ABU NAWAS APA WARNA ANGIN
ABU NAWAS
Dikisahkan Baginda Raja menunjuk kawannya untuk menjabat
sebagai gubernur di kota Abu Nawas, tapi sayangnya orang yang ditunjuk ini
menyalahgunakan jabatannya dengan sewenang-wenang. Dia memerintahkan para
prajurit untuk menangkap para sastrawan yang dianggap pintar.

Setelah beberapa sastrawan berhasil ditangkap, mereka
dihadapkan kepada gubernur yang baru. Satu persatu di antara mereka ditanya
oleh sang gubernur.
“Menurutmu saya gubernur yang adil atau zalim!”

Sastrawan pertama
menjawab, “Anda, adalah gubernur yang zalim.”
Sang gubernur terperanjat dengan jawaban tersebut. “Apa
alasanmu?” tanya sang gubernur.

“Karena Anda, telah menangkap kami tanpa sebab!” jawab
sastrawan pertama.
“Prajurit, masukkan dia ke dalam penjara! Besok dia harus
dihukum mati !”titah sang gubernur.
****
Sastrawan berikutnya dipanggil dan diberi pertanyaan.
“Menurutmu saya gubernur yang adil atau zalim?” tanya sang gubernur.
“Tuanku, adalah gubernur yang adil,” jawab sastrawan kedua.

“Apa alasanmu?” tanya sang gubernur kembali.
“Karena Tuanku, sangat memperhatikan rakyatnya,” jawab
sastrawan tersebut.
“Kamu pembohong! Prajurit, masukkan dia ke dalam penjara! Besok
dia harus dihukum mati!” titah sang gubernur.
Begitulah seterusnya, apabila dijawab adil ataupun zalim, sang
gubernur tetap memberikan hukuman mati.
Kemudian beberapa sastrawan yang belum tertangkap mendatangi
rumah Abu Nawas.
“Tolonglah kami, Abu Nawas. Beberapa kawan kita dijatuhi
hukuman mati,” kata mereka penuh khawatir.
Abu Nawas terkejut mendengarnya. “Kenapa gubernur melakukan
hal itu? Bagaimana ceritanya?” tanya Abu Nawas heran.
“Kami sendiri tidak tahu, Abu Nawas. Tanpa sebab gubernur
yang baru menangkapi para sastrawan di kota kita, lalu mereka ditanya satu
persatu, apakah dia gubernur yang adil atau zalim. Bila jawabannya zalim akan
dihukum mati, bila jawabannya adil juga tetap akan dihukum mati,” kata mereka
menjelaskan.
“Pasti gubernur sakit! Dia sudah tidak waras,” ucap Abu Nawas.
“Itulah kenapa kita ke sini, Abu Nawas. Kita mendatangimu agar
kau menyelamatkan kawan-kawan kita, sebab rencananya besok kawan-kawan kita
akan dihukum mati!” tutur mereka.
“Baiklah. Aku akan ke istana gubernur sekarang juga. Kalian pulanglah,”
ucap Abu Nawas.
****
Maka berangkatlah Abu
Nawas ke istana
Sesampainya di sana, Abu Nawas langsung menghadap sang Gubernur.
Melihat kehadiran Abu Nawas, sang Gubernur langsung emosi.
“Kenapa kau datang ke istanaku!” tanya sang gubernur.
“Saya mendengar kabar Anda, menyuruh beberapa prajurit untuk
menangkapi para sastrawan pintar di kota ini, tapi kenapa aku tidak ditangkap.
Saya sangat tersinggung,” jawab Abu Nawas.

“Oh? Jadi kamu menganggap dirimu bagian dari mereka?” tanya
sang gubernur.
“Tentu saja. Masyarakat di kota ini tahu siapa aku. Aku
adalah sastrawan terpandai di kota ini,” balas Abu Nawas.
“Baiklah. Algojo, tangkap Abu Nawas dan penggal lehernya!”
perintah sang Gubernur.
“Tunggu dulu! Sebelum leherku dipenggal, perintahkan algojomu
agar jangan sampai merusak rambutku. Sebab aku baru saja keluar dari tukang cukur,”
timpal Abu Nawas.
Mendengar itu sang Gubernur langsung tertawa. “Ha ha ha.”
“Itulah jiwa Kesatria yang aku kagumi darimu. Aku
mengampunimu, Abu Nawas,” kata sang gubernur.
“Bolehkah aku meminta satu permintaan?” tanya Abu Nawas.
“Apa permintaanmu? Katakan saja,” jawab sang gubernur.
“Saya juga minta pengampunan untuk kawan-kawanku,” pinta Abu
Nawas.
Sejenak sang gubernur terdiam, lalu ia berkata kepada Abu
Nawas, “Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi ada syaratnya. Kamu harus bisa
menjawab tiga pertanyaanku,” ujar sang gubernur.
“Baik, Tuan. Saya siap menjawabnya,” sahut Abu Nawas.
“Menurutmu aku gubernur yang adil atau zalim?” tanya sang
gubernur.
“Tuan, bukan gubernur yang adil, bukan pula gubernur yang
zalim. Orang-orang yang zalim itu adalah kita, sedangkan Tuan, adalah pedang
keadilan yang membalas kezaliman,” jawab Abu Nawas.
“Luar biasa jawabanmu. Sungguh menakjubkan, Abu Nawas.”
“Sekarang pertanyaan kedua. Mana yang lebih bermanfaat,
matahari atau bulan?” tanya sang gubernur.
“Matahari terbit di siang hari bersamaan dengan terangnya
dunia, maka menurutku matahari kurang bermanfaat. Sementara bulan terbit di
waktu malam yang menerangi dunia, dan menjadikannya seperti siang. Maka
menurutku manfaat bulan lebih besar.”
Sang gubernur pun tertawa dengan jawaban Abu Nawas, meskipun
nyeleneh tapi masuk akal.
“Baiklah, Abu Nawas. Sekarang pertanyaan yang terakhir.”
“Menurutmu, warna angin itu apa?” tanya sang gubernur.
“Warna angin itu merah, Tuan,” jawab Abu Nawas enteng.
“Apa alasanmu?” tanya sang gubernur kembali.
“Kalau kita masuk angin, lalu badan kita dikerok, pasti akan
muncul warna merah pada tubuh kita. Itu menunjukkan kalau anginnya sedang
keluar. Berarti warna angin adalah merah,” jawab Abu Nawas.
Untuk kedua kalinya sang gubernur dibuatnya tertawa
terpingkal-pingkal.
“Kamu memang cerdik, Abu Nawas. Kamu mendapatkan apa yang kau
inginkan. Ternyata apa yang dikatakan Baginda Raja tentangmu memang benar, Abu
Nawas,” tutur sang gubernur.
Abu Nawas spontan kaget mendengar nama Baginda Raja disebut. “Maksudnya
Tuan, bagaimana?” tanya Abu Nawas penasaran.
“Sebelum aku ditugaskan kemari, Baginda Raja memberitahu saya,
kalau di kota ini banyak sastrawan pintar dan di antara sastrawan yang paling
cerdik adalah kamu. Saya berniat memanggil mereka untuk saya kasih hadiah tapi
sebelumnya saya ingin mengerjai mereka dulu. Ternyata kamu malah datang untuk
membantu mereka dan ini adalah suatu kesempatan bagi saya untuk menguji
kecerdasanmu,” kata sang gubernur menjelaskan.
“Jadi hukuman mati yang Tuan, berikan hanya pura-pura?” tanya
Abu Nawas kaget.

“Benar, Abu Nawas. Saya hanya ingin mengerjai mereka sebelum
aku memberikan hadiah kepada mereka,” jawab sang gubernur.
Abu Nawas pun terdiam sejenak. “Kurang ajar! Ternyata aku
masuk ke dalam perangkapnya. Tunggu saja pembalasanku nanti,” ucap Abu Nawas
dalam hati.
Gairah Terlarang series dan semua cerita khusus dewasa segera berbayar segelas kopi di Trakteer.
Silaksn Follow Blog bagi yang belum. Jangan lupa dukung pakde, ya.
No comments:
Post a Comment