MISTERI PENGHUNI LANTAI 3 PART 2
PART 2
Aku sudah bersiap akan lari ketika aku melihat seorang wanita
keluar dari ruangan itu, tapi pada detik itu juga aku merasa sangat lega, dalam
jarak pandang yang tidak terlalu jauh kulihat Bu Intan memang sedang berdiri. Beliau
terlihat melangkah keluar, melempar senyum dan bertanya. “Jadi lembur, Pak
Rizki?”
Melihat senyum dan sapaan itu aku hanya mengangguk. Entah
mulutku seperti terkunci untuk sekedar menjawab iya.
Bu Intan kemudian duduk di salah satu kursi dan
membelakangiku. Beliau sepertinya tengah sibuk dengan sesuatu.
Aku juga tidak lagi melihat lampu di ruangan itu berkedip-kedip.
Aku yang merasa ada teman sekantor kembali fokus dengan
pekerjaanku.
Beberapa berkas berisi angka-angka kembali kuketik. Dengan
cermat aku kerjakan dengan sangat
hati-hati sesekali.
Aku melirik ke arah Bu Intan, beliau masih duduk
membelakangiku. Rambutnya tergerai panjang hingga lebih dari sepinggang.
Tidak terasa beberapa berkas pun terselesaikan. Benar-benar
pekerjaan yang menguras energi.
Memang bukan mencangkul atau suatu pekerjaan yang membutuhkan
tenaga besar untuk mengerjakannya, namun karena pikiranku selalu fokus pada
angka-angka itu pada akhirnya badanku pun merasa letih juga hingga saat waktu
menunjukkan pukul 23.25.
Aku pun merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja.
Aku harus istirahat. Bagaimanapun aku harus menjaga kondisi jangan
sampai aku kembali tumbang.
“Oh, iya. Bukankah rambut Bu Intan tidak sepanjang itu?”
Kupaksakan untuk mengingat-ingat bagaimana rupa Bu Intan dan
aku benar-benar yakin kalau rambut Bu Intan sepanjang bahu bukan sepanjang
pinggang.
“Tidak! Rambut Bu Intan tidak sepanjang itu!”
Telurit!
Telurit!
Ponselku berdering.
Kulihat ada pesan suara masuk.
Buru-buru kubuka pesan suara.
“Halo, Pak Rizky. Maaf
malam-malam mengganggu. Saya mau minta tolong, kalau Pak Rizki masih di kantor
tolong ya, dilihat sebentar apakah laptop saya masih ada di atas meja atau
tidak? Soalnya saya lupa. Ini di rumah saya cari-cari juga tidak ada moga-moga
sih ketinggalan di kantor. Makasih ya, Pak Rizki.”
Jantungku seakan berhenti.
Aku yang masih menundukkan wajah mencoba tegar memandang ke arah
depan.
Aku menahan nafas saking takutnya.
Kalau Bu Intan yang mengirim pesan, berarti wanita yang duduk
itu siapa?
Keringat dingin pun seketika membanjir.
Dengan sisa-sisa keberanian yang kumiliki, mataku pun menatap
ke depan.
Aku sudah siap dengan apa pun.
Kini aku benar-benar terpana, di hadapanku ternyata tidak ada
seorang pun.
Wanita berambut panjang yang semula kukira Bu Intan itu sudah
tidak ada lagi di sana. Lalu siapa wanita itu?
Jantungku seakan semakin berdebar kencang ketika tiba-tiba
aku mendengar suara tawa seorang wanita.
“Hi hi hi.”
Memang hanya lirih, namun sangat jelas mengganggu.
Aku melompat terkejut ketika tiba-tiba saja kertas yang
berada di atas meja rekan kerjaku seperti tertiup ingin, berhamburan tidak
karuan.
Tanpa pikir panjang aku pun berlari keluar ruangan.
Aku bersyukur tidak terpeleset ketika turun tangga tadi. Aku
harus menyesuaikan pandangan mata agar tidak menabrak meja atau benda-benda
yang berada di sekitarku.
Aku benar-benar ketakutan.
Aku harus segera sampai di pos satpam.
“Mas, mau ke mana, Mas? Mas?”
Mendengar ada suara wanita menanyaiku, aku pun berteriak
sambil berlari sekencang-kencangnya.
Sampai di pos satpam aku diterima dengan wajah-wajah penuh
pertanyaan.
Salah seorang satpam kemudian memberikan air mineral.
Mereka memandangiku dengan rasa iba.
“Mas Rizki, aman di sini.” Salah seorang dari satpam
menenangkanku sembari mengelus pundakku.
Aku berusaha mengatur nafas.
Ari itu langsung kuteguk.
Glek!
Glek!
Glek!
Aku kembali mengatur nafas sebentar kemudian aku sudah merasa
lebih tenang. Meski begitu, badanku masih merasa gemetar.
Beberapa saat lamanya aku masih berada di pos satpam.
Dengan sedikit terbata-bata aku menceritakan apa yang
berurusan kualami.
Dua orang satpam itu segera naik, mereka membantuku untuk
melihat laptop Bu Intan yang mungkin memang tertinggal di mejanya.
Aku menunggu dengan sedikit berdebar. Sementara itu, seorang
satpam tetap mencoba menenangkanku.
Tidak lama berselang kedua satpam yang di lantai tiga itu
terlihat.
Sesampainya di pos dengan kompak mereka mengatakan kalau meja
Bu Intan bersih, hanya ada beberapa kertas. Laptop yang ditanyakan pun tidak
ada di sana.
Mendengar penjelasan kedua satpam itu buru-buru aku mengambil
ponsel di saku. Maksud hati adalah membalas pesan suara yang dikirimkan tadi.
Aku mensekrol nama dilayar ponselku. Anehnya di sana aku
tidak menemui adanya pesan suara dari Bu Intan.
Pesan terakhir dari beliau adalah dua hari yang lalu.
Bulu tengkukku semakin tegak berdiri.
Setelah merasa tenang aku pun berpamitan pulang. Sepeda motor
jadul itu kubawa pelan-pelan.
****
Di sepanjang perjalanan pulang itu, pikiranku masih saja
tertuju pada sosok wanita yang kulihat, namun aku coba menampilkan peristiwa
menyeramkan yang baru saja kualami.
Kubuang jauh-jauh perasaan menakutkan tadi itu, tapi
bagaimanapun sosok wanita berambut panjang itu memang benar-benar duduk di sana.
Aku benar-benar melihatnya. Ia membelakangiku dan semula aku sangat yakin kalau
dia adalah Bu Intan.
****
Pekerjaan untuk esok hari masih banyak. Bagaimanapun aku
harus mampu menyelesaikannya.
Besok lembur, aku akan minta tolong satpam untuk menemani. Aku
yakin pasti ada yang mau menemani. Tidak masalah kalau hanya sebungkus atau dua
bungkus rokok setelah lembur nanti.
Aku tersenyum sendiri. Ide cemerlang kadang muncul saat
kondisi sedang kepepet.
****
Benar saja, pagi itu rekan-rekan sekantor langsung tanya
ini-itu.
Aku hanya menjawab singkat dan seperlunya saja. Bukan karena
aku tidak mau meladeni pertanyaan-pertanyaan mereka yang seperti wartawan cari
berita, tapi karena memang pekerjaan masih sangat banyak dan mereka pun
memaklumi.
“Pokoknya selepas magrib
dibayar satu juta perjam pun aku gak mau. Suasana di sini kalau malam pokoknya
serem,” kata salah seorang rekanku di pagi itu.
Entah maksudnya mau menakut-nakuti aku atau memang pernah
mengalami kejadian menyeramkan. Aku tidak memedulikan lagi celoteh mereka. Yang
kupedulikan hanya deretan angka-angka yang harus selesai begitu pun dengan merek-merek
yang lain.
Bu Intan yang juga berpapasan denganku ternyata hanya diam
saja.
Beliau tidak menanyakan laptopnya semalam, dan melihat rambut
Bu Intan yang terurai sebatas pundak itu semakin meyakinkanku kalau yang tadi
malam itu memang dedemit.
****
Seharian fokus bekerja.
Tanpa terasa hari sudah kembali sore. Mata terasa lengket
karena mengantuk, dan tubuh merasa lebih lelah. Apalagi perutku benar-benar
minta diisi.
Pukul 16.10 sore itu, satu persatu rekan kerjaku sudah mulai
berpamitan, sementara pada akhirnya memang hanya aku yang masih bertahan.
Aku pun putuskan untuk turun dulu sembari mencari tahu satpam
yang akan piket malam hari itu.
Aku benar-benar merasa lega. Aku membayangkan lembur kali ini
akan berjalan tenang.
Di pos satpam itu akhirnya aku tahu kalau nanti malam ada
satpam yang telah kukenal baik namanya Mas Anto dan aku putuskan orang itulah
yang nanti kuajak untuk menemani lembur.
“Terus terang, Mas. Saya enggak berani kalau berlama-lama
dilantai 3.”
Aku menjadi penasaran karena penolakannya itu.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala kemudian masih mencoba
untuk merayunya, namun rupanya Mas Anto benar-benar tidak mau menemaniku.
Penolakan Mas Anto semakin menguatkan prasangkaku bahwa
kantor ini memang angker kalau malam hari.
Mas Gatot yang barusan datang pun dengan serta merta menolak
permintaanku. Bedanya dengan Mas Anto, kali ini masih terus terang kalau ia
pernah mengalami trauma ketika berada di lantai 3.
Kata Mas Gatot, di kamar mandi paling pojok, dia pernah
melihat sosok pocong sedang bersandar meski penampakannya itu hanya sekilas,
namun trauma itu belum juga hilang hingga sekarang.
BERSAMBUNG KE PART 3
No comments:
Post a Comment