HANTU KEBAYA MERAH PART 4
1 tahun berikutnya.
Ketika sudah lulus kelas 5, di sekolah mengadakan acara kamping.
Waktu itu bisa disebut Persami atau perkemahan Sabtu-Minggu, yang mana acara ini rutin dilaksanakan satu tahun sekali dan menjadi salah satu acara sekolah yang sangat malas aku ikuti, karena pasti akan mengadakan jurit malam, tapi dengan berbagai pertimbangan pihak sekolah sudah tidak lagi mengadakan jurit malam sejak tahun lalu.
Menurut ibu dan para orang tua merasa khawatir dengan posisi perkampungan yang masih percaya akan hal mistis, itu pula yang dilaporkan anak-anak. Mereka banyak yang merasa takut saat melakukan kegiatan tersebut.
Acara kemah dilakukan di lapangan rumput belakang sekolah, jadi tidak terlalu jauh dari gedung sekolah.
Sekitar pukul 22.00 acara selesai.
Aku ingin buang air kecil toilet yang berada di dalam sekolah. Jadi aku harus berjalan ke sana.
Toilet yang letaknya di sebelah ruang guru tempatnya tersembunyi dan berhadapan langsung dengan sebuah taman kecil. Di seberang taman adalah ruang kelas 6A. Setiap malam ruang-ruang kelas dibiarkan dalam keadaan gelap, hanya lampu taman dan lampu beranda yang menyala.
Begitu sampai, aku dikejutkan dengan kemunculan perempuan berkebaya, sosok yang memberi pengalaman setahun silam itu tampak duduk di taman.
Setelah sekian lama baru kali ini aku melihat penampakannya lagi. Seketika tubuhku gemetar takut. Jarak kami sekitar 5 meter, dipisahkan oleh taman. Sosok berkebaya itu duduk membelakangi dengan menghadap ke pintu kelas yang gelap gulita.
Aku berencana langsung kembali ke lapangan perkemahan, mungkin ada tempat kencing di sana, tapi secara tiba-tiba perempuan itu menoleh ke arahku. Jantungku berdetak semakin melaju.
Bingung dengan apa yang harus kulakukan, dalam sekejap tubuhku mematung. Tidak ada satu pun anggota badan yang mampu kugerakkan, begitu pun dengan suaraku yang meledak menghilang.
Mungkin karena saking takutnya sehingga aku pun kencing di celana.
Dalam hitungan detik aku mencium wangi semerbak. Seketika di melihatku. Saat tangannya diulurkan dan memelukku, aku masih saja terpaku.
“Tori!”
“Tori!”
Suara Pak Dadang dari kejauhan mengagetkanku, dan secara refleks aku langsung menoleh ke arah sumber suara yang di saat bersamaan ternyata sosok perempuan berkebaya itu sudah tidak ada lagi. Dia menghilang secara misterius.
Aku yang sudah dalam kondisi sadar sepenuhnya segera berjalan ke arah Pak Dadang. Beliau adalah wali kelas, sekaligus guru Bahasa Indonesia sejak kelas 3 sampai aku berada di kelas 5 wali kelasnya tetap beliau satu dari sekian banyak guru yang menurutku paling baik dan paling sabar.
“Kamu dari mana, Tori! Bapak khawatir! Sudah satu jam kamu tidak ada perkemahan.”
Satu jam? Perasaan cuma hitungan menit saja aku berada di toilet, tapi aku tidak menjawab kalau ada hal aneh yang kutemui. Aku juga menyembunyikan keadaan celanaku yang basah oleh air seni.
Aku hanya minta maaf saja karena telah membuat beliau risau, tapi melihat raut wajahku yang tegang akhirnya beliau tahu, dan meminta agar aku berkata jujur.
Pak Dadang tahu kalau aku telah membohonginya.
“Oh begitu?” timpalnya ketika akhirnya aku menceritakan tentang sosok perempuan berkebaya yang kutemui sejak setahun silam.
Pak Dadang ikut tegang, beliau menunjukkan raut cemas dan khawatir, apalagi saat aku berkisah tentang kemunculannya di gedung walet itu.
“Ya sudahlah. Kamu ganti celana dulu biar tidak masuk angin.”
Kami pun melangkah kembali ke perkemahan.
****
3 hari berikutnya.
Secara pribadi Pak Dadang dan berdiri bertamu ke rumah. Di situlah aku mendengar percakapannya dengan ibu, yang ternyata Pak Dadang menjelaskan tentang sosok berkebaya yang kutemui.
Dari kisahnya, Pak Dadang bercerita.
Di awal sekolah berdiri, yang mana ada seorang perempuan bernama Darsih, jadi tukang kebun sekolah. Orang-orang memanggilnya dengan sebuta Bu Darsih.
Hampir setiap hari ia merenung sedih, dan ternyata dibalik sikap ramah dan rajin yang ditunjukkan perempuan selalu berkebaya itu mempunyai masalah pribadi.
Ia sendiri mendapatkan kekerasan dari suaminya dan masalah itu berdampak pada putranya yang duduk di bangku kelas 4.
Seharusnya mereka bahagia karena Asep, putra mereka adalah putra tunggal yang dinanti-nanti.
Asep lahir di masa tua mereka. Tidak ada yang menyangka kalau Bu Darsih mampu mendapat momongan, tapi ternyata sang ayah justru menjadi pemarah dan suka berbuat kasar, mungkin juga karena kondisi ekonomi yang kekurangan.
Penuh kesabaran Bu Darsih tetap bertahan. Dia berharap suaminya akan berubah lagi seperti sosok yang penyayang, namun kesabaran itu berbuah petaka.
Suatu hari suaminya yang marah menghajar anaknya. Saat Bu Darsih membela pun justru menjadi sasaran. Melihat kebengisan itu, Bu darsih memohon pada suaminya agar membaca istigfar, karena kemarahan suaminya yang belum juga mereda dia pun menyuruh Asep berlari.
Seketika Asep berlari dengan luka di sekujur tubuh. Naas tidak bisa dihindari, Asep yang berlari sekuat tenaga terpeleset. Ia tersandung akar dan terpental hingga terjerembap masuk tebing. Kepalanya yang menghantam batu membuatnya meninggal di tempat.
Sejak saat itu sang ayah melarikan diri entah ke mana, sedangkan Bu Darsih tertekan hebat. Jiwanya terguncang.
Setiap hari dia memakai kebaya dengan rambut konde berkeliling kampung. Setiap ada anak yang sepantar dengan Asep dia akan mendekat lalu memeluk, karena sikapnya itu anak-anak pun menjadi takut padanya dan dia pun divonis gila hingga akhirnya Bu Darsih merasa terasing.
Selama beberapa hari dia tidak terlihat berada di kampung dan ditemukanlah meninggal di dalam gedung walet.
Tubuhnya sudah melepuh dengan di sampingnya ada beberapa kucing yang seperti menjaga jasadnya.
Sejak itulah gedung walet menjadi tempat yang angker. Beberapa kali ada anak yang disekap sosok gaib di sana, bahkan ada yang sampai menjadi bisu, itu karena rasa kangen Bu Darsih pada seorang anak, dan sejak kejadian itu berlangsung dibuatlah alasan kalau siapa pun yang masuk gedung walet tidak akan bisa keluar. Hal itu demi menjaga kebaikan bersama.
“Ini, Bu. Pakaikan pada anakmu,” ucap Pak Dadang.
Saat cerita dari Pak Dadang usai, beliau memberikan kalung dari benang dengan lipatan kain kecil.
Beliau berharap dengan kalung berisi rajah tersebut aku tidak lagi diganggu sosok perempuan berkebaya yang diyakini sebagai penampakan Bu Darsih.
****
Saat kenaikan kelas 6 aku pindah ke Bogor untuk menyusul bapak di sana dan juga menetap sampai sekarang di kota Bogor.
Semua yang pernah kualami di kampung menjadi bagian tersendiri dalam hidupku.
Sejenak kupandangi kalung pemberian Pak Dadang yang masih kusimpan dengan rapi.
Dari pengalaman tersebut, aku selalu ingat dengan pesan beliau, bahwa dengan iman yang kuat maka segala jenis makhluk gaib tidak akan mengganggu dan itulah yang kulakukan sebisa mungkin.
TAMAT
Untuk cerita Gairah Terlarang Series akan segera berbayar!
Kunjungi akun Trakteer pakde untuk intip teasernya & jangan lupa traktir segelas kopi, ya.
No comments:
Post a Comment