Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

JUALAN AGAMA - ABU NAWAS

 Lama sudah Abu Nawas tidak bertemu Baginda Raja. Ia sangat merindukan kebersamaan dengan rajanya itu. Biasanya dalam satu bulan ia sampai 4 kali dipanggil ke istana untuk menemani sang raja ngobrol bersama, namun sudah hampir setengah tahun berjalan, Baginda Raja belum juga memanggilnya. Hingga terpesik dalam benak Abu Nawas kalau Baginda Raja sudah melupakan dirinya.

Sebenarnya Abu Nawas bisa saja langsung datang ke istana untuk menemui rajanya, sebab ia salah satu orang yang diberi keistimewaan khusus oleh raja, bisa keluar masuk istana kapan saja, namun kalau ia menemuinya tanpa ada kepentingan, ia khawatir para menteri kerajaan akan berprasangka buruk kepadanya.

Karena yang sudah-sudah, banyak menteri yang diakhiri dengan kedekatan Baginda Raja dan Abu Nawas bahkan sampai pernah ada yang mencoba memfitnah dirinya.

Abu Nawas tak ingin hal itu terulang kembali sepertinya.

“Aku harus cari cara supaya bisa bertemu Baginda Raja,” pikir Abu Nawas yang sedang termenung di depan rumahnya.

Tidak lama kemudian muncullah ide cemerlang di kepalanya. Senyuman di wajah Abu Nawas kini mulai terlihat.

Seketika itu Abu Nawas segera bergegas pergi menuju pasar.

Setibanya di pasar, Abu Nawas mulai memasuki toko demi toko. Hampir semua tokoh yang dia masuki melongo menatap Abu Nawas, sebab ia hendak menjual sesuatu yang tidak wajar.

“Apakah tokoh ini menjual agama?” tanya Abu Nawas kepada pemilik toko.

Tentu saja si pemilik toko heran dan menggelengkan kepalanya sebagai bentuk ekspresi kalau di toko tersebut tidak menjualnya.

“Kalau di sini tidak menjual agama, saya ingin menjual agama. Harganya cukup 1 Dinar. Apakah kamu berminat?” tanya Abu Nawas kembali.

“Kamu sudah sinting ya, Abu Nawas!” jawab si pemilik toko dengan geram. Lalu ia pun mengusir Abu Nawas.

Abu Nawas selalu tersenyum mana kala dia dikatakan sinting dan diusir. Begitulah yang dilakukan Abu Nawas selama seharian, ia menawarkan agamanya untuk dijual dari toko satu ke toko yang lain.

Setelah semua tokoh di pasar telah dimasukinnya, kemudian ia berteriak di tengah-tengah pasar.


“Agama! Agama!”

“Ada yang mau beli agama tidak!”

Akibatnya, siang itu pasar menjadi geger.

Sesama pedagang di pasar kasak-kusuk dan menganggap Abu Nawas sudah gila.

Banyak juga yang menuduhnya sudah jadi atheis yaitu suatu ajaran yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

Karena undang-undang di negeri itu melarang ajaran atheis, maka orang-orang di pasar sepakat untuk menangkap Abu Nawas.

Setelah Abu Nawas berhasil ditangkap ia langsung diarak ke istana dengan kondisi tangannya yang terikat.

Hampir saja ia menjadi bulan-bulanan warga, ia nyaris akan dipukuli, namun salah satu warga langsung mencegahnya.

Setibanya di istana kerajaan, Abu Nawas langsung diserahkan kepada prajurit penjaga pintu istana.

Baginda Raja tentu saja kaget melihat Abu Nawas digiring masa dengan tangan terikat.

Ketika para warga sudah membubarkan diri, Baginda Raja memerintahkan kepada para pengawal untuk membawakan Abu Nawas ke hadapannya.

Maka dibawalah Abu Nawas ke ruang tengah istana untuk diintrogasi.

“Kenapa mereka menangkapmu? Apakah kamu kedapatan mabuk lagi?” tanya Baginda Raja.

“Ampun, Paduka yang mulia. Hamba sudah bertobat dari perbuatan tersebut, hamba sudah tidak lagi menyentuh minuman haram,” jawab Abu Nawas

“Lalu kenapa kamu ditangkap?” tanya Baginda Raja dengan heran.

“Mmpun, Paduka yang mulia. Mereka menangkap saya karena saya ingin menjual agama saya di pasar,” jawab Abu Nawas.

Baginda Raja sebenarnya juga kaget mendengar penuturan Abu Nawas, tapi dia pura-pura tenang karena Baginda Raja tahu betul watak dari pada Abu Nawas.

“Kalau kamu mau jual agamamu sendiri, kenapa mereka marah?” tanya Baginda Raja.

“Jika saya menjual agama saya sendiri mereka berpikir saya tak lagi punya agama, Paduka. Jika saya tak lagi punya agama, mereka menyimpulkan, saya tak bisa salat lagi, jika saya tak bisa salat lagi, mereka menyimpulkan berarti saya tak punya Tuhan, jika saya tidak punya Tuhan, mereka berpendapat, kalau begitu saya ateis.”

“Begitulah cara pengadilan jalanan berlangsung. Oleh sebab itulah saya ditangkap dan dikirim ke istana,” tambah kata Abu Nawas menjelaskan.

“Baginda Raja tertegun mendengar penjelasan Abu Nawas. Diam-diam dia hampir membenarkan logika rakyatnya, tapi dia ingin mendengar sendiri apa jawaban Abu Nawas atas tuduhan orang-orang di pasar, sebab Baginda Raja tahu kecerdikan Abu Nawas. Makanya Baginda penasaran ingin tahu jawabannya.

“Begini, Abu Nawas. Saya mencoba pahami jalan pikiran orang-orang di pasar jika kamu tak punya agama lagi karena sudah dijual. Bagaimana cara kamu menyembah Tuhan?” tanya Baginda Raja.

“Ya saya tinggal masuk ke Masjid lalu menunaikan salat,” jawab Abu Nawas enteng.

“Loh kok dengan cara salat? Kok di Masjid? Bukankah itu cara orang Islam beribadah. Berarti kamu masih punya agama, Abu Nawas. Padahal kamu sendiri sudah menjual agamamu,” sangga Baginda Raja.

“Kalau begitu bolehkah saya balik bertanya, Paduka yang mulia? Menurut Paduka, apa sih sebenarnya agama itu?” tanya Abu Nawas.

Baginda Raja kemudian menjawab. “Bahwa agama adalah seperangkat ajaran yang datang dari langit yang mengajarkan seluruh umat manusia untuk selalu berbuat baik. Mengganggu orang lain, sekecil apa pun adalah perbuatan tidak baik. Jika setiap orang beragama berbuat baik maka tatanan hidup bersama umat manusia akan baik dengan sendirinya, karena tak seorang pun merasa terganggu dengan kehadiran orang lain akibat ajaran agama yang dijalankannya,”

Baginda Raja mencontohkan rukun Islam, mulai dari syahadat, salat, puasa, zakat, sampai ibadah haji.

“Semuanya ditujukan untuk kebaikan manusia. Tujuan salat adalah mencegah pelakunya dari perbuatan mungkar. Jika ada orang salat, tapi tingkah lakunya merugikan orang lain, salat yang dia lakukan perlu dipertanyakan. Begitu pula dengan puasa.”

“Puasa membuat kita agar kita berempati pada kaum miskin. Sedangkan zakat sendiri sudah pasti kita salurkan untuk memberdayakan fakir miskin, bahkan predikat Haji Mabrur berarti haji yang penuh dengan kebaikan sosial.”

“Jadi begini, Abu Nawas. Orang beragama sesungguhnya orang yang selalu melahirkan kebaikan untuk orang lain, terlebih dalam ajaran agama Islam kita dilarang memutuskan silaturahmi dengan orang baik. Apalagi terhadap sesama muslim.”

Setelah Baginda Raja menjelaskan panjang lebar, Abu Nawas tersenyum penuh bahagia. “Kalau boleh tahu? Apa ancamannya bila memutuskan silaturahmi sesama saudara Islam?” tanya Abu Nawas.

“Orang yang memutuskan silaturahmi sesama saudara Islam tidak akan diterima amal ibadahnya, dan rahmat Allah tidak akan turun kepada orang yang memutuskan silaturahmi,” jawab Baginda Raja.

“Semangat itulah tujuan saya kemari, Paduka yang mulia. Saya sengaja membiarkan warga menangkap saya supaya saya bisa bertemu dengan Baginda, dengan begitu saya tetap bisa menjaga silaturahmi dengan Baginda, karena saya tidak ingin amal ibadah saya tertolak, dan saya tidak ingin Allah berhenti memberikan rahmat kepada saya,” balas Abu Nawas.

Sejenak Baginda Raja terdiam. Ia mulai merenungi kata-kata Abu Nawas, dan ia pun mulai menyadari atas kekhilafannya. “Maafkan saya, Abu Nawas. Saya tahu sudah lama saya tidak mengundangmu ke istana. Terima kasih sudah mengingatkanku ya, Abu Nawas,” ujar Baginda Raja.

“Oh iya, Abu Nawas. Ngomong-ngomong, apakah kamu masih berniat menjual agamamu?” tanya Baginda Raja.

“Jualan agama menurut Paduka, sendiri? Siapa  orang yang pantas disebut jualan agama?” ucap Abu Nawas balik bertanya.

“Kalau menurut saya, orang yang pantas disebut jualan agama, orang yang memanfaatkan agama, untuk kepentingan pribadinya,” jawab Baginda Raja.

Abu Nawas berkata, “Tepat sekali, Paduka yang mulia. Seperti halnya pejabat-pejabat kerajaan ketika ingin dipilih mendadak bersorban mendadak Masjid-Masjid dikunjungi dan salat berjamaah dengan warga dan dia juga mengumbar banyak janji. Semua itu mereka lakukan hanya untuk mencari simpati agar mendapat dukungan dari orang-orang Islam, tapi setelah menjabat mereka lupa dengan semua itu.”

“Banyak janji-janji yang diingkari bahkan tidak sedikit yang malah tertangkap karena korupsi. Bukankah itu yang namanya jualan agama?” Penjelasan Abu Nawas membuat Raja berdecak kagum.

“Baiklah, Abu Nawas. Hari ini saya mendapat banyak pelajaran darimu,” puji Baginda Raja.

Kemudian Baginda Raja mengantarkan Abu Nawas keluar istana. Tak lama kemudian ia mendengar Abu Nawas kembali berteriak.

“Agama! Agama!”

“Dijual murah! Siapa yang mau beli agama! Hanya satu Dinar saja!”

Mendengar itu Baginda Raja hanya menggeleng-gelengkan kepalanya “Dasar Abu Nawas.”

SELESAI




PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search