DANCOK PART 2
Part Sebelumnya:
Beberapa orang perempuan yang terlihat semua berpakaian zaman
dahulu yakni memakai kemban, sementara para lelaki bertelanjang dada dan
memakai sarung batik. Kepalanya memakai udeng ikat kepala.
Setelah melintas, mereka memperhatikan. Aku pun langsung
melanjutkan perjalanan.
DANCOK PART 2
Sosoknya memakai ikat kepala memakai baju putih serta berjanggut
panjang putih pula.
Aku menghentikan laju motor lalu aku bertanya pada kakek
tersebut.
Namun, orang itu hanya diam.
Dia memandang wajahku dengan tajam dan justru terlihat marah.
Tanpa bicara apa pun dia lalu beranjak pergi meninggalkanku. Aku
pasrah.
Setelah mengecek ponsel dan mendadak mati kemudian aku
melanjutkan kembali perjalananku.
Aku majukan motor perlahan sambil memperhatikan dengan saksama
lokasi di sekitar.
Ternyata aku masih melewati kampung yang sama.
Di tengah perjalanan aku juga bertemu seorang nenek sedang
membawa kayu bakar. Sungguh di luar nalar. Di gelap malam ada orang yang
membawa kayu bakar.
Ketika aku berhenti untuk bertanya, sosok nenek tersebut
tidak merespons ucapanku. Dia terus melangkah tanpa memedulikanku yang dilanda
kecemasan dan juga mulai dilanda merasa takut.
****
Setelah itu, aku berjumpa dengan seorang kakek yang sedang
menaiki gerobak zaman dahulu yang
ditarik dua ekor sapi, tampak membawa gabah juga hasil panen yang lain. Namun,
tetap saja lelaki tua itu diam ketika aku coba menghentikannya.
Bukan itu saja, setelah masuk di perkampungan, aku juga
melihat berbagai macam makhluk yang tidak berbentuk.
Sesekali aku juga mendengar suara tawa kuntilanak di atas
pohon yang rindang.
Yang paling membuatku merinding hampir putus asa adalah
ketika jalanan ditutupi sesosok berbadan besar berbulu lebat dengan mata merah
besar.
Saat aku hendak berbalik arah, di belakang makhluk tersebut
terlihat sosok lelaki tua yang aku temui
di gubuk tadi dan makhluk besar itu pun menghilang.
Langsung saja aku tancap gas.
Brummmmmm!
Namun, lagi-lagi aku kembali ke gubuk semula, tapi kali ini
aku melihat sebuah kuburan bertuliskan makam keramat seorang sesepuh yang
berada tepat di belakang gubuk.
Pada saat perhatianku terfokus pada nama yang tertera di
dalam nisan, kemudian aku mendengar suara mobil melintas. Aku pun sangat
berharap kalau truk itu membawa kembali ke jalan yang benar.
Namun, anehnya setelah mengikuti dari belakang tiba-tiba truk
itu menghilang begitu saja.
Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan diri kemudian
mengucap istigfar dan mulai berdoa.
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan, kali ini aku melihat
dari kejauhan banyak orang membawa obor. Penampakan itu diiringi suara gamelan yang
tidak tahu berasal dari mana, dan setelah kuperhatikan dengan saksama ternyata
yang membawa obor tersebut hanya badan tanpa kepala.
Aku pun putar balik kembali ke gubuk. Ternyata sosok kakek tadi
sudah berada di depan pintu seolah menunggu kedatanganku.
Sebelum sampai pintu aku coba cek kembali ponsel dan berusaha
untuk menghidupkannya, namun tetap saja tidak menyala, padahal seingatku
baterainya lebih dari 50%.
“Saiki kowe ngerti. Ati-ati karo omonganmu. Kudu njogo toto kromo!”
Aku mengangguk dengan permintaan maaf dan rasa penyesalan.
Tanpa terasa di tengah rasa ketakutan aku menangis. Aku benar-benar
telah melakukan kesalahan dengan umpatan kata kasar.
Sejenak kemudian si kakek menyuruhku agar pulang.
Dia menunjukkan satu jalan pertigaan. Disuruhnya agar aku
mengambil yang arah kiri, setelah itu dilarangnya aku menengok lagi ke belakang.
Aku pun segera berpamitan dan berterima kasih lalu menaiki
sepeda motor dan melaju perlahan.
****
Ketika aku melalui perkampungan tadi, aku berpapasan dengan
si nenek yang menggendong kayu bakar. Nenek tersebut menunjukkan arah jalan
yang semula berkelok sekarang menjadi bercabang dua sesuai pesan lelaki tua
yang mungkin menjaga makam keramat. Maka aku lewati jalan sebelah kiri tanpa
berani menoleh ke belakang.
Secara tiba-tiba aku kembali di gubuk keramat tadi.
Sepeda motorku dalam keadaan mogok dan hujan masih deras,
namun kali ini waktu sudah pagi.
Ternyata makam keramat tersebut berada di atas bukit.
Terdapat satu pohon beringin besar serta jalan menurun yang hanya
dilalui pejalan kaki.
Aku pun bingung, bagaimana aku bisa berada di makam tersebut?
Sungguh di luar nalar, bahkan jalan berbatuan yang tadi aku lewati berkali-kali
yang tampak adalah jurang-jurang sama sekali tidak ada jalan lain.
Dengan perasaan tidak karuan aku berhati-hati menurunkan
sepeda motorku.
Kondisi jalan yang licin pun membuatku terjatuh.
Brukk!
Di saat itu pula aku tidak teringat apa-apa.
****
Aku sadar di antara kerumunan orang-orang.
Ternyata aku dibawa ke salah satu rumah warga setempat.
Sejenak mereka memberikan segelas air putih.
Salah satunya berucap syukur alhamdulillah atas keselamatanku.
Aku sendiri hanya terdiam.
Setelah benar-benar sadar, barulah aku menceritakan apa yang
telah membuatku semalaman tersesat.
Lelaki tua itu berujar jika sering terjadi kecelakaan di
sekitar lokasi itu dan selalu merenggut nyawa, bahkan ada pula yang diketahui
menghilang tanpa jejak.
Ketika aku mendengarkan setiap kisah dari warga, perasaanku
semakin tegang saja.
Tuhan benar-benar masih memberiku kesempatan untuk
memperbaiki segala tabiat burukku.
Di dalam hati aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan yang Tuhan berikan dan sifat yang pertama perbaiki adalah ucapan
kasarku yang menjadi kebiasaan.
Aku tidak mau lagi mengumpat.
Tiba-tiba ponselku yang semula mati terdengar berdering.
Dringggg!
Aku mendapatkan panggilan dari Dian sebanyak 23 kali. Ketika
aku angkat ternyata Bibi Aminah yang menghubungi.
Dengan penuh kekhawatiran aku beralasan meyakinkan Bibi
Aminah kalau semua baik-baik saja. Aku terlambat sampai Lumajang karena motorku
mogok magrib tadi.
Pagi itu juga aku berpamitan dan tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada keluarga setempat kemudian melanjutkan perjalanan ke arah
Lumajang.
Dengan iringan doa sepanjang perjalanan, aku terus berzikir meski
suasana tidak di malam hari.
No comments:
Post a Comment