Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

HANTU KEBAYA MERAH PART 1

 Namaku Tori. Aku lahir dan besar di kota Pandeglang Banten, kota wisata yang banyak dikunjungi para wisatawan di berbagai daerah.

Di kotaku terdapat beberapa pantai yang menjadi tujuan untuk berlibur, letaknya di ujung barat pulau Jawa dan di kota inilah masa kecilku.

Aku punya bapak yang dikenal raja tega, bukan dalam masalah yang berhubungan dengan kekerasan, tapi beliau mengajarkan untuk kuat dalam hal apa pun, termasuk dalam menghadapi ketakutan.

Beberapa kali aku dibiarkan untuk menghadapi dan melawan sendiri ketakutan yang kualami. Baik itu nyata maupun hal gaib.


Sebagian besar orang sudah tahu kalau di daerah Bandung cukup kental dengan kisah mistis, tapi memang benar begitu adanya, karena aku yang mengalami sendiri.

Aku akan bercerita tentang pengalaman yang kualami ketika masih SD.

Sekitar tahun 2000-an, memang sudah lama sekali, tapi aku masih ingat kejadian itu.

****

Waktu itu ....

Keluargaku tergolong keluarga dengan ekonomi sederhana di kampung. Bapakku merantau di kota Bogor, bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik di sana yang terkadang sebulan sekali mengirimkan uang untuk kami.

Sejak bersekolah Kelas 1 SD, aku tidak pernah diantar jemput oleh bapak seperti kawanku yang lain.

Aku yang dikenal pemberani sudah dianggap mandiri sehingga dibiarkan pulang dan sendiri.

Di perjalanan dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu sekitar 40 menit berjalan kaki, di mana sekolahanku merupakan SD swasta yang terletak di Desa Suka Maju, Pandeglang.

Kelas 1 hingga kelas 3 masih aman, karena pulang-pergi masih berdua dengan Irman, salah seorang saudaraku yang kebetulan bersekolah di tempat yang sama.

Aku sendiri tidak mempunyai kakak maupun adik, sehingga di usiaku kini yang sekarang sudah 25 tahun. Aku masih belum memiliki seorang adik atau mungkin juga ada sesuatu hal yang membuat orang tuaku memilih hanya memiliki anak tunggal.

Ketika kelas 4, aku pulang dan pergi sendirian. Di sinilah petualangan seru dimulai.

Bukan berarti aku tidak punya teman, akan tetapi pada waktu itu, jam sekolahnya dibagi menjadi dua waktu, yaitu pagi dan siang.

Kebetulan aku kebagian jam pelajaran pagi.

Selain itu, teman-teman sebayaku masih banyak yang tidak sekolah karena kebanyakan pekerjaan orang tua mereka bertani di sawah, sehingga mereka membantu orang tuanya dan bahkan ada pula yang memang tidak bersekolah.

Di kampungku terdapat dua jalur perjalanan pulang pergi menuju sekolah, yang pertama adalah jalur jalan desa, meski menjadi jalur utama, namun jalan tersebut masih belum terjamah oleh aspal, hanya sekadar tanah dan berbatuan yang terjal. Jalanan akan menjadi becek dan licin jika musim hujan.

Sedangkan di Jalur yang kedua, harus melewati jalan yang agak sempit setelah jalan kampung. Jalanan sama-sama licin jika diguyur hujan.

Hanya saja di jalur kedua ini lebih menyingkat waktu, karena jaraknya lebih pendek.

Kalau lewat jalur ini aku akan sampai disekolah maupun di rumah lebih cepat, tapi jalurnya terkenal menyeramkan, harus melewati persawahan dengan jalan setapak yang sempit dan juga melewati pemakaman yang mana sekitar 5 meter dari pemakaman itu ada sebuah bangunan tua.

Konon menurut warga, sebelum ada pemakaman, bangunan tersebut sudah lebih dulu berdiri, bahkan jauh sebelum pemakaman dibuka.

Warga sekitar memberi nama gedung itu dengan sebutan Gedung Walet, yaitu karena di dalam gedung itu banyak burung itu yang bersarang di dalamnya. Akan tetapi warga sekitar tidak ada yang berani memasuki gedung itu untuk sekadar mengambil sarang burung atau beristirahat.

Dari kisah yang beredar, konon di masa lalu ada warga yang masuk ke gedung dan tidak pernah kembali keluar.  Siapa pun yang masuk diyakini dimakan atau dijadikan pengikut oleh penghuni gaib gedung itu.

Cerita menakutkan itu tidak hanya terjadi satu dua kali pada orang yang terjebak dan memasukinya, tapi warga sudah beberapa kali menyebut kejadian itu berlangsung.

Aku yang terlahir sebagai sosok bandel dan dikenal pemberani. Tidak pernah terpengaruh akan cerita tersebut. Bagiku itu hanya mitos, belum ada bukti nyata untuk membuktikan kebenarannya.

Penampilan gedung walet ini memiliki bentuk yang kokoh. Tingginya sekitar 20 meter dan hanya ada empat jendela yang kacanya sudah pecah. Selain itu hampir seperempat genteng sudah rusak.

Meskipun terkikis air dan panas matahari, namun langit-langit yang berbahan kayu belum tampak keropos. Sepintas gedung ini seperti bangunan era Belanda yang bentuk dan gaya bangunannya ke barat-baratan.

Meskipun bandel, setiap kali melewatinya aku merasa ada suasana mencekam yang membuatku terkadang berlari juga. Dari awal aku sudah merasakan kalau ada yang aneh dengan gedung walet itu.

****

Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi. Seperti biasa aku sudah rapi, mengecek ulang segala perlengkapan, seragam merah-putih, tas punggung, dan aku pun siap berangkat.

Sedari kecil aku sudah biasakan oleh orang tuaku untuk selalu datang lebih awal dalam hal apa pun, apalagi urusan sekolah. Kalau masuk dalam kelas pukul 07.30 aku sudah duduk manis di dalam kelas pukul 06.30.

“Lewat jalan besar saja, ya. Jangan lewat persawahan,” pesan ibu saat aku berpamitan.

Pesan itu selalu aku jalankan, meskipun sering kali pada akhirnya aku tidak menurut omongan ibu, dan tetap melewati jalur itu, jalur yang sebagian persawahan, dan itulah yang aku lakukan di hari ini, walaupun aku sudah tahu kalau jalur itu cukup menyeramkan aku tetap melewatinya.

Kali ini aku ingin sampai di sekolah lebih cepat karena ada janji membeli kertas untuk prakarya, tentu aku tidak ingin kawanku menunggu.

Sekitar seperempat jam berjalan kaki, sampailah aku di persawahan dan jalan setapak, hingga tiba di area pemakaman umum.

Di sepanjang jalan aku ingat, jarang sekali ada orang lain lewat di jalur ini. Orang yang berpapasan maupun yang searah tujuan dan juga penjaga makam pun tidak aku lihat di area pemakaman, padahal biasanya sangat pagi sekali beliau bersih-bersih.

Memang aku hampir selalu sendirian melewati jalanan ini, tapi itu jika pulang sekolah, bukan jika berangkat seperti pagi ini.

Sesampai di dekat pintu masuk pemakaman aku mengambil batang kayu yang cukup panjang. Di sanalah aku selalu menyembunyikan kayu panjang yang berguna untuk jaga-jaga kalau ada ular atau serangga yang mengganggu.

Setelah melewati selokan aku pun melanjutkan perjalanan.


BERSAMBUNG KE PART 2

Tinggalkan komentar juga boleh


Trakteer Pakde Traktir segelas kopi dulu biar makin semangat nulisnya.

Untuk cerita GT Series 6 bab 2 segera hadir. Pastikan sudah follow Blog ini karena akan dipost bergantian dengan cerita lainnya.

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search