PART 1 MINTA TUMBAL SATU KELUARGA
PART 1
Kenalkan, aku dilahirkan sebagai anak sulung dari empat
bersaudara yang semuanya adalah laki-laki.
Orang tuaku bekerja sebagai petani dengan kehidupan yang
sangat sederhana, sementara ibu telah mendahului berpulang sebabkan penyakit
TBC sudah lama menggerogoti paru-parunya. Sedangkan ayah masih sehat.
Aku sendiri sudah berumah tangga beberapa tahun yang lalu.
Untuk menghidupi anak dan istri aku merantau ke kota
Tangerang persisnya di daerah Ciledug.
Mulanya pekerjaanku sebagai penjual somay keliling, dan beberapa
tahun berlalu akhirnya keberuntungan berpihak padaku, pekerjaan yang kutekuni
semakin berkembang hingga sekarang.
Aku mempunyai sekitar 12 gerobak somay yang setiap hari
dijalankan oleh para pekerja.
Orang-orang menjuluki aku sebagai Bos Somay, sementara ketiga
adik laki-lakiku memilih berbeda denganku.
Adik pertamaku bernama Waluyo, membantu ayah bertani.
Satunya lagi sebagai guru bernama Sugiman, dan yang bungsu bernama
Bambang, bekerja di kantor kecamatan.
Meski kami tinggal terpisah, namun hubungan persaudaraan
tetap terjalin baik. Komunikasi selalu kami lakukan meski hanya melalui telepon.
Akhir-akhir aku menjalani hari seperti biasa, mengatur
pekerjaan bersama istriku yang tengah mengandung anak kedua, sementara anak pertama kami yang bernama
Riska, sengaja tinggal di desa menemani eyangnya, dan dia sudah bersekolah
Kelas 6 SD.
Itulah perkenalan singkat tentang aku dan keluargaku.
****
Untuk saat ini aku masih menyewa tempat dalam menjalankan
pekerjaan yang rencananya lahan beserta bangunannya akan aku beli tahun depan.
“Mas, ada telepon dari rumah.” Istriku berucap dari belakang,
sementara aku meninggalkan pekerjaan lalu masuk rumah.
Begitu mendengar suara Waluyo, adik pertamaku dari gagang
telepon, seketika tubuh gemetaran. Ia tidak menyangka kalau ayah berpulang
secara mendadak.
Kabar duka ini tentu memukul batinku sebab malam tadi aku
masih berbincang dengan ayah dan tidak ada keluhan apa pun yang dirasakan,
hanya saja ada sesuatu yang kuanggap aneh.
Dalam obrolan malam tadi beliau menitipkan pesan seperti
hendak pergi jauh dan tampaknya beliau sudah punya firasat akan kepergiannya
itu.
Aku tutup telepon, aku suruh istriku mempersiapkan apa pun
untuk dibawa pulang, sementara satu pegawai yang menjadi salah satu
kepercayaanku tetap bekerja selama aku pulang kampung. Aku tidak mau para
pekerja yang sudah berkeluarga terhambat rezekinya.
“Semua sudah siap, Mas,” ucap istriku yang sudah
mempersiapkan semua.
****
Di sepanjang perjalanan
pulang.
Hal-hal menyeramkan bermunculan. Dimulai dari kemunculan
sosok pengemis buntung, pria berusia sekitar setengah abad itu mendadak muncul
di salah satu lampu lalu lintas. Tatapannya sangat aneh, sementara dia memakai
sorban yang terbuat dari kain mori hingga menutupi kedua telinganya dan sosok
pengemis itu kembali muncul di beberapa tempat yang kami lewati seolah memberi
peringatan akan mara bahaya yang mengancam.
Hal menyeramkan selanjutnya adalah sosok boneka dari kayu.
Tiba-tiba saja istriku menemukan boneka tersebut tergeletak
di kursi belakang mobil. Tidak pernah ada kejadian semacam itu sebelumnya.
Boneka tersebut terbentuk sosok bayi. Matanya sangat hidup yang
membuat istriku merinding dibuatnya.
Istriku hendak membuangnya dan itu sengaja aku larang karena
perasaanku tidak enak saat kepikiran bayi yang sedang dikandungnya. Aku takut
ada sesuatu yang berakibat buruk pada janin istriku.
Segera boneka itu dikembalikan pada tempatnya dan hal
menyeramkan yang terakhir adalah selalu tercium aroma anyir dan busuk. Bau itu
datang dan pergi setiap saat menambah rasa heran kami disiangi itu.
“Teruslah berdoa, Mas. Semoga saja kita dijauhkan dari segala
mara bahaya ini,” ucap istriku sambil membuka jendela mobil.
Dia merasa mual saat aromanya itu sangat kuat menusuk hidung.
****
Pemakaman ayah baru
saja selesai ketika tiba di rumah.
Begitu mengambil barang bawaan, aku juga istriku sangat
tercengang. Kami tidak menemukan boneka kayu yang tadinya berada di jok
belakang. Jelas sekali bangku itu kosong, tapi kejadian itu segera hilang dari
pikiran kami saat anakku datang mengajak masuk.
Di sana sudah berkumpul kerabat juga para tetanggaku.
Adik-adikku berkata kalau tadinya memang sempat menunggu
kedatanganku, tapi karena aku tidak segera muncul maka dilaksanakanlah upacara
pemakaman tersebut.
“Tidak usah menungguku datang karena menunda pemakaman adalah
sesuatu yang tidak baik.”
Aku langsung berkumpul dengan adik-adikku termasuk Riska yang
rindu pada ibunya.
Istri Waluyo yang memang tinggal serumah dengan ayah
menceritakan kejadian sebelum ayah meninggal.
Selesai salat subuh seperti biasa ayah menyiapkan peralatan
untuk berkebun kemudian menyiram tanaman di pekarangan rumah, tapi belum
selesai kegiatan itu beliau masuk kembali ke dalam rumah dengan mengeluh
dadanya sakit. Di susul kemudian beliau merasakan sesak nafas yang diikuti rasa
sakit teramat sangat pada bagian perutnya.
“Ayah berguling-guling di tempat tidur menahan rasa sakit dan
kejadian itu berlangsung sangat singkat, Mas,” kata istri Waluyo itu.
No comments:
Post a Comment