MISTERI PENGHUNI LANTAI 3 PART 1
PART 1
Aku baru saja akan memulai pekerjaan ketika Bu Manajer
memanggilku ke ruangannya, seketika itu pula jantungku berdetak lebih cepat.
“Jangan-jangan aku mendapat surat peringatan, tapi aku ‘kan
sakit? Bukan sengaja tidak masuk kerja.”
“Oh, iya. Memang hampir dua minggu aku tidak masuk, tapi aku
juga sudah minta izin. Siapa pula yang sakit. Iya, kan?” gerutuku dalam hati.
Aku mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
Ibu Manajer mempersilakan aku duduk.
Kulihat Bu Manajer masih sibuk dengan komputernya. Jika satu
atau dua menit berlalu, aku masih dibiarkan menganggur depannya, tapi tidak
apalah, aku mencuri-curi kesempatan untuk memandangi wajah manajerku itu. Ia
berkacamata, tapi harus aku akui meski terkesan galak, ia benar-benar cantik.
“Jadi begini, Pak Rizky. Saya lihat masih ada beberapa
pekerjaan yang belum terselesaikan sama sekali. Jadi saya panggil Pak Rizki,
agar laporan bulan ini bisa terselesaikan tepat waktu. Apalagi Pak Rizki ini, ‘kan
baru saja lepas training? Jadi, tolong tunjukan kalau Pak Rizki ini bisa.” Ucapan
cukup panjang itu akhirnya keluar dari bibir mungilnya.
“Saya harap Laporan sudah selesai dalam tiga hari ke depan
ya, Pak. Ini berkaitan dengan penilaian kerja karyawan juga soalnya.”
Setelah dilanjutkan dengan beberapa penjelasan lain, aku pun
segera berpamitan dan undur diri dan memang tidak ada waktu lagi untuk
bersantai, aku harus segera menyelesaikan semua laporan yang belum kerjakan.
Aku melangkah kembali ke meja kerjaku, meski begitu aku masih
bisa merasakan lega, ternyata bukan surat peringatan seperti prasangkaku barusan.
Aku tidak begitu menanggapi pertanyaan demi pertanyaan rekan
kerjaku. Aku hanya menjawab “Deadline 3 hari.”
Kebanyakan dari mereka memberi saran untuk pulang saja. Pekerjaanku
disuruh dikerjakan di rumah.
Aku hanya mengiyakan saja. Mereka tidak tahu kalau laptop
baru saja kujual.
Namanya juga sedang butuh, apa yang bisa dijual ya, kujual.
Dalam hati aku sedikit menyesal telah menjual laptop itu
karena saat ini barang-barang itu sangat kubutuhkan.
Dari pada banyak mengeluh dan justru memakan waktu, aku pun
segera berkonsentrasi mengerjakan pekerjaan yang sudah menumpuk.
****
Hari itu aku hanya berhenti bekerja ketika harus ke kamar
mandi atau keperluan makan dan salat, selebihnya aku benar-benar tidak memedulikan
hal lain. Sesekali saja aku harus mulai untuk meluruskan punggung yang terasa
tertekuk.
Aku sedikit terkejut dengan bunyi mesin sidik jari itu
rupanya sudah pukul 16.10.
Beberapa teman sudah mendahuluiku pulang, termasuk Bu Intan
yang tetap mengingatkanku agar tetap jaga kondisi. Meski harus lembur aku harap
agar laporanku itu bisa selesai tepat waktu.
****
Aku tersenyum sebelum keluar ruangan untuk pulang.
Aku menoleh kanan-kiri.
Ruangan di lantai 3 itu sudah sepi, hanya terlihat kertas
yang tertumpuk di meja teman-teman.
Aku sudah melangkah menuruni tangga ketika kudengar telepon
berdering. Kuhentikan langkah sejenak, telepon itu terus saja berdering.
Sedikit menggerutu, aku pun kembali ke ruang kantor, “Siapa
tahu memang penting,” kataku dalam hati.
“Halo, Halo Rizky di sini. Maaf, dengan siapa?” tanyaku
kepada orang di telepon.
Kutunggu jawaban dari seberang sana, tetapi sekian detik
berlalu tidak ada satu pun kata kudengar.
Telepon kututup kembali, tetapi lagi-lagi telepon itu
berdering.
Aku kembali mengangkatnya.
“Halo, Mas.” Sebuah suara lembut seorang perempuan menjawab.
“Oh, iya. Dengan ibu atau mbak siapa ini?” tanyaku kalau-kalau
memang ada yang bisa kubantu, namun hanya satu kata yang kudengar, selebihnya
justru suara denging memekakkan telinga.
Buru-buru aku pun menutup telepon.
Aku tidak lagi memedulikan, biarlah, toh ini sudah jam di
luar kerja.
Aku pun kembali turuni tangga dan memutuskan pulang untuk mandi dan beristirahat sejenak.
****
Selepas salat magrib aku buru-buru starter sepeda motor.
Aku tidak ingin melewatkan waktu sedikit pun untuk segera
menyelesaikan pekerjaanku.
Tiga hari adalah waktu yang teramat singkat untukku mengingat
sebenarnya aku belum menguasai betul program komputer yang digunakan dalam
pekerjaanku.
“Tak apalah. Sambil belajar,” pikirku.
Singkatnya aku telah kembali ke kantor.
Di depan gedung berlantai tiga itu kuparkirkan sepeda motor.
Beberapa satpam menanyakan apakah ada sesuatu yang tertinggal.
Aku menjawab, “Aku akan lembur.”
Selanjutnya mereka memang tidak mengatakan sesuatu apa pun
selain dengan saling pandang antara satu dengan yang lain seperti ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
Aku tidak lagi memedulikan mereka. Setelah berpamitan aku pun
bergegas menapaki tangga-tangga menuju lantai atas.
Aku menyusuri tangga kelak-kelok, meskipun secara garis besar
hanya ada tiga lantai, tapi gedung itu memiliki ruang yang sangat banyak di
tiap lantainya.
Begitu sampai di ruanganku, komputer di atas meja itu segera
kunyalakan. Berkas-berkas yang menumpuk sudah menanti untuk segera kukerjakan.
Aku pun mulai berkonsentrasi.
Angka demi angka kumasukkan ke dalam program dengan sangat
hati-hati, salah memasukkan satu angka saja bisa kasus pekerjaanku.
Detik demi detik kulalui.
Aku merasa waktu yang kulalui terasa sangat lambat. Kertas-kertas
berisi angka-angka itu seperti tiada habisnya. Selembar selesai, lembar
berikutnya menanti, meskipun dalam hati sebenarnya aku juga merasa takut karena
sendirian di ruangan itu.
Ruangan dengan panjang sekitar 20 meter dan lebar 8 meter itu
menjadi temanku di petang itu. Aku tidak memedulikan kursi-kursi yang berderet
di sepanjang ruangan. Aku bahkan tidak memedulikan ketika lampu di ruang kerja Bu
Intan berkedip-kedip.
“Fokus dan fokus. Cepat selesaikan kerjaan,” batinku.
Beberapa berkas telah selesai kukerjakan, aku sebenarnya
hendak mengambil kertas berikutnya untuk kukerjakan, namun konsentrasiku
seketika pecah ketika aku mendengar suara seorang tengah bercakap-cakap, suara
seorang wanita.
Seketika itu pula bulu tengkuk berdiri merinding.
Aku menoleh ke sekitar ruangan, namun nyatanya aku memang sendiri.
Suara orang bercakap itu seakan timbul tenggelam. Terkadang
sangat jelas terdengar, terkadang seperti berada di tempat jauh. Kecil suara
itu bahkan sesekali disertai seperti orang sedang tertawa.
Lampu yang berada di ruang Bu Intan masih berkedip-kedip.
Teretet!
Teretet!
Lampu itu terang kemudian kembali gelap. Beberapa saat
kemudian terang, kembali begitu seterusnya.
Melihat pemandangan itu aku pun mulai dilanda kecemasan.
Aku lirik jam dinding yang menempel di tembok atas. Tidak
terasa pukul 22.00.
Pada saat aku memalingkan muka dari jam dinding ke arah
ruangan Bu Intan yang memang berada di seberangku itu, aku dibuat terkejut
bukan kepalang.
Ketika lampu itu menyala terang, kulihat seseorang duduk di meja Bu Intan.
Aku belum bisa memastikan siapa yang tengah duduk di sana.
Lampu kembali padam.
Pet!
Jarak waktu antara nyala dan padam mungkin hanya sekitar dua
detik.
Teretet!
Pet!
Setelah padam lampu kembali menyala.
Teretet!
Orang yang duduk itu masih ada.
Dalam waktu hanya dua detik itu aku memperhatikan dengan
lebih saksama. Aku yakin orang duduk itu adalah seorang wanita, terlihat dari
rambut yang tamat tergerai.
Aku semakin merinding dibuatnya.
“Siapa wanita itu? Sedangkan aku sedari tadi hanya sendiri di
dalam kantor.”
Terbawa rasa penasaran, aku beranikan diri memandang ruangan manajerku
itu.
Saat lampu menyala, aku masih yakin wanita itu masih duduk di
sana.
Lampu kembali padam.
Pet!
Wanita itu sudah menghilang.
Aku yang merasa curiga lantas berdiri untuk memastikannya,
tetapi betapa terkejutnya aku saat di sisiku wanita itu sudah bergelantungan.
Seumur-umur aku belum pernah melihat sosok bernama makhluk
halus dalam wujud apa pun, tapi kini, aku harus menerima kenyataan bahwa apa
yang baru saja kulihat adalah hantu dan mungkin saja apa yang kulihat itu
adalah kuntilanak.
Jantungku semakin keras berdegup, nyaliku tinggal beberapa
persen saja.
BERSAMBUNG KE PART 2
Baca cerita lainnya di 👉 Sini
No comments:
Post a Comment