MISTERI PENGHUNI LANTAI 3 PART 3
PART 3
Belum apa-apa lututku sudah dibuat lemas. Bagaimana tidak, kata pocong yang masih membuat ketakutan tersendiri dalam benakku, tapi bagaimana lagi, mundur berarti aku lemah, bukan pejuang kehidupan.
****
Aku diselesaikan pekerjaanku. Itulah laki-laki. Harga diri
laki-laki bukan karena kendaraan mewahnya atau harta kekayaannya. Harga diri
laki-laki terletak pada tanggung jawabnya. Seberapa kuat ia mengemban tanggung jawab
itu.
Ah, tapi bayang-bayang berwujud pocong itu memang sangat
menyeramkan.
Kembali benakku terkuasai oleh rasa takut padahal baru saja
kucoba memupusnya dengan semangat.
Hidup sendiri dengan perasaan berdebar akhirnya aku
memberanikan diri juga sendirian di kantor.
****
Tumpukan kertas berisi angka-angka itu sedang menungguku. Belum
juga satu pun kukerjakan aku sudah merasa takut andainya wanita yang menyerupai
managerku itu kembali muncul. Apalagi kalau muncul dengan penampakan aslinya.
Jangan-jangan itu adalah sundel bolong.
Aku pun berpikir positif. Semua lampu di ruangan kantor kunyalakan.
Dalam suasana yang terang-benderang aku akan merasa lebih
aman meskipun begitu, suasana yang sepi tetap saja membuatku merasa sangat
ngeri.
Aku merasa ada sepasang mata mengawasiku.
Setelah beberapa saat aku pun mulai mengambil lembar demi
lembar kertas untuk memasukkan datanya.
Aku harus fokus, sebab kalau ada salah memasukkan angka, aku
tidak bisa menghapusnya sendiri. Aku harus menulis pengajuan pada bagian
akunting agar data yang kemasukan bisa terkoreksi, dan pasti itu akan semakin
memakan waktu.
Di dalam suasana yang sepi dan penuh konsentrasi itu aku
merasakan ada embusan angin yang berasal dari belakang tempat dudukku.
Memang di belakang tempat dudukku ada sebuah kipas angin yang
tak nyalakan dan juga kondisi AC sedang mati.
Namun, saat oleh kipas itu dalam posisi diam jelas sekali bahwa aku merasakan adanya
embusan angin yang berasal dari kipas itu.
Ruang kantorku tertutup. Tidak mungkin ada angin masuk dari
luar.
Untuk lebih memastikan aku pun melepas colokan kipas itu dari
stop kontak.
Aku sudah tidak peduli dengan kipas angin itu. Aku lebih
memilih tetap fokus. Semakin cepat kukerjakan tentu akan semakin cepat
terselesaikan.
Besok semua data itu harus selesai dan akan kulaporkan pada Bu
Intan.
****
Mungkin sudah ada sekitar satu jam aku berada di kantor.
Selain embusan angin yang sangat mencemaskanku, aku bersyukur
tidak ada hal ganjil lain yang membuat suasana menjadi lebih menyeramkan.
Lampu di ruangan Bu Intan yang semalam berkedip sekarang
padam.
Aku tidak berani untuk berlama-lama menatapnya.
Aku tidak mau melihat lampu itu tiba-tiba berkedip-kedip
sendiri. Kalau hal itu terjadi, maka pastilah itu hantu penunggu kantor ini.
Aku masih fokus dan mencoba untuk tidak mengingat-ingat
kejadian kemarin malam.
Di selembar kertas yang kemasukan datanya tiba-tiba melayang
kembali seperti tertiup angin bahkan beberapa kertas lain mengalami hal serupa.
Melihat itu aku buru-buru menangkapi kertas yang beterbangan
itu.
Pada saat itu rasanya seperti hendak marah-marah karena ada
sesuatu, entah apa itu sedang mengganggu pekerjaanku.
Aku pun secara refleks menoleh dan pada saat itulah kulihat
dengan mata kepala sendiri kipas angin terlihat sedikit berputar meski dalam
keadaan tanpa kabel yang tercolok, namun hal itu jelas menandakan bahwa baru
saja kipas itu berputar yang membuat kertas yang menjadi pekerjaanku nyaris
berhamburan.
Aku melihat ke arah steker kipas angin itu dan kupastikan
sudah terlepas dari stopkontak karena memang aku barusan yang lepasnya, tapi
bagaimana mungkin kipas angin itu bisa berputar sendiri atau jangan-jangan aku
salah lihat? Tapi itu jelas tidak mungkin. Aku melihat sendiri bagaimana kipas
yang berjarak dua meter di belakangku itu bergerak.
Aku mulai merinding. Apakah ada sosok hantu di sini yang
sedang jahil?
Dalam keadaan merinding dan jantung yang berdesir tiba-tiba
aku dikejutkan oleh suara telepon yang berdering.
Kringggg!
Suara dering itu memang hanya sebentar saja, tapi aku yakin
seyakin-yakinnya bahwa suara telepon itu pun pastilah hantu di sini.
Dering telepon di mejaku itu pun berhenti, namun tidak lama
setelah itu giliran ponsel yang berdering.
Kringggg.
Aku ambil ponselku di meja. Ada nama Bu Intan di sana.
“Halo, assalamualaikum, Bu.”
“Alaikumsalam.” jawab salam dari seberang sana.
Rupanya yang telepon barusan adalah benar-benar Bu Intan Yang
kukira ulah hantu di sini.
Bu Intan hanya sekedar bertanya apakah aku masih di kantor.
Beliau juga mengingatkan agar aku jangan terlalu larut agar
tubuh tetap dalam kondisi fit.
Kemudian Bu Intan menutup teleponnya.
Percakapan singkat itu ternyata membuatku jauh lebih berdesir
dibanding embusan kipas angin yang berputar sendiri itu.
Manajer yang usianya lebih muda beberapa tahun dariku itu
kurasakan sangat perhatian, tapi tentu saja aku tidak mau melambungkan angan.
Aku tidak mau menerbangkan asa terlalu tinggi. Siapa tahu
memang sikapnya yang selalu perhatian pada bawahannya. Meski begitu senyum
tetap mengembang dari bibirku.
Aku semakin bersemangat mengerjakan pekerjaanku.
Ada beberapa lembar data yang harus revisi karena aku salah
memasukkan angka.
Meski hanya merevisi, tetap saja tidak boleh hilang fokus. Kalau
tidak ingin kembali salah memasukkan angka-angka itu meski hanya bernilai satu
rupiah. Misalnya kalau salah nanti di bagian akunting pendatangnya tidak akan
klop.
Aku hendak mengambil pulpen untuk menandai angka-angka yang
salah itu.
Kusadari benda itu sudah tidak ada di meja. Aku pun
meraba-raba lembaran kertas mejaku.
Namun, ketika kertas-kertas itu kuangkat ternyata pulpen itu
tetap saja tidak kutemukan.
Aku terpekik ketika sebuah benda dengan keras menghantam
kepalaku.
Dengan sedikit menyumpah serapah aku menoleh untuk mencari
siapa yang berani melemparku.
Akan tetapi, kenyataannya memang tidak ada siapa pun.
Aku penasaran benda apa yang mengenai kepala barusan.
Aku melongok meja dan ketika aku membungkuk aku terkejut
terpana karena benda yang mengenai kepalaku itu ternyata adalah pulpen.
Lalu siapa yang melemparnya?
Lagi-lagi ketika pertanyaan itu muncul dalam benakku
bersamaan itu pula bulu tangan merinding.
Aku segera meraih pulpen itu. Aku tidak akan memikirkan
bagaimana dan siapa hingga pulpen itu bisa terlempar keras tepat di kepalaku.
Aku sudah akan kembali ke posisiku ketika tiba-tiba dari
lorong meja kulihat sepasang kaki lalu berhenti tepat di depan mataku
Dari bentuknya aku meyakini kalau sepasang kaki itu milik
seorang perempuan.
Dengan keberanian yang kupaksakan, aku mencoba tegar.
Aku pun kembali ke posisi semula dan ternyata di depanku
tidak ada seorang pun.
Sepasang kaki telanjang itu juga tidak tampak.
Aku pun semakin gemetaran. Jantungku berdetak semakin keras.
Ketika aku masih terpaku dalam diam tiba-tiba kulihat kursi
seberang mulai bergerak pelan.
Kursi itu benar-benar bergerak. Padahal jelas-jelas aku hanya
sendirian di ruang itu.
Kursi itu bahkan bisa bergerak lebih jauh karena memang ada
roda di bawahnya.
Kursi yang bergerak itu semuanya bukan sebuah saja, namun
entah kenapa kini hampir semua kursi di ruangan itu bergerak dan bahkan saling
berbenturan.
Bukan itu saja aku sangat terkejut ketika secara tiba-tiba
kudengar sebuah suara hantaman benda keras.
Suaranya seperti benda yang dibanting.
Prakk!
Aku tidak tahan lagi
ketika dengan tiba-tiba pula aku mendengar suara perempuan tertawa melengking.
“Hi hi hi.”
Tidak peduli pekerjaanku, aku lompat, lalu berlari sambil
berteriak.
Sampai di pos satpam itu aku disambut Mas Gatot yang sedang
bersantai.
Ia tampak ikut tergopoh ketika melihat keberadaanku yang lari
sampai terjatuh bangun.
Mas Gatot buru-buru menenangkanku.
Melalui Talky Walky yang dibawanya, ia segera menghubungi Mas
Anto dan seorang rekannya lagi.
SELESAI
Baca cerita lainnya: Di sini
Traktir Pakde segelas kopi: Di sini
No comments:
Post a Comment