KEBO KANIGORO 1
PERSETERUAN PEMUDA DUA DESA (KEBO KANIGORO EPISODE 1)
Dengan mengendarai ojek, dia terus melihat perubahan sepanjang perjalanan menuju rumah. Tampak jelas ada banyak perubahan di kampungnya.
Pinggiran jalan yang dulu masih berupa semak belukar, terlihat sudah dipenuhi bangunan-bangunan.
Bukan hanya ruko atau tempat usaha, tapi ada pula yang didirikan penginapan. Sementara beberapa lahan yang kosong sudah tertulis kalau dijual kavlingan.
Hari itu adalah hari di mana dia pulang kampung setelah sembilan tahun berada di perantauan tepatnya setelah 1000 hari kematian ibundanya dia berangkat merantau.
Karena dia anak tunggal dan menjadi yatim piatu, di usianya yang ke-16 tahun di kala itu dia putuskan tidak melanjutkan bersekolah. Dia cukup mendapatkan ijazah SMP, lalu bertekad merantau ke luar Jawa ikut pakdenya di Sumatra.
Sementara rumah dan sedikit ladang dititipkan pada pamannya di kampung.
Sengaja dia merantau karena kondisi ekonomi yang di bawah cukup.
Takdir menulis, kalau dia dilahirkan dari keluarga miskin, sehingga dengan bertekad mengubah nasib. Dia pun tinggalkan kampung halaman dan teman-teman dekat.
Kristanto.
“Perempatan depan belok kiri, Bang,” ucapnya menunjuk arah jalan kepada tukang ojek.
Begitu sampai di depan rumah pamannya yang biasa dipanggil Sudiro itu, Kristanto langsung membayar tukang ojek.
Tampak keadaan rumah cukup ramai. Ada beberapa tetangga dekat berbincang di teras. Melihat kedatangannya, mereka hanya memandang penuh tanda tanya. Sepertinya sudah tidak ada lagi yang mengenal, maklum 9 tahun bukanlah waktu yang sebentar.
Kalau dulu Kris masih remaja atau dianggap bocah, tapi sekarang sudah berkumis bahkan ada berewok tipis, sehingga pantas saja jika mereka bertanya-tannya dengan penampilannya.
Setelah mengucap salam, Kris membaur dengan mereka, duduk di teras.
Kris diam saja membiarkan orang-orang mengingat-ingat. Setelah beberapa saat barulah dia memberitahu.
“Niki kulo. Larene Pak Bagas,” ucap Kris yang membuat suasana menjadi riuh.
“Ya Allah. Kowe Kris?” Dengan terheran-heran seorang ibu menimpali silih berganti.
Mereka pun menanyakan tentang keadaan Kris, juga tentang pakde dan warga lain yang merantau di Sumatra, dan setelah beberapa saat barulah mereka tahu kalau kedatangan Kris adalah untuk menjenguk Didik, anak bungsu pamannya yang seumur dengannya.
Didik.
Didik sendiri sampai saat ini belum menikah, sama seperti Kris.
Meski sudah cukup umur, Kris masih senang dengan kesendirian. Baginya lebih enak membujang karena tidak terikat. Mau ke mana pun, ingin melakukan apa pun, tidak ada yang melarang. Mungkin itu pula yang dirasakan Didik.
Menurut pamannya, Didik baru saja pulang dari rumah sakit setelah dua hari dirawat, bukan karena kecelakaan atau sakit ,melainkan karena luka akibat perkelahian. Kejadian yang membuat Didik terkena sabetan golok, terjadi saat permainan sepakbola antar desa yang mana desa sebelah tidak terima akibat kekalahan.
Menurut para suporter, gol satu-satunya yang berasal dari tendangan penalti tidaklah adil. Wasit lebih berpihak pada tim desa Didik, hingga di akhir permainan terjadilah keributan. Wasit yang hendak dihakimi mendapat pembelaan dari tim desa Didik, di saat itulah tawuran tidak terelakkan hingga di kedua belah pihak jatuh korban luka.
Theo.
Selepas isya, Theo salah seorang kawannya datang berkunjung. Theo merupakan salah satu kawan akrab Kris semasa di kampung dulu.
Begitu melihat Kris dia langsung mendekapnya. “Kris, piye kabarmu?” ucapnya setelah rangkulan itu terlepas.
Theo menceritakan tentang dirinya yang ternyata sekarang sudah menikah dan dikaruniai seorang putra berusia empat tahun, meski begitu Theo masih sering keluar malam hanya sekedar ngopi dan ngobrol. “Sing penting omah kecukupan, Kris. Ha ha ha,” ucap Theo sambil tertawa.
Bagi Kris tidaklah heran jika Theo masih ada kebebasan setelah menikah, itu karena dia terlahir dari keluarga berkecukupan, sehingga mudah untuk mengabulkan permintaan istrinya dan memang itulah kelemahan perempuan, asalkan ada uang, suaminya mau berbuat apa pun tidak masalah, asalkan kelakuan itu berpegang pada kepercayaan dan kesetiaan.
Theo berkisah kalau Didik terluka karena ulah Ramso. “Seng nggebuki Didik iku Ramso.” Theo berucap penuh dengan kebencian.
Setelah Kris mengingat-ingat barulah dia tahu siapa yang dimaksud Theo, dan tidak salah dugaannya, Ramso yang dikenal dengan sebutan Jabrik adalah warga desa sebelah yang memang sejak dulu sudah tertanam permusuhan di antara mereka. Selain sombong dan sok jago, Ramso selalu melakukan pemalakan dan permusuhan. Bahkan Kris ingat, itu juga terjadi ketika Aditya menjadi korban palak.
Dulu, di saat pulang mengaji dari Mushola, mereka mendapati Ramso melakukan aksi palak, dan kebetulan di malam itu Ramso bersama seorang kawannya.
Tanpa banyak bicara mereka bertiga langsung menghajarnya. Di situlah awal mula terjadinya kebencian. Hampir di setiap keramaian selalu terjadi perkelahian antar Genk Ramso dan mereka, dan ternyata kejadian lawas itu terbawa sampai sekarang.
“Suatu waktu kita akan balas!” ucap Kris sambil memandang tajam gelapnya malam.
Mungkin itulah jiwa muda yang selalu bergejolak penuh ambisi dan penuh pemberontakan.
Ramso.
Ternyata Ramso tidaklah seperti dulu, tapi lebih parah lagi kelakuannya. Ramso adalah berandal kampung yang semena-mena. Sikapnya juga penuh keburukan. Main, minum, maling, madat, dan medok, menjadi hal yang melekat pada dirinya sehingga membentuk resah warga sekitar desanya, dan ternyata Ramso diketahui kalau dia diwarisi satu ilmu sakti dari almarhum kakeknya yang mana disandingkan dengan sebuah garis kecil bertuah.
Kakenya Ramso sebelumnya adalah orang yang sangat disegani, tapi bukan karena aura positifnya, melainkan karena ilmu hitam yang dimiliki.
Semasa hidup, kakeknya Ramso dikenal sebagai seorang yang kejam dan sadis.
Karena itulah hampir seluruh warga dibuat takut oleh Ramso, sekali gertak saja gemetarlah orang yang tidak melawannya, namun para pemuda kampung di tidak gentar. Mereka berprinsip, kebenaran akan ditunjukkan oleh sang pencipta. Mereka yakin ada satu waktu Ramso akan mengalami hari apes, karena semua media gaib dan semua ilmu berbasis iblis pasti ada kelemahannya, hanya saja bukan sekarang waktunya.
Rencana balas dendam.
“Sudah siap semuanya?” tanya Theo mengagetkan.
Malam ini digelar acara orkes di lapangan desa, tentu saja setelah terjadi bentrok seminggu yang lalu para pemuda bersiap menghadapi kemungkinan buruk yang ada.
Mereka semua menyiapkan segala senjata andai sampai terjadi tawuran. Meskipun dari pihak keamanan sudah mengelola cara, tapi biasanya perkelahian terjadi di tengah keramaian. Perkelahian antar pemuda dua desa sudah pasti lepas kontrol. Biasanya setelah ada korban terluka barulah pihak berwajib datang mengamankan. Dari pengalaman itulah yang membuat para pemuda menyiapkan diri. Sedangkan Kris yang sudah banyak berpengalaman di perantauan dalam hal apa pun membuat skenario tersendiri untuk Ramso.
Bersama Theo dan para pemuda lain, Kris mengatur siasat untuk membuat Ramso bertekuk lutut. “Ayo! Kita atur serapi mungkin agar tidak meninggalkan jejak,” ucap Theo kemudian. Setelah apa yang mereka rencanakan kemarin.
Mereka pun melangkah menuju lapangan desa untuk bergabung bersama pemuda lain.
Sesampai di lokasi keramaian.
Sesuai rencana, semua pemuda menyebar di setiap titik, yang mana bila nanti Ramso datang maka beberapa dari mereka akan memancing keluar dari keramaian. Ketika sampai di salah satu tempat yang sudah disiapkan barulah semua akan bersatu mengepung Ramso dan di sanalah nantinya akan ada perkelahian. Mereka telah menyusun rencana matang.
****
Setelah sekitar empat lagu dangdut di dendangkan, Ramso bersama Genknya muncul. Tampak dari raut muka, mereka kalau semuanya dalam pengaruh minuman keras.
Dengan sikap sok jagoan, Ramso langsung menuju satu tempat untuk dijadikan lahan berjoget. Terdengar pula teriakan-teriakan kotor dari mulutnya yang tentu menjadi perhatian bagi setiap pengunjung, termasuk para petugas yang berada di dekatnya, tapi semua tidak heran dengan hal tersebut, seolah terbiasa menyaksikan sikap macam itu.
Begitu Genk Ramso berjoget mengiringi lagu melayu, beberapa pemuda yang sudah ditunjuk oleh Theo mendekat dan juga bergoyang di samping Ramso.
Seolah tidak rela berjoget di lahannya, Ramso dan kawannya mulai mepet. Pemuda lain mundur atau segera berpindah tempat.
Saling senggol, saling duh punggung, bahkan saling sikut mulai terjadi.
BERSAMBUNG KE PART 2

No comments:
Post a Comment