RAHASIA CINCIN MILIK EYANG PART 1
PART 1
Aku bangkit menuju teras rumah sambil terduduk di kursi kayu.
Sejenak kupandangi kilauan bintang yang begitu indah.
Tampak pula bulan separuh dengan pantulan cahayanya yang
begitu berbinar. Kebalikan dengan hatiku yang risau tanpa sebab pasti.
Perlahan kuisap sebatang rokok yang diikuti bayangan masa
lalu, bayangan itu memaksaku untuk mengenangnya kembali.
Waktu itu ....
****
Tahun 1992.
Cuaca sangat cerah.
Seperti hari-hari yang lain aku menghabiskan waktuku dengan
bekerja di salah satu kantor asuransi.
Begitu aku pulang tampak Prayitno dan Silvi sudah berada di
teras rumah. Sepertinya mereka sengaja datang untuk menemuiku. Aku langsung
mendekat pada mereka.
Kami bersahabat sejak dibangku SMA dulu dan hubungan itu
terus berlanjut sampai sekarang.
Kesibukan Prayitno adalah sebagai seorang dokter di salah
satu rumah sakit elite, sementara Silvi sebagai sekretaris di salah satu
perusahaan otomotif.
Meskipun kami mempunyai kesibukan masing-masing, tapi kami
sering menghabiskan liburan dengan melakukan acara bersama dan sampai saat ini
kami belum ada niatan untuk mencari pendamping hidup meski sudah beranjak
dewasa dan juga sudah mapan, kami masih
senang dengan kebebasan tanpa ada yang mengikat.
“Ada apa kalian ke sini?” tanyaku.
“Nanti saja penjelasannya setelah kamu mandi,” jawab Silvi
sambil melempar senyum cantiknya.
Setelah sedikit bercanda aku menyuruh mereka masuk ke dalam.
Kubiarkan dua sahabatku itu mencari tempat untuk bersantai,
tapi mereka mendekat pada akuarium cukup besar yang aku taruh di sudut ruang
tamu di mana beberapa ikan hias berenang tanpa beban.
“Kalian tunggu sebentar, ya,” ucapku serasa bergegas masuk
kamar.
Ternyata dua sahabatku itu mengajak liburan ke desa, Prayitno
mengajak aku dan Silvi menghabiskan liburan kali ini di rumah neneknya.
Prayitno menceritakan tentang neneknya yang tinggal sendirian
di desa. Kata Prayitno, di desa neneknya terdapat tempat-tempat yang indah yang
mampu memanjakan mata dan membuat kita lupa beban pikiran.
Karena Jumat dan Sabtu adalah tanggal merah akhirnya kami
bersepakat berangkat pada malam Jumat.
“Bagaimana kalau besok bawa mobilku saja.”
Aku dan Prayitno menyetujui usulan itu.
****
Sekitar empat jam
perjalanan.
Kami sampai di sebuah desa di kaki pegunungan. Aku melihat
keindahan yang ditunjukkan dalam remang cahaya bulan. Gemerlap lampu kota
tampak begitu memesona terlihat dari atas sini. Hawa dingin khas pegunungan
didampingi hutan tampak begitu luas di kanan-kiri jalan.
Di sebuah rumah adat Jawa, Prayitno yang malam itu menyetir
menghentikan mobil.
Prayitno terus menguap. Tampaknya dia kelelahan ketika kami
sampai.
Rumah itu sepi dan juga agak berjauhan dari rumah lainnya.
Aku dan Silvi segera keluar lalu mengambil barang bawaan dari
bagasi belakang.
“Eh, kalian sudah sampai, Cuk,” ucap nenek Prayitno yang
mengagetkan. Wajahnya terlihat sedikit keriput, rambutnya yang masih hitam
legam dibiarkan terurai.
Meskipun umurnya sudah sangat tua, neneknya Prayitno masih
terlihat tangkas dan terlihat jauh lebih muda bahkan tampak lebih muda dari
nenekku.
Prayitno lantas mengenalkan aku dan Silvi.
Kami bergegas masuk rumah, menaruh barang, dan beristirahat
di ruang tamu.
Sambil menanti makan malam, aku melihat sekeliling ruang tamu
cukup luas. Rumah dari papan itu terlihat sedikit angker bagiku.
“Mengapa aku merasakan ada rasa mencekam di hatiku.”
****
Selesai makan malam
kami langsung menuju kamar untuk beristirahat.
Aku tidur bersama Prayitno, sementara Silvi tidur di kamar
sebelah.
Aku langsung membanting tubuhku dengan tertelungkup,
sementara Prayitno masih di luar.
Terdengar dia bercakap dengan neneknya, sepertinya mereka
melepas rindu dengan saling bercerita.
Tidak lama kemudian aku terlelap dan mulailah aku bermimpi.
Di dalam mimpi, aku dan kedua sahabat memasuki lorong gua
yang sangat gelap hingga tampak beberapa obor menerangi jalanan di setiap
beberapa meter. Kami yang mengagumi setiap sisi gua tiba-tiba dikejutkan dengan
kehadiran banyaknya kelelawar yang menghadang, disusul kemunculan seorang nenek
renta. Pakaian juga rambutnya yang panjang terurai terlihat putih mulus,
sementara wajahnya tidak begitu jelas.
Nenek itu hanya terdiam di antara kepakkan sayap kelelawar.
Tidak lama kemudian dia mengangkat tongkatnya dan saat itulah
semua kelelawar menuju ke arah kami.
Seketika kami berputar arah lalu berlari dengan kencang
menghindari kelelawar yang mengejar.
Aneh, ada persimpangan di gua tersebut, persimpangan yang
tadinya tidak kami temui saat masuk.
Kami merasa lega karena saat menoleh gerombolan kelelawar itu
sudah menghilang lalu terjadi perdebatan di sana, persimpangan itu membuat kami
merasa yakin dengan jalan yang benar.
Setelah terjadi perbedaan pendapat akhirnya Prayitno dan Silvi
memilih ke kanan, sedangkan aku sendirian ke arah kiri, kami terpisah di sana.
Aku terus melangkah melewati jalan licin sambil sesekali
membungkuk menghindari berbatuan gua yang nyaris menghantam kepalaku dan tanpa
kusadari aku telah melewati beberapa tengkorak manusia yang berserakan.
Akan tetapi, aku merasa tenang saat tiba di mulut gua.
Terlihat gemercik air terjun di hadapanku.
Kembali aku dikagetkan dengan suara anak-anak.
Mereka berteriak minta tolong.
“Tolong!”
“Tolong!”
Suara mereka yang menggema dari dalam gua membuatku semakin
panik.
“Tolong!”
“Tolong!”
Saat aku akan kembali untuk mencari mereka tiba-tiba gua
runtuh.
Dalam kondisi menegangkan aku segera berlari keluar menerobos
air terjun lalu aku berteriak dengan kencang hingga aku terbangun.
Nafasku memburu diikuti aliran keringat membasahi seluruh
tubuh.
Prayitno yang sudah tidur di sampingku terjaga karena
mendengar teriakanku.
“Ada apa, ha!”
Aku ... aku mimpi ... mimpi buruk,” jawabku masih dengan
nafas terengah.
No comments:
Post a Comment