DUA HARI DI ALAM GAIB PART 2
PART 2
Malam semakin larut.
Aku bersama Made masih berjaga.
4 orang yang kebetulan mereka adalah mahasiswa baru yang juga
ikut acara pelatihan dan pelantikan anggota baru Mapala ini sebut saja namanya
Ani, Dewi, Angga, dan Sanca.
Mereka menemaniku sambil bertanya-tanya “Yan, Gunung apa saja
yang pernah kamu daki selama ini?”
Selang beberapa saat kami dikagetkan dengan suara terdengar
riuh sekali.
Dengan penasaran Made menoleh ke suara itu, tetapi tidak ada
apa pun di sekitar.
“Mungkin itu acara di kampung bawah rumah, Made.” Aku yang
teringat dengan pesan Mbah Anto menyuruhnya untuk mengabaikan suara tersebut.
****
Mendekati tengah malam
hanya aku dan Made yang masih terjaga.
Kejanggalan kembali terjadi. Sayup-sayup kami mendengar suara
sangat menyeramkan.
Beberapa saat kemudian tepat di atas kami sosok itu
benar-benar menampakkan wujudnya.
Aku dan Made tidak bisa melakukan apa pun selain berdiam diri
gemetaran. Sosok itu menghilang dengan suara yang sangat mengerikan. Berbarengan
dengan itu di tenda sebelah, Dewi berteriak dengan sangat lantang.
“Akh!”
Dewi terlihat sangat ketakutan. Dua temannya ikut tegang
melihat tingkah Dewi.
Kemudian dia bercerita tadinya dia berteriak-teriak karena
tepat di sampingnya ada sosok pocong. Mukanya hancur, banyak belatung keluar
dari kedua bola matanya.
Cerita itu membuat yang lain berpikir lebih.
Aku dan Made mempunyai pikiran yaitu tentang hal negatif yang
tidak diperbolehkan dilakukan di pegunungan, termasuk di tempat ini. Pastilah
mereka berbuat hal yang tidak senonoh.
Segera aku dan Made melakukan penyisiran di sekitar. Sengaja
kami tidak melibatkan rekan lain karena kami anggap ini adalah hal yang perlu
dirahasiakan.
Jika memang ketahuan mesum, maka mereka harus berjanji untuk
tidak mengulanginya dan bila membantah, maka mereka harus dipulangkan paksa.
Made yang berada di depanku terus menyalakan senternya ke
segala penjuru.
Saat kami tiba di sebuah pepohonan besar secara tiba-tiba
angin kencang datang.
Aku memicingkan mata untuk mengikuti Made, namun secara
mengejutkan ada sesuatu yang menabrak hingga aku terpental beberapa meter ke
sisi kiri di mana di sana adalah jurang curam.
Aku yang tidak mampu berteriak dengan mengikuti ke mana
tubuhku terjatuh.
“Akhhhh!”
Aku pasrah saja andainya malam ini harus mati hingga akhirnya
aku terjerembap di sebuah tempat yang sangat asing.
Setelahnya tidak tampak hutan belantara, tapi yang terlihat adalah
tempat seperti sebuah perkebunan, tidak gelap juga tidak terlihat terang.
Aku memanggil Made berulang kali.
“Made!”
“Made!”
Aku terus berteriak memanggil namanya.
“Made!”
“Made!”
Namun, yang muncul justru suara aneh seperti geraman,
tangisan, serta tawa yang sangat menakutkan.
Dengan perasaan tidak karuan aku mulai melangkah menyusuri
jalanan.
Setelah berjalan cukup lama aku tiba di sebuah kampung yang sangat
sepi.
“Kamu sudah sampai,” kata seorang kakek yang menggendong kayu
bakar.
Kakek itu mengagetkanku.
Aku yang sadar telah masuk ke dimensi alam lain bertanya pada
kakek tersebut.
Aku menanyakan tentang di mana aku berada di sini.
Belum sempat si kakek menjawab, suasana yang tadinya sepi
menjadi sangat riuh.
Suara gamelan khas Jawa juga terdengar mengiringi.
Beberapa saat kemudian singkatnya ia bercerita kalau di
kampung ini sedang diadakan acara hajatan dan suara gamelan itu adalah tanda
kalau acara baru saja dimulai.
Kakek itu juga berkata bahwa kalau aku ingin keluar harus
menunggu hajatan ini selesai tepatnya dua hari kemudian. Jika aku memaksa
keluar kampung maka akan tersesat dan meninggal dunia.
Tidak ada pilihan lain selain mengikuti ucapan sang kakek.
****
Aku harus berada di
sini selama dua malam.
Selama itu aku diharuskan untuk mengikuti jalannya ritual
hajatan di mana yang melakukan hajat adalah seorang tetua adat dengan suasana
yang berbeda karena dari segi pakaian dan rumah sangat kuno sekali.
Di sini aku menikmati setiap acara. Tanpa terasa membuatku
lelah.
Yang aneh adalah tidak ada matahari maupun bulan. Waktu
berjalan dengan cahaya remang-remang.
****
Setelah melewati dua
malam.
Aku pun berpamitan untuk meninggalkan perkampungan tersebut.
“Berjalanlah lurus ke arah itu dan jangan sekali-kali
menengok ke belakang. Kamu akan menyesal jika menengok ke belakang!” ucap sang
kakek menunjukkan arah jalanan sambil memperingatkan aku.
Dengan hati yang diliputi kecemasan aku mulai melangkahkan
kaki. Berjalan dan berjalan lurus mencari pegunungan tempatku berkemah.
Beberapa kali terdengar teriakan dari belakang memanggil
namaku, tapi aku tidak menoleh sama sekali mengikuti ucapan kakek itu meski
suara tersebut sama dengan suara Made.
BERSAMBUNG KE PART 3
Jangan lewatkan cerita khusus dewasa
JURAGAN
No comments:
Post a Comment