PART 3 MERTUAKU KEKASIH GELAPKU-PAK KUS
PART 3CERITA PAK KUS
Ketika selesai memandikan
putranya dan menggantikan baju, Sekar hendak membuatkan kopi untuk bapaknya yang baru saja keluar
dari kamar. “Weh cucu mbah sudah mandi. Sini biar bapak yang gendong,
Nduk.”
“Iya, Pak. Bapak mau Sekar buatin kopi?”
“Nanti saja,
Nduk. Sebentar
lagi kita akan keluar to?”
“Iya, Pak,” jawab Sekar.
“Suamimu mana,
Nduk?”
“Masih salat, Pak.”
“Yo, wes. Biar bapak yang jaga anakmu.
Sini ikut mbah, Le Cah Bagus.”
Pak Kus pun menggendong cucunya yang sedang meminum susu
sembari berjalan keluar rumah menikmati pemandangan sawah dengan lampu-lampu
kelap-kelip di malam hari.
“Pak!” sapa Drajat menghampiri Pak Kus.
“Anakmu mau tidur,” ucap Pak Kus sembari
menimbang-nimang cucunya.
“Oh, iya, Pak. Mungkin ngantuk.
Dari tadi nggak
tidur di perjalanan.”
“Iya. Kasihan,
Le.”
Setelah
menyerahkan anaknya Drajat, Pak Kus melihat Sekar keluar.
“Bapak kunci dulu rumahnya
ya, Nduk.”
“Iya, Pak,” balas Sekar.
****
Mobil melaju meninggalkan rumah Pak Kus.
Entah mengapa Drajat jadi gugup ketika duduk bersama
mertuanya itu.
Drajat sesekali memperhatikan Pak Kus yang memakai
kemeja lengan panjang dan sarung itu. Sungguh tampan, dan tubuhnya benar-benar
padat. Entah mengapa Drajat merasa ketakutan yang berlebihan
pasalnya Drajat sudah menganggap penyakit homonya sudah sembuh, bahkan ketika beberapa teman
tampannya ada yang menggodanya. Namun, Drajat tak tergoda, tapi kenapa setelah bertemu
mertuanya sendiri justru membuat jiwa homonya kembali meronta-ronta.
Aneh, pesona sang mertua bisa
merobohkan benteng kesetiaannya yang selama ini ia jaga untuk istrinya.
“Gawat! Tidak, tidak!”
teriak batin Drajat.”
“Ini sangat beresiko! Iya Kalau Pak Kus gay, kalau nggak? Bisa-bisa aku dipukul olehnya karena tak terima dan dianggap
tidak sopan alias menantu tak tahu diri, dan bisa-bisa berdampak pada
rumah tanggaku.”
“Bagaimana kalau Sekar
mengetahui aku ada main sama bapaknya. Gawat!”
“Aku tidak boleh kelepasan, aku harus bisa menahan sekuat mungkin dari godaan pesona mertuaku. Apa pun itu! Aku tak ingin mengorbankan rumah tanggaku. Jangan sampai istriku tahu apa yang aku rasakan saat ini.” Kegelisahan menghinggapi hati Drajat kini.
****
Ketiganya pun mengobrol di mobil.
Sekar dan Pak Kus membahas masa-masa kecil Sekar yang dulu saat sempat berkunjung
dan tinggal di rumah neneknya dan Drajat hanya menjadi pendengar yang baik
dengan sesekali merespon obrolan keduanya saat keduanya sedang mengobrol.
Drajat masih fokus menyetir.
Entah kenapa Drajat merasakan jika mertuanya itu
terus-terusan memperhatikannya.
Drajat yang penasaran sengaja menoleh, menatap Pak Kus. Namun, Pak Kus terlihat buru-buru
mengalihkan pandangannya ke jalan.
“Sungguh sangat aneh! Tatapan matanya juga tak sewajarnya tatapan mertua pada
menantunya, tapi lebih kepada tatapan … ah sudahlah!”
Drajat buru-buru menyingkirkan
pikiran kotornya.
“Semoga saja dugaanku salah!”
“Pak, apakah itu warungnya?” tanya Drajat.
“Oh, iya, Le.”
Entah mengapa Drajat sangat senang ketika
mertuanya itu memanggil tole dan suaranya sungguh terdengar seksi
di telinganya, sangat tegas dan berat serak, namun menggairahkan.
****
Singkat cerita ketiganya pun makan malam
bersama.
Ketika ketiganya makan bersama, gerak-gerik Pak
Kus semakin
terlihat mencurigakan saja. Ia selalu diam-diam
memperhatikan Drajat. Namun, ketika Drajat balik
menatapnya, Pak Kus lagi-lagi mengalihkan pandangannya. Sungguh Drajat penasaran.
****
Tak lama
kemudian setelah makan malam ketiganya pun kembali ke rumah.
Setelah menidurkan anaknya, Sekar hendak membuatkan kopi bapaknya yang kini sedang
duduk-duduk santai sembari merokok.
“Mas mau menemani
bapak ngobrol. Kamu istirahat saja menemani
adik,” kata Drajat kepada Sekar.
“Iya, Mas. Aku buatin kopi dulu buat
kalian,” ucap Sekar.
Sekar pun ke dapur membuatkan kopi untuk bapak dan
suaminya, sedangkan Drajat keluar rumah menghampiri mertuanya. “Pak.”
“Eh, kamu, Le. Kenapa tidak istirahat,
he?”
“Belum ngantuk, Pak. Pingin ngobrol sama Bapak,” jawab Drajat.
“Sibuk apa
sekarang, Le?”
“Saya punya bisnis garmen, Pak.”
“Oh, bagus. Lalu di mana kamu bertemu putri bapak sehingga kalian bisa
menikah?”
“Enggak sengaja,
Pak. Saat dia menemukan dompet saya. Dia menghubungi nomor telepon
saya yang tertera pada kartu nama yang ada dompet lalu saya mengajaknya
ketemuan dan nggak nyangka saja yang nemuin dompet secantik dia. Saya jatuh cinta dan
akhirnya memutuskan menikahinya. Saya nggak heran. Ternyata wajah cantik istri
saya menurun dari bapaknya yang tampan,” ucap Drajat yang membuat Pak Kus
tersenyum sembari menatap tajam menantunya.
“Kalian juga pasangan serasi, cantik dan tampan,” puji Pak Kus yang membuat Drajat
salah tingkah.
Tak lama
kemudian Sekar datang. “Pak, Mas, kopinya.”
“Terima kasih, Sayang. Istirahatlah. Kamu pasti lelah. Biar Mas yang menemani bapak.”
“Ya, sudah. Aku istirahat duluan ya, Pak.”
****
Keduanya pun kini menyeruput
kopi.
“Apa Bapak setiap malam duduk
menikmati pemandangan sawah seperti ini?”
“Iya, Le.”
“Apa Bapak nggak kesepian?”
“Drajat mau, Bapak ikut kita ke kota,”
kata Drajat.
“Bapak lebih senang tinggal di
desa. Di Kota tak ada sawah. Bapak tidak pernah merasa sepi,”
jawab Pak Kus masih kukuh menolak ajakan Drajat.
“Sejujurnya alasan bapak tak mau ke kota karena
adanya suatu hal yang membuat bapak tetap bertahan tinggal di desa,
Le.”
“Apa itu, Pak? Cerita saja sama saya. Saya tak hanya bisa menjadi
mantu, tapi bisa juga menjadi teman ngobrol, Pak,” kata Drajat yang seketika membuat
Pak Kus mematikan rokoknya yang tinggal sedikit lalu beranjak dari tempat
duduknya, mengambil gelas kopi, dan berjalan perlahan ke
pematang sawah.
Drajat berjalan mengikuti di belakangnya.
“Jujur, bapak sebenarnya tidak mau
menolak keinginan baik kalian mengajak bapak tinggal bersama kalian
di kota. Terima
kasih. Bapak sangat senang senang sekali.”
“Orang tua mana yang tak senang
jika anaknya berbakti pada orang tuanya, orang tua mana yang tak senang
jika
diperhatikan oleh anaknya, hanya saja bapak memiliki alasan
tersendiri.”
“Kenapa Bapak menolak?”
tanya Drajat.
“Pertama. Selain bapak harus menjaga
peninggalan ibu atau mbahnya Sekar. Kedua, bapak punya janji pada
seseorang.”
“Maksud Bapak? Sahabat Bapak atau bagaimana?”
tanya Drajat penasaran.
“Kamu bisa tahu dari awal saat bapak cerita jika kamu mirip sahabat bapak yang sudah lama tak
bertemu.”
“Di situ saya merasakan jika Bapak amat merindukan
beliau dan nampaknya beliau terlihat sangat berarti di hidup Bapak.
Betulkah itu, Pak?” timpal Drajat.
“Iya, benar,
Le. Kamu benar. Dia mirip sama kamu. Wajahnya, tubuhnya, semua mirip kamu. Kamu benar-benar mengingatkan bapak kepadanya. Sudah lama dia tidak menemui
bapak. Bapak masih ingat janjinya jika dia akan menemui bapak dan akan tinggal bersama
bapak
selamanya di desa karena kami suka pemandangan sawah dan banyak kenangan yang telah
kami lalui. Ketika melihat kamu, bapak langsung teringat
dengannya, Le,” jabar Pak Kus panjang lebar.
“Saya mengerti, Pak. Lalu kenapa Bapak tak
mencari dan menemuinya saja?”
BERSAMBUNG KE PART 4
No comments:
Post a Comment