malam kejadian, Sutrisman tidak
menjumpainya di siang hari.
Sutrisman bertemu dan diobati oleh ustaz, dia menceritakan
semua lalu mengajak ustaz menyambangi makam di mana sosok tersebut berdiam diri,
tapi ternyata makam itu tidak ada, hanya terdapat satu nisan yang rapuh.
Bersama sang ustaz Sutrisman melakukan doa di sana.
Sejak kejadian itu tidak ditemui lagi hal yang menakutkan.
****
Sudah hampir 2 tahun
berlalu.
Sutrisman sempat berpikir mengenai sosok perempuan itu, namun
perempuan misterius itu tidak pernah muncul lagi di kawasan kuburan dan Sutrisman
tetap meneruskan pekerjaan sebagai penjaga kuburan.
No comments:
Post a Comment