PERJANJIAN YANG DILANGGAR
Selepas dari sekolah, Yanto mencoba untuk membuka warung nasi
goreng yang telah ia impi-impikan. Hal itu dikarenakan rasa percaya dirinya
terhadap tangannya sendiri. Dalam urusan memasak juga ia berkesimpulan jika
nasi goreng merupakan makanan yang familier di masyarakat, namun mimpinya tak
setinggi modal yang ia miliki.
Saat itu ia hanya memiliki modal yang cukup untuk membeli
gerobak, peralatan masak, peralatan makan, dan juga bahan baku. Itu pun juga
yang berkualitas rendah yang ia beli di pasar.
Pilihan untuk pulang kampung dan meminta uang kepada orang
tuanya yang bekerja di kebun milik orang lain juga dirasa hanya akan membuatnya
sedih dan mungkin merasa bersalah.
Berhutang kepada lintah darat pun ia nilai sebagai langkah
yang buruk karena sebagaimana julukannya.
Yanto hanya akan dihisap perlahan-lahan hingga ia mengering,
namun tak menyerah, dengan itu Yanto pun nekat berjualan hanya dengan modal
seadanya dan akibat tampilan yang seadanya itu pun tidak membuat banyak orang
tertarik untuk membeli nasi yang ia jajakan.
Hanya ada satu atau dua orang yang berhenti untuk membeli dan
itu sama sekali tak cukup bahkan untuk membuat modal dagangannya kembali, namun
ia tak menyerah begitu saja.
Di hari berikutnya masih juga tak ada yang berubah. Orang-orang
yang berlalu lalang seakan tak menggubrisnya hingga ia memilih untuk mendatangi
pembelinya dengan mendorong gerobaknya untuk berkeliling di area kompleks,
namun hal itu juga masih tak membuahkan hasil, hanya ada beberapa orang saja
yang keluar rumah untuk membeli nasi goreng buatannya.
Sejak buka dari pukul 18.00 hingga menjelang tengah malam
belum sampai setengah bakul nasinya terjual dan hal ini kembali membuat Yanto
harus merugi. Masih ditambah dengan lelah tubuhnya akibat mendorong gerobak
yang cukup berat dan hal ini membuat Yanto mulai pesimis untuk melanjutkan
bisnisnya, apalagi ia juga sudah tak memiliki modal lain jika harus berganti
usaha.
Yanto sebenarnya adalah seorang pemuda yang ulet dan tak
pantang menyerah hingga ia terus berjuang sampai akhirnya beberapa minggu pun
ia lalui, namun sayang, usaha dan perjuangannya tak setimpal dengan apa yang ia
dapatkan hingga modalnya sudah sangat menipis dan memaksanya untuk gulung tikar.
Permasalahan yang menempel di kepalanya terkait dana itu
kemudian luruh ketika ia membaca sebuah majalah di sebuah gerai kecil yang
menjajakan koran dan juga majalah di dekat tempat kosnya.
Sampul majalah itu terlihat paling mencolok karena terdapat gambar sosok manusia, namun yang membedakannya dengan manusia lain adalah sosok itu berwarna hitam nyaris seperti bayangan serta memiliki perawakan yang tinggi, dan besar dan yang membuat Yanto tertarik untuk membukanya adalah di sampul tersebut tertera sebuah rubik pesugihan yang membahas tentang pendatang rezeki rumah makan.
****
Berbekal info di
majalah itu.
Sampailah Yanto di hadapan dukun sang pendatang rezeki untuk
rumah makan.
Dalam majalah dukun tersebut bernama Sudo Wijoyo, tapi ia
memperkenalkan diri kepada Yanto sebagai Mbah Joyo.
Yanto hanya diam saja ketika Mbah Joyo mulai menceritakan
riwayat hidupnya serta bagaimana ia bisa mendapatkan ilmu hitam yang kini
dimilikinya.
Sejujurnya Yanto tak terlalu peduli tentang tempat semadi
atau apa pun yang dilakukan Mbah Joyo di masa lalu. Ia hanya ingin segera
mengetahui tentang praktik pelarisan yang dijelaskan oleh Mbah Joyo saat
wawancara untuk majalah yang ia baca.
“Pesugihan itu tidaklah sulit. Kamu hanya perlu memberikan
uang kepada saya hari ini sebagai mahar perjanjian serta menyiapkan jamuan
untuk dia yang menolongmu setiap hari,” ujar Mbah Joyo.
Yanto tahu kalau sosok sang penolong yang dimaksud bukanlah
manusia melainkan sosok Jin yang melakukan perjanjian dengannya, namun karena
ambisinya begitu besar demi menggapai mimpinya untuk berbisnis nasi goreng ia
menyanggupi untuk membayarkan uang mahar kepada Mbah Joyo yang mana itu
merupakan modal terakhirnya, juga menyiapkan jamuan yang akan dipersembahkannya
kepada sang penolong itu.
“Kalau kamu bersedia, berarti kamu juga harus siap menjaga
ini. Taruh ini di gerobakmu setiap kamu berjualan. Dijamin kamu akan untung
banyak.” Mbah Joyo memberikan kantung kecil berwarna hitam yang diikat dengan
tali berwarna putih.
Yanto memperhatikan dengan saksama jimat yang ada di
tangannya itu dan memikirkan apa yang ada di dalamnya.
“Di dalamnya hanya ada kertas, tapi sudah kuberi bacaan agar
kertas tersebut mendatangkan pelanggan. Hanya saja, kamu harus ingat, ya,
tentang syarat-syarat yang sudah aku sebutkan tadi. Kalau tidak kamu bisa,
celaka!” ujar Mbah Joyo.
“Baik, Mbah,” ujar Yanto dengan antusias.
Yanto pun cukup senang karena syarat yang diajukan tak cukup
sulit seperti pesugihan-pesugihan yang pernah ia dengar yang harus menumbalkan
manusia hingga bahkan anggota keluarganya, namun ia hanya harus menyiapkan
sesajen untuk sang penolong itu setiap hari dan ia pun merasa bisa melakukan
itu semua.
****
Malam harinya.
Yanto mulai membuat nasi goreng untuk perjamuan pertama lalu
lanjut pergi untuk berjualan nasi goreng keliling, dan benar saja, jimat yang Yanto
taruh di dalam gerobak mulai menunjukkan kesaktiannya.
Orang-orang baik yang dari balik pagar rumah ataupun yang
kebetulan melintas tiba-tiba berhenti untuk membeli nasi goreng buatannya,
bahkan beberapa dari mereka rela antre untuk membeli dagangan Yanto.
Melihat jimatnya berhasil, Yanto semakin rajin untuk membuat
perjamuan kepada sang penolong.
Ia juga semakin semangat untuk berjualan nasi goreng. Bahkan
ia memperluas rute jualannya. Hal ini membuat pelanggannya semakin berdatangan
dan juga tak sedikit yang menjadi pelanggan tetap.
Akibat mulai banyaknya pelanggan membuat Yanto tak perlu lagi
berkeliling dan ia mulai menetap di suatu tempat. Berkat hal itu, Yanto juga
mampu meraup keuntungan yang besar tiap malamnya.
Keberhasilan pelaris milik Yanto membuatnya mampu membuka
warung nasi goreng di tempat yang lebih strategis, yakni di sebelah pusat
perbelanjaan di dalam kawasan perkantoran. Hal ini dapat terwujud karena Yanto
sudah mampu membeli lokasi dan juga membayar uang keamanan kepada para preman
setempat.
****
‘Rumah Makan Nasi Goreng
Yanto’ jauh semakin ramai.
Semenjak itu dan karena larisnya nasi goreng miliknya ia
sampai harus memperkerjakan 3 orang yang bertugas untuk mencuci peralatan dapur,
menjadi kasir, hingga membantunya memasak.
Ketika ia baru menata kursi pun terlihat sudah banyak
pelanggan yang mengantre di depan warungnya.
Kesuksesan Yanto ternyata mulai membuatnya lupa dengan syarat
yang harus ia penuhi setiap hari dan ia juga melupakan jika kesuksesan yang
dimilikinya saat ini adalah hasil dari pelarisan yang dimilikinya.
Ia mulai jarang memberi jamuan kepada sang penolong karena ia
merasa tak punya cukup waktu untuk melakukannya. Ia lupa jika kelalaiannya
dalam menjalankan praktik ini akan mendatangkan celaka bagi dirinya sendiri.
Benar saja, restoran miliknya kian hari kian semakin sepi
seiring jarangnya ia membuat jamuan. Biasanya ia bisa menjual ratusan piring
dalam satu malam, namun semakin ke sini ia hanya mampu menjual belasan piring
saja.
Karena ditimpa hal buruk, ia baru ingat jika ia telah
melanggar syarat yang sudah diberikan kepadanya. Oleh karena itu Yanto kembali
memasak jamuan bagi sang penolong, namun semua sudah terlambat.
Keuntungannya tetap berkurang drastis dan hal ini terus
memburuk hingga Yanto tak mampu lagi menggaji karyawannya dan membeli
bahan-bahan yang bagus untuk nasi gorengnya.
Ia harus memecat satu persatu karyawannya dan sampai kini ia
terpaksa bekerja sendiri lagi sampai menurunkan harga agar ia bisa bertahan,
namun sayangnya bukan hanya kerugian saja, yang tetap menjadi pelanggan
setianya juga lambat laun meninggalkannya.
Atas hal itu Yanto pun muak dan tak mau lagi menjalankan pelaris
yang telah ia lakukan selama bertahun-tahun itu.
“Enggak guna!” teriak Yanto sembari melempar jimat itu ke
kali ketika ia berjalan pulang.
Pluk!
****
Sesampainya di rumah Yanto langsung tertidur karena ia merasa
sangat lelah dan juga stres.
Di dalam mimpinya ia mendapati kaki dan tangannya diikat di
dalam sebuah ruangan.
Ia tak sendiri di ruangan itu melainkan bersama sosok tinggi
besar dan juga berwarna hitam yang persis seperti di sampul majalah yang ia
lihat.
Di dalam mimpinya ia melihat raut makhluk itu sangat marah
dan berusaha menyakiti Yanto, namun untungnya ia segera terbangun dari mimpinya.
Hal itu membuatnya terjaga dan tak lagi bisa tidur hingga matahari terbit.
Ia menyadari jika makhluk itu telah marah besar kepadanya
akibat jimat yang diberikan oleh Mbah Joyo sudah ia buang juga akibat jamuan
yang tak pernah lagi ia berikan dan selama itu ia terus dihantui ketakutan akan
mimpinya semalam hingga ia bahkan takut untuk tidur lagi.
Karena ketakutan yang begitu besar membuat ia mengingat
tentang Mbah Joyo dan berpikiran untuk meminta tolong dengan penuh harap untuk
lepas dari rasa takut.
****
Ia mendatangi rumah Mbah Joyo, namun ia tak menyangka bahwa Mbah
Joyo ternyata sudah lama wafat dan karena itu Yanto pun bingung harus meminta
tolong kepada siapa lagi.
Akhirnya Yanto memilih untuk kembali ke kota Bandung dan
menjalani hari-hari seperti biasa.
Pada malam itu sudah lima mobil lewat dengan kecepatan tinggi,
namun pandangan Yanto tak lepas dari jalanan yang sudah mulai sepi itu.
Semenjak ia membuka gerobak nasi gorengnya pada pukul 18.00
sore, hanya dua orang saja yang mampir dan sekarang sudah pukul 11.30.
Pepang hanya terfokus ke seberang jalan.
Yanto tidak melamun atau memikirkan bisnisnya yang sudah
berada di ujung tanduk, tapi ia melihat ke seberang jalan karena di sana ada
sosok makhluk. Makhluk itu seperti manusia, namun lebih tinggi dan juga
berbadan besar serta seluruh tubuhnya berwarna hitam.
Makhluk itu persis seperti yang Yanto liat di dalam mimpinya
dan juga di sampul majalah tempat ia menemukan info cara pesugihan itu.
Di sinilah awal mula teror mengerikan oleh makhluk itu akan dialami oleh Yanto karena ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat.
SELESAI
No comments:
Post a Comment