DANCOK
Perkenalkan, namaku adalah Azis. Asalku dari kota Lumajang yang sekarang lagi mengadu nasib di Malang.
Aku bekerja sebagai kuli bangunan. Maklum aku hanya lulusan
Aliyah dan tidak ada keahlian yang aku miliki.
Selama tinggal di Malang, Aku tinggal di rumah kerabat, Bibi
Aminah namanya. Dia punya anak laki-laki bernama Dian yang sebaya denganku dan
anak perempuan yang masih SD bernama Putri.
****
Sudah lebih dari 9 bulan aku belum pulang ke Lumajang, rasa
kangen pada orang tuaku semakin tidak terbendung juga pada pujaan hatiku, Citra
namanya.
Hubungan jarak jauh membuatku sangat rindu selalu ingin
bertemu hingga aku pun memutuskan untuk pulang ke kampung demi mengobati rasa
kangen tersebut dan hal itu pun aku ungkapkan pada Bibi Aminah.
Aku minta izin. Besok kuusahakan pulang sekitar satu minggu.
****
Hari itu sebelum memulai keberangkatan pulang ke Lumajang aku
mulai menyervis sepeda motorku ke bengkel langganan.
Motor keluaran 2010 itu memang lumayan tua, tapi aku telah
menyervis secara berkala sehingga tidak pernah ada gangguan ketika berkendara.
Sepeda motor itu juga menjadi kenanganku di awal pertemuan
dengan Citra. Sangat banyak kenangan pahit dan manis sehingga aku enggan
menjualnya.
Tepatnya pukul 10.00 aku sudah mempersiapkan segala keperluan.
Dian keponakanku juga ingin ikut, tapi karena tidak sedang
libur maka terpaksa aku pulang sendiri.
Sebenarnya aku ingin lewat jalur daerah Bangil, namun
teringat bahwa sudah lama tidak membelikan makanan kesukaan Citra yakni kue
bolu oleh-oleh khas Malang, terpaksa aku harus melewati jalur Malang.
Dalam perjalanan aku juga mengenang masa indah saat
berpacaran.
Sejenak aku berhenti melepas penat sambil menyedot sebatang
rokok dan ngopi.
Setelah melewati kota lama aku mampir membeli bensin di
Pertamina.
Demi menemani kesepianku di jalan, aku pun memutar lagu lewat
haedset yang menuntutku sedikit-sedikit untuk ikut bernyanyi.
****
Waktu menunjukkan pukul 14.30. Sedangkan aku masih berada di
Malang Selatan.
Sedang asyiknya berkendara, aku dikejutkan dengan kemunculan kucing
hitam melintas.
Ciit!
Meong!
“Hus!”
Hampir saja aku menabraknya jika tidak banting ke arah kiri.
Aku tidak berpikir jika ada peringatan, sesuatu akan terjadi.
Yang aku tahu hanya berdoa pada Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menenangkan
pikiran.
Aku mampir dulu ke Masjid untuk melaksanakan kewajiban salat
asar.
Pukul 16.15 barulah aku melanjutkan perjalanan.
****
Sesekali aku menengok
ponsel di mana Bibi Aminah selalu menanyakan keberadaanku.
Aku membalas agar dia tidak usah khawatir. Jika sudah sampai
nanti pasti akan aku kabari.
Rupanya Bibi Aminah sangat khawatir denganku, apalagi dia
mempunyai firasat yang kuat selama ini. Apa yang terlintas di pikirannya selalu
terjadi.
Jika ia mendapatkan satu firasat, entah itu firasat baik
maupun buruk, segera kutarik gas agar tidak kemalaman karena jalur yang
kulewati sangatlah sepi.
Kondisi jalan berada di tepi jurang, juga jalan yang
berkelok-kelok membuatku berhati-hati.
Jalan yang aku lalui memang melewati perbukitan, apalagi dari
arah berlawanan. Beberapa truk bermuatan pasir melintas sedikit oleng.
Terlihat pemukiman warga tidak begitu rapat, paling banyak 5
rumah saling berdekatan dan selebihnya paling berjarak 1 km lagi baru ketemu pemukiman
yang lain. Itu saja kadang hanya dua rumah.
Tidak disangka tiba-tiba hujan deras pun melanda.
Aku menepi lalu membuka jok motor dan sayangnya ternyata aku
lupa tidak memasukkan jas hujan.
Sambil mengumpat aku pun nekat menerobos hujan mengingat
waktu itu sudah mendekati magrib dan tanpa terduga mendadak sepedaku mengalami
mogok.
“Diancok!”
Aku bertambah kesal mengingat sebelum berangkat aku sudah servis
motor itu.
“Diancok!”
Entah berapa kali aku mengumpat sambil menuntun sepeda motorku.
Ketika sampai di sebuah gubuk, aku tepikan sambil menunggu hujan reda.
****
Hari mulai gelap.
Berbekal senter cahaya dari ponsel, aku mulai konsentrasi
mengotak-atik sepeda motorku.
Umpatan kekesalan terus saja mengalir dari mulutku.
“Diancok!”
Memang aku sering melontarkan kata-kata kasar setiap kali
tidak suka dengan sesuatu, begitu pun ketika sedang bercanda dengan kawan-kawan.
Hal itu sudah melekat semenjak aku bergaul dengan orang-orang lebih tua dari
SMP dulu.
Pada akhirnya aku pun merasa lega ketika motor aku starter menyala
kembali.
Brummm!
Secara kebetulan pula hujan mulai mereda, dan ketika cuaca
benar-benar membaik dengan bergegas aku langsung tancap gas melanjutkan
perjalanan. Namun, keanehan terjadi. Jalan yang aku lalui sangat sepi tidak
sedikit pun terdengar suara binatang juga tidak ada satu pun kendaraan yang
melintas.
Semakin jauh suasana jalanan kurasakan asing. Jelas-jelas aku
tidak salah lewat jalan karena itu adalah satu-satunya jalan penghubung Malang.
Kondisi jalan juga berubah. Yang semula jalan aspal, sekarang
menjadi jalan batuan.
Tidak tampak lereng-lereng perbukitan, justru aku melintas di
tengah hutan, padahal jalannya aku lewati seharusnya masih berkelok dan di tepi
jurang. Begitu pun juga aku melihat pemukiman warga yang asing rumahnya terbuat
dari bambu dan berjajar rapat. Anehnya lagi, hanya cahaya obor di teras, juga
ada alat penumbuh padi tradisional.
Beberapa orang perempuan yang terlihat semua berpakaian zaman
dahulu yakni memakai kemban, sementara para lelaki bertelanjang dada dan
memakai sarung batik. Kepalanya memakai udeng ikat kepala.
Setelah selintas, mereka memperhatikan. Aku pun langsung
melanjutkan perjalanan.
No comments:
Post a Comment