RAHASIA CINCIN MILIK EYANG PART 2
PART 2
Suara jangkrik masih terdengar dibarengi suara binatang malam
khas pegunungan yang begitu keras.
Prayitno menyuruhku minum air putih sebelum tidur kembali,
sementara dia yang terlihat sangat mengantuk kembali melanjutkan tidurnya.
****
Hari Jumat.
Setelah kami sarapan, kami bersiap melakukan perjalanan ke
hutan mencari tempat yang nyaman untuk bersantai.
“Kalian ingat, ya. Jangan sampai kalian mandi di bawah air
terjun.” Neneknya Prayitno memperingatkan.
“Memangnya kenapa, Nek?” tanya Silvi.
Perempuan itu menjelaskan tentang bahaya jika berada tepat di
bawah air terjun karena air terjun tersebut merupakan tempat berkumpulnya lelembut
yang setiap saat akan mengganggu orang-orang yang berada di sana.
“Sudah banyak orang yang menghilang tanpa ada jejak. Kemungkinan
dimakan bangsa demit.”
****
Kami membawa bekal yang
sudah dipersiapkan kemudian memulai perjalanan masuk dalam hutan.
Matahari yang sudah terbit membawa kabut mulai menipis
diiringi kicauan burung menemani sepanjang jalan setapak yang kami lewati.
Sekitar setengah jam perjalanan sampailah kami di
persimpangan yang kemudian Prayitno mengajak kami berbelok ke arah kanan.
Medan yang sulit untuk kami lewati jalanan yang miring dengan
jurang di sisinya.
Setengah jam kemudian terdengar suara gemercik air yang cukup
keras. Suara dari bawah itu membawa kami berbelok menuju ke sana dan sampailah
pada tempat yang begitu indah.
Air terjun yang mengalir deras lengkap dengan aneka bunga di
sekitarnya juga hiasi capung dan aneka kupu-kupu.
Kami letakkan tas ransel kami di sekitar air terjun lalu
beristirahat sambil mengamati alam sekitar seperti surga yang diciptakan untuk
mendamaikan jiwa manusia.
Air terjun itu tidak terlalu tinggi, airnya sangat bening dan
lumayan besar, tidak tanpa ada satu hal yang aneh seperti yang diceritakan
neneknya Prayitno.
Kabut yang telah menghilang membawa dingin semakin jelas
keindahan tempat ini.
Tidak lama kemudian kami menuju ke sana dengan masih
berpakaian, kami saling bergandengan.
Berada tepat di bawah air terjun itu kami melupakan pesan
dari neneknya Prayitno untuk tidak berada di sana.
Kami menikmati dingin air dengan tertawa riang melepaskan
tangan lalu menceburkan diri. Prayitno lebih dulu yang kemudian disusul Silvi lalu
aku pun menyusul mereka.
Byur!
Di tengah-tengah dua sahabatku, samar-samar kulihat kelelawar
bergantian masuk menerobos air terjun. Hewan nokturnal itu menghilang tepat di
tempat kami berdiri tadi.
“Mungkin di sana sarang mereka,” batinku.
Setelah ganti baju
kami menggelar tikar lalu menyeduh kopi sebagai teman bersantai. Kami mulai menikmati suasana dengan berbagi
cerita.
“Apakah ada tempat indah yang lainnya?”
“Banyak,” jawab Prayitno.
Prayitno menceritakan tentang beberapa tempat yaitu puncak gunung
yang indah dan biasanya selalu ramai para pendaki juga tentang sebuah petilasan
salah satu Wali Songo yang juga selalu ramai pengunjung.
Prayitno juga menceritakan tentang air terjun ini yang
ditutup dari para pengunjung dikarenakan setiap pengunjung yang datang pasti
menghilang secara misterius, mereka tidak diketemukan keberadaannya sehingga
tempat tersebut dianggap berbahaya bagi orang-orang asing.
Prayitno juga mengatakan kalau dia sudah beberapa kali datang
dan tidak mengalami gangguan yang mengancam jiwanya.
“Yang datang ke sini hanya orang-orang tertentu yang paham
jalannya,” tutur Prayitno.
Tiba-tiba kami dikejutkan dengan bayangan yang melintas
diikuti gerombolan kelelawar yang mengejarnya. Bayangan itu begitu cepat
menerobos air terjun.
Beberapa saat kemudian Silvi mengajak ke sana, dia ingin tahu
tentang apa yang tadi terlihat.
Kami kembali ke arah air terjun lalu menengok di baliknya.
Kami tercengang saat menemukan sebuah gua di sana.
“Apa yang harus kita lakukan, ha?” tanyaku.
Kemudian Prayitno mengajak kami masuk.
“Ayo, masuk!”
Dengan penuh kecemasan aku melarang mereka. Ada rasa khawatir
yang muncul di hatiku. Selain cerita tentang para pengunjung yang hilang, aku
juga teringat neneknya Prayitno, tapi mereka tetap ingin tahu tentang isi di
dalam gua tersebut.
“Nantinya kita akan dikenal sebagai orang yang menemukan gua
ini,” ucap Silvi.
Dengan terpaksa aku ikut masuk ke sana.
****
Ternyata gua itu cukup dalam.
Saat melihat penerangan obor yang terpasang di setiap
beberapa meter aku teringat mimpi semalam.
“Tempat ini persis seperti mimpiku,” batinku.
Kami terus menyusuri gua hingga tiba-tiba muncul seorang
perempuan yang sangat mengerikan.
Pakaiannya putih mulus, rambutnya panjang sepinggang,
wajahnya pucat pasi dengan lidahnya menjulur dipenuhi darah.
Sontak kami yang terkaget langsung kembali keluar.
Perempuan itu melambaikan tangannya sambil berteriak tidak
jelas seakan memanggil kami agar kembali, tapi rasa takut yang terlanjur datang
membawa kami terus berlari Hai hingga tibalah di sebuah persimpangan misterius,
padahal kami tidak menjumpai ada persimpangan tersebut.
Saat masuk tadi terjadi perdebatan antara kami dan kembali
atau teringat mimpiku seolah hadir di dunia nyata hari ini.
Prayitno mengajak kami berbelok ke kanan, tapi entah kenapa
sesuatu menggetarkan hatiku.
Tanganku bergetar hebat. Aku melihat cincin akik yang kupakai,
cincin pemberian Eyangku Itu sekilas mengeluarkan cahaya dan di saat itulah gerombolan
kelelawar muncul dari belakang kami semua menyerang ke kami.
Kulihat darah segar keluar dari badan kami akibat cabikan dan gigitan kelelawar. Secara refleks aku menepis semua serangan hewan malam itu.
Aneh, aku bagai terhempas badai besar, aku tidak tahu apa
yang terjadi.
Aku melihat sahabatku berlumuran
darah dan sesaat kemudian kelelawar itu membawa mereka terbang ke dalam gua.
BERSAMBUNG KE PART 3
No comments:
Post a Comment