KAMANUSAN HIDUP SEJATI MELALUI SEBAB AKIBAT PART 2
PART 2
Mendengar itu hati Bu Maksum terluka. Dia benar-benar terluka.
Anak yang dibanggakan selama ini telah berbalik arah, begitu pun Pak Maksum,
matanya menerawang jauh ke masa lalu, masa-masa bahagia yang mulai surut, tapi
bagaimanapun juga Mujiono adalah putranya. Sekuat mungkin ia akan menerima
keadaan dan selalu mendampinginya.
Mbah Noto kembali bertutur, “Aku sudah berdialog dengan
genderuwo tersebut yang mana diusahakan agar Mujiono ikut ujian sehingga akan
mendapatkan ijazah kelulusan.”
“Selain itu juga memberi harapan pada Pak Maksum beserta
istri.”
“Suatu saat semua akan berubah. Yaitu, di saat Mujiono
mendapat sebuah wasit dari bisikan gaib.”
“Itulah segala perilakunya kembali pada sifat asli. Hanya
saja aku tidak tahu pasti kapan waktu itu akan datang.”
Ucapan terakhir Mbah Noto itu menjadi sebuah harapan dan Bu
Maksum yakin Tuhan pasti akan memberi yang terbaik. Sabar, itulah yang menjadi
kuncinya.
****
Saat ini Mujiono sudah
berusia 18 tahun.
Setelah lulus SMP, dia tidak lagi meneruskan bersekolah,
memilih rentang-lantung tanpa arah, bergaul dengan orang-orang urakan hingga minum
minuman keras. Merokok menjadi hal yang biasa.
Pak Maksum sendiri mulai sakit-sakitan semenjak setahun yang
lalu. Tentu penyebabnya adalah Mujiono. Dia terlalu dalam memikirkan putranya
itu dan batinnya bertambah beban ketika Mujiono menghamili perempuan tetangga desa,
seorang gadis bernama Miyati yang usianya setahun lebih tua darinya.
Itulah yang menjadi perenungan Pak Maksum di siang ini. Dia
memikirkan tentang jalan keluar dari masalah tersebut.
Andainya, dinikahkan tentu beban akan dipikul olehnya karena
belum ada tanda perubahan pada Mujiono, justru akan membuat sakit pada keluarga
Miyati.
Suara Sri membuyarkan lamunan.
Pak Maksum beranjak masuk langsung mendekati istrinya yang
terbaring lemah. Sesekali batuk-batuk.
Bu Maksum menyuruh agar segera menikahkan Mujiono saja karena siapa tahu setelah menikah nanti akan ada perubahan yang terjadi.
Pak Maksum terdiam. Ada rasa gamang di hatinya. Mungkin saja
ucapan istrinya benar karena selama ini banyak pemuda sekitar yang berubah
setelah menikah dan semula yang malas dan hanya berpangku tangan menjadi giat
bekerja setelah menikah.
Namun, di sisi lain dia merasa khawatir dengan keutuhan
keluarga Mujiono. Pikiran itu muncul karena melihat sikap Mujiono yang semakin
parah di akhir-akhir ini. Dia tidak mau menyentuh pekerjaan sama sekali. Selalu
mabuk dan pulang hingga lewat tengah malam. Tentu itu adalah masalah serius
dalam hubungan perkawinan.
“Kita tidak mungkin menggugurkannya, Pak. Kita sendiri sampai
bertahun-tahun untuk menunggu momongan.” Kembali Bu Maksum berucap.
“Bagaimanapun juga masalah itu harus segera mendapat jalan
keluar. Untuk urusan risiko mungkin kekuatan doa bisa membantu.”
****
Setelah pernikahan apa
yang dikhawatirkan Pak Maksum terjadi.
Beban ekonomi dan beban batin semakin bertambah.
Setiap minggu Mujiono selalu minta jatah uang yang ternyata
bukan untuk kebutuhan rumah, tapi untuk mabuk-mabukan.
Setiap kali tidak diberi maka dia akan membawa barang apa pun
di rumah untuk dijual.
Lebih parah lagi, Miyati selalu mengeluh tentang sikap kasar Mujiono.
Mujiono sering kali melampiaskan padanya jika sedang kesal. Tamparan
merupakan makanan keseharian Miyati.
****
“Ibu ingin bicara loh sama kamu,” kata Bu Maksum.
Sementara itu, Sri selama ini sengaja jaga jarak dengan adik angkatnya memilih
pergi. Dia tidak mau tersebar dalam urusan adiknya itu, tapi Sri tetap
melakukan yang terbaik bagi ayah ibunya yang dengan tulus telah memberikan
kasih sayang meskipun bukan sebagai anak kandung.
Memang Sri sudah tahu hal itu dari orang tuanya sendiri dan
dia bisa menerima keadaan Mujiono yang tidak biasa duduk santai di sisi ibunya,
sopan santun tidak lagi ada sejak dulu.
“Istrimu itu sudah hamil besar. Berikanlah perhatian khusus
padanya. Bagaimanapun juga dia adalah istrimu yang akan melahirkan darah
dagingmu,” sambung Bu Maksum.
“Ingat, Mujiono. Hukum karma itu berlaku jika kamu masih
seperti ini. Anakmu kelak akan membalasnya dan di saat itulah kamu akan sadar
dan menyesal!” tambahnya lagi. Panjang lebar Bu Maksum menasihati.
Mujiono tidak berucap apa pun dan langsung beranjak
meninggalkan ibunya.
****
Menjelang tengah malam.
Mujiono menggedor-gedor pintu rumah.
Dok! Dok! Dok!
Memang beberapa malam ini dia bersama istri menginap di rumah
orang tuanya karena Sri sudah bekerja di sebuah pabrik yang tidak tentu kapan
pulangnya maka Miyati memilih menemani sang mertua. Meski hamil besar, dia
merasa tidak keberatan.
“Apa-apaan kamu ini, Mas!”
Miyati sangat marah saat melihat Mujiono merangkul seorang
perempuan yang di saat itu pula Pak Maksum keluar.
Melihat kelakuan Mujiono yang di luar batas membuatnya marah
besar, sementara Mujiono yang dalam pengaruh alkohol hanya cengengesan saja.
Bahkan sesekali mencium perempuan yang dirangkulnya.
Kemudian Mujiono memaksa hendak masuk rumah, namun sang bapak
mendorongnya.
“Keluar kamu!” perintah Pak Maksum.
Pak Maksum menyuruh Mujiono sadar. Apa yang dilakukannya
sudah sangat kelewatan dan akan mempermalukan keluarga besarnya. Pak Maksum
akan menerimanya masuk rumah jika si perempuan sudah dipulangkan.
Ucapan itu membuat Mujiono menjadi marah besar. Matanya
menghitam seram yang kemudian melakukan suatu di luar kendali.
Dengan keras Mujiono memukul ayahnya sendiri.
Deg!
Miyati yang hendak melerai juga ikut kena tampar.
Plak!
Miyati jatuh tersungkur.
Bruk!
Dia mengaduh kesakitan saat darah mengalir dari perutnya.
Mendengar keributan Bu Maksum keluar kamar dengan menjerit.
“Kamu sudah kelewatan! Keluar kamu! Kamu tidak akan diterima
di rumah ini sebelum bersujud minta maaf kepada orang tuamu dan istrimu!”
Tidak ada raut penyesalan di wajah Mujiono. Tanpa berucap apa
pun dia pun meninggalkan rumah. Tidak peduli dengan istrinya yang pendarahan,
tidak peduli dengan ibunya yang pingsan atau bahkan tidak bernapas lagi, juga
tidak peduli dengan ayahnya yang kebingungan, tidak peduli teriakan ayahnya
minta tolong.
Tanpa merasa berdosa dia tersenyum merangkul perempuan cantik
di sisinya.
Mujiono pun melangkah menuju sesuatu yang baru, meninggalkan
rumah, kenangan, rumah di mana ia dilahirkan setelah kedua orang tua
mengusirnya.
Tidak berselang lama dari kepergian Mujiono, para tetangga
mulai berdatangan ke rumah Pak Maksum. Mereka tidak menyangka jika Mujiono
melakukan keburukan sampai sejauh itu yang mengakibatkan ibu dan istrinya harus
dibawa ke rumah sakit.
Mungkin kata durhaka pantas disandarkan padanya.
Beruntung semua baik-baik saja. Miyati dan bayinya dinyatakan
tidak bermasalah, begitu pun dengan Bu Maksum.
Dokter menyarankan agar Bu Maksum tidak banyak pikiran karena
hal itu akan menambah parah penyakit yang diidapnya, tapi itu tidaklah Mungkin.
Dia tidak akan tenang sebelum anaknya menjadi sosok yang sejalur dengan agama.
BERSAMBUNG KE PART 3
No comments:
Post a Comment