PART 2 TUMBAL SATU KELUARGA
PART 2
“Aku sendiri tidak tahan melihat kondisi beliau sampai
kemudian ayah meninggal sebelum kami membawanya ke rumah sakit,” imbuhnya.
Aku ingin berpikir kalau itu adalah takdir. Mungkin sudah waktunya bagi ayah untuk meninggalkan dunia.
Sejenak kami semua terdiam mengenang ayah yang kemudian aku kembali
berbaur dengan tetangga yang masih berada di luar menyiapkan segala sesuatu
untuk acara tahlilan nanti malam.
Setelah 7 harinya aku kembali pulang ke rumah.
****
Aku kembali pulang ke
kampung saat acara hajatan memperingati 40 hari meninggalnya ayah.
Aku kembali ke kampung dan saat itu, di depan mataku sendiri,
Waluyo mengalami sesak nafas.
Dia terlihat kesakitan dengan memegangi perutnya.
Selama beberapa menit kemudian Waluyo pun menghembuskan nafas
terakhir.
Isak tangis menyusul kemudian terdengar dari istrinya.
Sesaat kemudian rumah almarhum ayah sudah ramai oleh
penduduk.
Hal yang terdengar memang terjadi di luar dugaan, tapi kami
semua harus menghadapi cobaan itu dengan ikhlas.
Adikku Waluyo juga berpulang tepat di 40 mendiang ayahku .
****
Empat minggu berselang.
Aku kembali mendapat telepon kalau adik keduaku yaitu Sugiman
mengalami sakit.
Sebelum jatuh sakit Sugiman sedang membereskan rumah. Saat
selesai Sugiman merasakan sakit di dadanya ditambah rasa sakit yang menjalar di
bagian perut. Sugiman mengaku kalau lambungnya seperti diaduk-aduk.
Sugiman langsung dibawa ke dokter spesialis, dan menurut
dokter penyakit yang diderita akibat bahan cat, dia tidak tahan dengan salah
satu bahan dasar dari zat yang dipakai.
“Seharusnya bapak itu memakai masker saat bekerja,” ucap
dokter yang kemudian adikku Sugiman dirujuk ke rumah sakit.
Akan tetapi, malang tidak dapat ditolak, beberapa hari
kemudian tepat saat aku memperingati 40 hari meninggalnya Waluyo, kabar duka
datang dari adik keduaku Sugiman, dia dinyatakan meninggal dunia.
Pihak dokter tidak dapat berbuat banyak saat adik keduaku itu
kesakitan luar biasa dan berakhir dengan
kematian.
“Ada apa ini? Ada apa dengan keluargaku?” Pertanyaan itu
menggelayut dalam pikiran.
Ada sesuatu yang tidak dapat aku cerna dengan akal sehat
karena kematian beruntun kedua adikku itu.
Rasa-rasanya kesedihan datang bertubi mendera batinku. Ibarat
belum kering satu kuburan, harus menggali kuburan lain.
Tentu hal itu menguras air mata, tetapi sampai sejauh ini aku
tidak pernah menginginkan kenyataan bahwa yang menimpa kedua adikku adalah ilmu
hitam. Aku anggap semua sudah menjadi takdir yang harus kulewati.
Memang itulah batas usia mereka dan kenyataan pahit hidup berlanjut
sebelum kemudian adikku yang paling
bungsu yaitu Bambang juga dikabarkan jatuh sakit.
Karena tidak ingin kehilangan keluarga yang tinggal seorang
saja, aku langsung pulang untuk memberikan pengobatan terbaik.
Aku langsung membawanya menuju rumah sakit ternama di kota
meski harus mengeluarkan biaya yang tidak tanggung-tanggung jumlahnya, namun
aku tidak peduli yang terpenting adalah keselamatan adikku.
Aku ingin Bambang sembuh dan kembali sehat seperti sedia
kala.
Bambang menceritakan sakit yang dideritanya mendadak dialami,
di mana sebelum pingsan dia merasa dada sakit dan nafasnya sesak seperti
ditindih beban yang sangat berat. Celakanya rasa sakit itu menjalar ke perut.
Bambang berguling kesakitan saat lambungnya seperti diaduk
oleh makhluk yang bersarang di sana hingga dia pun pingsan, dan kebetulan rumahnya
dekat dengan poliklinik 24jam. Dengan
campur tangan dokter akhirnya rasa sakit itu mampu diredam.
“Apa kita bahwa saja ke orang pintar, Mas?” Istriku berucap
yang membuatku terheran-heran.
Aku menanyakan, “Kenapa ada pikiran semacam itu, yang
jelas-jelas melenceng dari agama jika kita mempercayai dukun.”
Perempuan yang telah memberiku cinta dan kesetiaan itu
memandang jauh ke depan.
Beberapa saat kemudian dia menarik nafas dalam-dalam dan
dengan penuh hati-hati dia kembali berucap kali ini tentang kejadian kematian
beruntun yang menimpa keluargaku, dimulai dari adik pertamaku Waluyo, juga
kedua adikku Sugiman yang semuanya diawali dengan kejadian yang sama persis.
Lebih aneh lagi kematian itu dalam jangka waktu yang sama
yaitu setelah memperingati 40 puluh hari.
“Ini jelas ganjil, Mas. Kita tidak boleh kehilangan Bambang
dan secepatnya kamu harus bertindak karena dua minggu lagi adalah 40 hari dari
Sugiman,” ucap istriku meyakinkan.
Dari ucapan tersebut aku mulai berpikir ulang dengan semua
yang telah terjadi, seperti ada yang sengaja membuat peristiwa itu berlangsung.
“Ayo, Mas!”
“Ke mana?” tanyaku.
“Kita akan mencari orang pintar itu?” imbuhku minta pertimbangan dan disepakatilah untuk
menemui Ustaz Satiran, salah seorang ustaz yang tersohor akan ilmu kebatinan
yang dimiliki.
****
Rasanya sudah tidak sabar untuk mengetahui hasil penerawangan
Ustaz Satiran. Aku ingin kepastian
tentang peristiwa beruntun yang menimpa keluargaku, tapi istriku melarang untuk
pergi malam ini disebabkan dia mulai kontraksi sejak senja tadi dan khawatir bayi
itu akan segera lahir.
BERSAMBUNG KE PART 3
No comments:
Post a Comment