HADIAH DARI ALAM LAIN
PART 1
Belum ada dua minggu aku dan istriku menempati rumah yang
baru. Kami beli rumah dua lantai dengan luasan tanah sekitar 150 meter persegi.
Ada sedikit halaman kosong di depan maupun di belakang. Sementara
itu, dari balkon belakang kami bisa melihat deretan pegunungan dan hamparan
sawah yang sangat memanjakan mata.
Rumah yang kami beli ini memang berada di sebuah areal perumahan.
Udaranya masih sangat bersih dengan air yang mengalir dingin menyejukkan hati.
Kalau malam hari kami bisa mendengar suara jangkrik
bersahutan. Kami juga selalu tersenyum manakala kami mendengar suara katak
saling memanggil.
Aku dan Istriku memang bukanlah seorang pegawai. Kami
sama-sama bekerja sebagai pekerja seni.
Istriku seorang pelukis, sedangkan aku merupakan penulis
cerita di sebuah surat kabar online.
Aku juga sesekali menulis novel, meskipun karyaku sepertinya
masih agak berantakan dan belum dikenal orang.
Dari hasil tabungan yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit
pada akhirnya kami bisa membeli rumah dengan lokasi yang sangat cocok untuk
pekerja seperti kami.
Beruntungnya, meski rumah ini tergolong baru, namun karena
letaknya yang lumayan jauh dari kota maupun jalan besar, kami mendapatkan harga
yang sangat miring.
Pada awalnya kami mengira kalau harga yang miring ini karena
masih ada kendala karena tanah, sengketa keluarga, atau hal lain, tapi nyatanya
semua lancar dan baik saja.
Lukisan yang dibuat oleh istriku sering kali bertema tentang
kehidupan, terkadang juga lukisan wajah, atau gambar yang menurutku susah
diterjemahkan.
Dari lukisan-lukisan itu istriku sering mengikuti pameran dan
dari pameran itulah terkadang karya istriku laku dengan nilai yang sangat lebih
dari cukup.
****
Untuk saat ini istriku sedang melukis wajah seseorang wanita
yang usianya kurang lebih dari 30-an tahun.
Aku mengamati foto itu. Tampak seorang wanita dengan paras
cantik jelita.
Kata istriku, wanita yang sedang dalam proses dilukis itu
adalah tetangga sebelah kami.
Aku sendiri tidak tahu kapan wanita itu datang ke rumah, aku
juga masih agak bingung saat istriku menunjukkan rumah si pemesan.
Aku memang tidak begitu memperhatikan rumah yang mana yang
dituju oleh istriku karena telunjuk istriku juga mengarah pada sebuah pohon
beringin tua.
Meski begitu, aku sangat yakin tidak ada rumah di sekitar
pohon beringin itu, tapi saat ia menunjukkan rumah itu istriku tidak sedang
bercanda.
Memang banyak rumah di sekitar kami, tapi hanya ada beberapa saja yang benar-benar dihuni, selebihnya hanya sebagai investasi atau rumah singgah saat musim libur. Jadi, kadang hanya seminggu sekali mereka datang atau bahkan ada yang sampai dua bulan sekali.
****
Pagi itu aku dan istriku sudah berkeliling ke perkampungan
guna mencari sayuran segar.
Dalam perjalanan aku mengamati satu persatu rumah yang
letaknya berada di sekitar rumah kami. Heran, ketika menanyakan pada istriku
rumah wanita yang sedang ia lukis istriku justru terlihat kebingungan karena ia
pun lupa.
Kami berlarian kecil karena memang niat kami juga sambil
berolahraga.
Dari kejauhan aku melihat seorang wanita tengah berdiri di
pinggir jalan. Wajahnya masih samar karena memang aku belum begitu hafal dengan
wajah-wajah di lingkungan kami, tapi ketika kami semakin dekat aku merasa
sepertinya pernah melihat wanita itu, tapi di mana?
Ketika kami benar-benar telah melewati wanita itu, aku sangat
terkesima, wanita itu sangat cantik. Berkulit kuning bersih dengan rambut hitam
menjuntai.
Aku pun dengan spontan mengangguk dan melempar senyum.
Baru beberapa langkah kami melewati wanita itu istriku sudah
memperlihatkan mimik muka yang kurang sedap dipandang mata. Ia lantas
menanyakan siapa yang barusan aku sapa.
Aku langsung paham kalau istriku cemburu. Maka dengan cepat
aku menjelaskan kalau aku pun baru sekali ini melihat dia.
Istriku semakin memperlihatkan wajah yang serius, mungkin ia
tidak puas dengan jawabanku, namun saat aku hendak kembali menjelaskan, istriku
buru-buru memotong kalau ia tidak melihat siapa-siapa.
Aku segera menghentikan langkah yang disusul oleh istriku.
Kupandangi wajah cantiknya lalu kutanyakan maksud perkataan
yang barusan.
Jawabannya pun tetap sama. Ia tidak melihat siapa-siapa.
Aku pun menengok yang tiba-tiba menjadi merinding hebat.
Itu tidak mungkin karena jalan yang kami lewati adalah jalan
setapak. Tidak ada persimpangan, sementara kami belum terlalu jauh dari wanita
itu, namun wanita itu sudah tidak lagi berada di sana.
****
Beberapa hari kemudian.
Aku duduk di belakang istriku. Kuamati ia yang sedang
berkonsentrasi menyelesaikan lukisannya.
Tangannya tampak luwes menggoreskan kuas lalu sedikit demi sedikit
mencampur beberapa warna cat minyak yang ada di hadapannya.
Lukisan yang beberapa hari lalu masih dalam coretan sketsa
itu ini sudah hampir benar-benar seperti gambar yang ada di dalam foto.
Dalam hati aku sangat mengagumi paras wanita itu. Andai saja
aku belum beristri, aku akan dengan senang hati menerima wanita itu sebagai
pendamping.
Aku pun terbawa lamunan sampai-sampai tersenyum-senyum
sendiri.
Namun, tiba-tiba aku tercengang dari kursi plastik yang
sedang kududukki. Bukan karena kaki kursinya patah, tapi sungguh aku
benar-benar melihat wanita dalam lukisan itu juga tersenyum.
Aku yakin seyakin-yakinnya wanita dalam lukisan itu
benar-benar tersenyum.
Bibir wanita itu bergerak.
Istriku yang tidak tahu apa-apa hanya sedikit mengomel karena
aku telah mengganggu konsentrasinya.
Dia tidak tahu dengan apa yang baru saja kulihat. Ia masih
sibuk menyelesaikan sketsa lukisan itu seperti dalam foto, sementara aku sedang
dilanda merinding yang hebat, dan aku baru ingat. Ya, aku baru ingat.
No comments:
Post a Comment