BATU AKIK BAPAK YANG MEMILIKI TUAH
BATU AKIK BAPAK
Kala itu entah di tahun berapa aku lupa, yang aku ingat
sedang marak-maraknya cincin dari batu akik.
Hampir semua orang membeli batu akik dan memakainya, bahkan di instansi-instansi pemerintah ada yang mewajibkan untuk memakai cincin dari batu akik.
Keindahan dan kemolekan batu akik benar-benar telah
menghipnotis masyarakat tanah air waktu itu tanpa mengenal status sosial baik
tua, muda, laki-laki, perempuan, pejabat, maupun rakyat biasa. Semuanya terkena
demam cincin dari batu akik.
Jari-jari masyarakat ini sudah hampir semuanya terselip
cincin. Siapa yang jarinya tidak memakai cincin? Maka itu jari monyet. Begitulah
kata mereka.
Tidak heran jika di banyak daerah diadakan lomba atau kontes
cincin batu akik dari berbagai jenis aksesoris dari perut bumi ini.
Gelombang pengunjungnya pun cukup meriah seperti layaknya
pasar, dan panitianya bukan saja dari para aktivis perkumpulan batu akik, tapi
juga dikomandani oleh kontes setempat.
Dari situ aku pun tertarik untuk membeli akik demi mengikuti tren,
tapi saat itu mahal sekali harganya.
Niat itu pun aku urungkan karena kondisi ekonomi keluargaku
yang sedang tidak baik karena hidup jauh dari orang tua. Aku tinggal di kos,
hidup terasa sangat sulit karena hanya mengandalkan uang kiriman dari orang tua
dan uang yang tidak seberapa dari hasil memberikan les privat.
****
Suatu hari saat liburan semester aku memutuskan untuk pulang
kampung dan secara kebetulan bersamaan dengan kabar jika bapak masuk rumah sakit
dan perlu mendapatkan perawatan secara intensif.
Setelah menempuh jarak selama hampir empat setengah jam
dengan menggunakan sepeda motor akhirnya sampailah aku di kampung halaman.
Rumah tampak dalam keadaan sepi karena ibu dan kakak
perempuanku sedang di rumah sakit untuk menemani bapak, tapi tidak berselang
lama ketika aku duduk di teras rumah, kakak perempuanku pulang dengan naik ojek
pangkalan.
Bergegas aku menanyakan tentang kondisi bapak.
Dengan raut sedih bercampur lelah, kakak memberitahukan
tentang vonis penyakit gagal ginjal yang kini diderita sungguh sebuah pukulan
berat bagiku.
Setelah tahu rumah sakit dan ruang perawatan aku pun bergegas
memacu lagi motorku rasanya sudah tidak sabar untuk melihat kondisi bapak.
****
Di mata warga desa, selama ini bapak dikenal peduli pada
lingkungan dan juga dianggap memiliki kemampuan lebih dalam ilmu kebatinan.
Sedari mudanya dulu beliau banyak melakukan tirakat yang tidak
mudah.
Sewaktu aku masih bersekolah di SMP dulu, seingatku pernah
ada beberapa orang yang ingin menjadi muridnya. Bapak pun mengajarkan keilmuan
dengan diawali pembangkitan tenaga dalam di mana aku ikut mengikuti latihan
kala itu dan setelah itu kami diajarkan beberapa gerakan jurus-jurus, barulah
ke jenjang yang bagiku lebih sulit lagi. Hanya beberapa orang saja yang mampu.
Saat itu kami disuruh untuk bertarung melawan kertas. Kami
harus emosi pada kertas tersebut dan jika berhasil maka akan terpental. Aku
sendiri gagal dalam tes ini.
Masih banyak lagi pelajaran setelah itu yang harus dilalui,
namun hanya ada seorang saja yang berhasil mendalami ilmu yang bapak ajarkan.
Yang kudengar satu-satunya orang yang berhasil itu akhirnya
meninggal dunia.
Atas kemampuan yang dimiliki, kerap kali bapak diundang jika
ada warga yang kesurupan ataupun terkena pengaruh gaib.
Akhirnya dari mulut ke mulut semakin hari ada saja tamu yang
datang ke rumah. Akan tetapi, bapak menyuruh para tamunya agar setelah itu
tidak usah datang lagi dan jangan memberitahukan pada orang lain, tujuan bapak
adalah agar tidak terpengaruh dan terjerumus pada kemusyrikan atas kemampuan
yang dimilikinya.
Untuk membantu, lambat laun hanya tamu warga terdekat saja
yang ditangani oleh bapak jika membutuhkan.
****
“Sudah lebih baik, Pak?” tanyaku saat tiba di rumah sakit.
Ibu yang sedang tiduran langsung beranjak bangun dan kuucap
salam sambil bersalaman, bapak sendiri tersenyum menyembunyikan sakit yang
diderita.
Kami mengobrol cukup lama kemudian aku suruh ibu agar pulang
istirahat di rumah saja.
“Besok pagi bisa datang kembali bersama kakakmu untuk gantian
menjaga bapak.”
Setelah ibu berpamitan aku melanjutkan obrolan dengan bapak
yang mengganti posisi tidur untuk menghindari kejenuhan.
Aku bercerita tentang ketertarikanku dengan batu akik. Bapak
pun merespons ceritaku dengan antusias.
Beliau bercerita kalau juga mempunyai batu akik yang berwarna
hitam pekat dan akik tersebut didapat dari kakekku yang katanya sangat spesial.
Aku pun penasaran tentang apa yang spesial dari akik itu,
namun bapak tidak menjawabnya. Beliau hanya menunjukkan lokasi di mana akik
berada jika aku ingin melihatnya.
Obrolan pun berlanjut tentang bermacam batu akik terutama
yang memiliki tuah.
****
Keesokan harinya.
Kakakku datang bergantian di rumah sakit, aku pun pulang
untuk mandi dan istirahat.
Disela waktu istirahat aku teringat dengan pembicaraan dengan
bapak ketika di rumah sakit.
Aku pun bergegas mencari batu akik yang diceritakan.
Aku terkejut saat membuka lemari yang dimaksud bapak karena
ternyata tidak hanya akik yang aku temukan, melainkan ada beberapa pedang dan
keris yang semuanya terlihat kuno.
Aku tidak berani memegangnya berlama-lama dan hanya fokus untuk
mencari dan mengambil cincin akik yang dimaksud.
Akhirnya aku temukan benda yang aku cari.
Memang betul warnanya hitam pekat. Ada ukiran di bagian
gelangnya dan terbuat dari darah.
Ketika tanpa sengaja bersentuhan dengan sebilah keris akik
itu menempel dengan kuat seperti magnet.
“Apa yang istimewa dari akik ini?” pikirku setelah mengamati.
Beberapa saat kemudian aku pun memakainya.
****
Dua hari kemudian.
Bapak diperbolehkan untuk pulang, namun harus tetap melakukan
cuci darah 2 Minggu sekali.
Saat melihatku memakai cincin akik, bapak cukup terkejut,
namun tetap memperbolehkan.
Di saat itulah bapak baru buka suara tentang batu akik. Bapak
berkisah jika kakek dulu mendapatkannya saat masih berada di Sulawesi.
Kakek mendapatkan batu akik tersebut dari seorang pemimpin
suku pada saat kakek mampu mengobatinya dari bisa ular. Menurut sejarahnya
keberadaan suku Kaili yang tersebar di Sulawesi Tengah hingga di batas Sulawesi
Barat khususnya di Mamuju Utara tidak bisa dipisahkan dengan legenda kerajaan
tua yang disebut Kerajaan Pinem, sebuah kerajaan yang dibangun dari peradaban
oleh suku Kaili.
“Apakah kamu juga mau mewarisi ilmu dari bapak?” tanya bapak
setelah usia berkisah tentang batu akik.
Dengan tegas aku menjawab kalau tidak mau mewarisi keilmuan
apa pun karena aku ingin hidup normal layaknya orang lain dan menggantungkan
segala sesuatu hanya pada Tuhan.
“Cukuplah batu akik ini yang aku pakai dan aku warisi.”
“Meski begitu aku tetap memegang prinsip bahwa cincin itu adalah
untuk perhiasan.”
“Tidak sekali-sekali menganggap atau berkeyakinan bahwa akik
tersebut mempunyai daya kekuatan yang dapat mendatangkan manfaat atau
keuntungan serta dapat menolak bala. Hal ini dapat menjerumuskan bagi
pemakaiannya dalam kesirikan satu dosa besar yang tidak terampuni oleh Allah
subhanahu wa ta'ala.”
Setelah mendengar jawabanku, bapak tersenyum dan tidak
menanyakan apa-apa lagi.
****
Seminggu kemudian.
Kondisi bapak semakin memburuk. Aku yang sudah kembali ke kampus
pun harus pulang atas kabar dari kakakku.
Pada hari itu ibuku memanggil seorang ustaz dengan maksud
agar ilmu kebatinan yang memberatkan bersarang di tubuh bapak untuk dilepaskan.
Prosesi itu cukup lama yang akhirnya aku disuruh membawa air
yang sudah didoakan untuk disiramkan ke bagian-bagian rumahku dan harus
dilakukan pada tengah malam.
Aku pun melakukan perintah itu.
Tepat tengah malam rasanya sungguh berbeda. Aku melakukannya
seorang diri.
Dengan hati-hati sambil berdoa tiba-tiba aku terpental saat
di bagian akhir percikan air.
Batu akik yang aku pakai membuat tanganku bergetar ke arah
satu titik yakni sudut pojok sisi kiri belakang rumah.
Seperti dituntun aku pun melangkah menuju ke sana.
Tampak asap tipis keluar dari dalam rumah seperti tertiup
angin. Semua bergerak keluar dari percikan air di pojok rumah tersebut.
Setelah semua lenyap terdengar isak tangis dari dalam rumah dan
ketika kakak memanggil.
Aku bergegas masuk untuk memastikan apa yang terjadi.
Aku berdiri mematung ketika tahu bapak sudah tiada.
Aku menatap wajahnya dengan mata berkaca-kaca.
Semoga keputusanku menolak ilmu yang akan diwariskan adalah
keputusan yang tepat. Cukuplah batu akik ini yang akan kupakai dan kusimpan.
Untuk barang bertuah lain seperti keris dan pedang nantinya
akan aku larung karena tidak tahu apa fungsinya dan doa yang selalu kupanjatkan
adalah semoga bapak tenang di alam sana.
SELESAI
Ceritane kurang horor kang hehehehe....
ReplyDelete