ABU NAWAS PAWANG HUJAN
ABU NAWAS
Dikisahkan Abu Nawas telah melakukan suatu kesalahan yang
membuat Baginda Raja sangat murka. Baginda Raja lalu memerintahkan beberapa
prajurit istana untuk secepatnya menangkap Abu Nawas.
Sementara Abu Nawas yang sedang berada di rumah
memberitahukan kepada istrinya. “Wahai, Istriku. Sepertinya aku harus
meninggalkan kampung halaman untuk beberapa waktu,” ucap Abu Nawas kepada
istrinya.
“Ada masalah apalagi wahai, Suamiku? Kenapa engkau terlihat
ketakutan?” tanya sang istri khawatir.
“Aku telah membuat kesalahan yang membuat Baginda Raja murka.
Saya yakin tidak lama lagi pasukan istana akan datang kemari untuk menangkapku,”
balas Abu Nawas.
Abu Nawas lalu mengemas bajunya ke dalam tas dan segera pergi
meninggalkan rumah.
Ternyata dugaan Abu Nawas benar, selepas kepergiannya
beberapa prajurit istana datang menggeledah rumah Abu Nawas.

“Mana Abu Nawas!” tanya salah satu prajurit kepada istri Abu
Nawas.
“Dia sudah pergi meninggalkan kampung ini,” jawab sang istri.
Karena tak berhasil menangkap Abu Nawas, para prajurit
langsung balik ke istana menghadap Baginda Raja.
“Mana Abu Nawas?” tanya Baginda Raja.
“Ampun, Paduka Yang Mulia. Abu Nawas sudah tidak ada di
rumahnya. Kata istrinya dia sudah meninggalkan kampung ini,” jawab salah satu
prajurit.
“Kurang ajar dia! Coba menghindari hukuman!” pikir Baginda
Raja.

****
Sementara Abu Nawas mulai mengembara dan berpindah-pindah
tempat dari kampung satu ke kampung yang lain.
Suatu ketika dalam pengembaraannya, Abu Nawas melintasi
sebuah dusun di mana dusun tersebut sedang dilanda musim kemarau.
Abu Nawas yang mengenakan jubah dan sorban layaknya ulama
besar sempat menyita perhatian warga. Mereka mengira Allah telah mengirimkan
seorang Waliyullah untuk menolong dusunnya yang sedang mengalami musim kemarau.

Maka para warga pun segera mengerumuni Abu Nawas.
“Assalamualaikum, Syekh. Sudilah kiranya Tuan Syekh, mampir
sebentar di rumah kami,” minta seseorang yang merupakan kepala dusun tersebut.
Sebenarnya Abu Nawas sudah menolaknya, namun karena para
warga memaksa ia pun mau tidak mau menerima ajakan mereka.
Di rumah kepala dusun, Abu Nawas dijamu berbagai macam
hidangan. Ia diperlakukan istimewa layaknya raja.
Setelah Abu Nawas selesai memakan hidangan ia pun bertanya
kepada para warga, “Apa yang membuat kalian memperlakukan saya sedemikian
istimewa? Padahal kalian tidak mengenal saya.”
Para warga lalu mengadukan permasalahannya kepada Abu Nawas. “Begini,
Tuan Syekh. Dari penampilan Tuan, kami yakin kalau Tuan, adalah ulama besar
yang dikirim oleh Allah untuk membantu desa kami,” tutur kepala dusun.

“Memangnya apa yang menimpa desa kalian?” tanya Abu Nawas.
“Sudah berbulan-bulan desa kami mengalami musim kemarau. Tanaman-tanaman
sudah pada mati, air persediaan kami tinggal beberapa ember saja. Doakanlah desa
kami wahai Tuan Syeh, agar desa kami diturunkan hujan,” pinta kepala dusun.
Sejenak Abu Nawas terdiam mendengar keluhan mereka. “Aku
sendiri sudah berbulan-bulan tidak mandi dan bajuku sudah lama tidak dicuci
padahal tujuanku ke sini untuk menumpang mandi,” pikir Abu Nawas.
Tidak berapa lama muncullah ide cemerlang di otaknya.
“Baiklah. Saya akan memanjatkan doa kepada Allah supaya desa
kalian diturunkan hujan, tapi ada syaratnya,” ujar Abu Nawas.
“Apa itu syaratnya, Tuan Syekh. Kami bersedia melakukannya,”
balas kepala dusun.
“Syaratnya adalah kumpulkan semua air persediaan kalian dan
taruh di tengah lapangan,” perintah Abu Nawas.
Maka datanglah tiap kepala keluarga dengan membawa air
terakhir yang mereka miliki. Total air yang terkumpul hanya dua ember saja. Kemudian
air tersebut ditaruh di tengah lapangan.
Abu Nawas lalu melepas bajunya dan mencucinya dengan air di
ember pertama, sedangkan air di ember kedua ia gunakan untuk mandi.
Melihat hal itu para warga pun menjadi terkejut bahkan ada
salah satu warga yang berteriak kepada Abu Nawas. “Wahai, Tuan Syekh! Itu air
terakhir persediaan kami yang rencananya untuk minum anak-anak kami!”
Perbuatan Abu Nawas ini tentunya mengundang reaksi kemarahan
warga. Ada yang mencemooh ada yang membentak, ada pula yang menghujat, namun di
tengah kegaduhan itu Abu Nawas dengan tenang mengangkat bajunya yang dicuci
lalu menjemurnya.
Karena perkataan mereka tidak dihiraukan Abu Nawas, para
warga bertambah emosi sehingga mereka hendak memukulinya, tapi niat mereka langsung
terhenti sebab tiba-tiba terdengar suara guntur yang disusul hujan lebat.
Penduduk pun lupa akan marahnya. Bahkan sebaliknya mereka
berebutan mencium tangan Abu Nawas.
Para warga mulai berteriak kegirangan menyambut datangnya
hujan yang sudah lama berbulan-bulan mereka tunggu.
Di saat itu sang kepala dusun menghampiri Abu Nawas.
“Tuan Syekh, sebenarnya doa apa yang Tuan panjatkan, sehingga
langit berkenan menurunkan hujan.”
Dengan polosnya Abu Nawas menjawab. “Begini. Doaku biasa saja,
tapi jubahku ini tinggal satu dan tidak pernah dicuci selama berbulan-bulan. Bila
aku menjemurnya pasti hujan akan turun deras. Mungkin karena langit tidak tahan
dengan bau jubahku,” celetuk Abu Nawas.
Mendengar hal itu sontak para warga langsung tertawa
terpingkal-pingkal.

Sejak saat itu Abu Nawas mulai menetap di sana sembari menunggu kemarahan Baginda Raja mereda.
Traktir dan intip Gairah Terlarang Series 7: DI SINI
Traktir segelas kopi biar semangat nulis cerita kesayanganmu, Gairah Terlarang Series 8
No comments:
Post a Comment