PAKLIK SUMPENO
Ini adalah pengalaman Paklikku yang ayah tuturkan kepadaku. Sebut
saja namanya Sumpeno.
Nama Paklik Sumpeno cukup disegani di kalangan preman pasar
juga preman terminal dan karena terkenal akan kesaktiannya itu dia dijadikan
kepala preman sekaligus pimpinan dari para penjahat di pasaran.
Selain mempunyai keahlian ilmu bela diri dan tenaga dalam yang cukup tinggi, dia juga dikenal kebal senjata dengan beberapa barang jimat yang dimiliki.
Kata ayahku yang merupakan kakak kandungnya, cincin akik yang
dipakai oleh Paklik Sumpeno merupakan barang andalan yang membuatnya tidak tertandingi.
Barang tersebut diperoleh saat merantau di Kalimantan.
Sebelum merantau Paklik Sumpeno masih menjadi orang biasa. Sifatnya
kalem dan tidak sombong, tetapi setelah dia pulang, semua berubah. Dia menjadi
angkuh dan beringas.
Sesuai dengan sifatnya yang penuh emosional itu, dia selalu
mencari masalah yang berakhir dengan duel.
Bahkan kebanyakan lawannya bukan orang biasa, tapi preman
yang sudah tersohor dan ditakuti warga.
Beberapa kali dia dikeroyok. Bahkan pernah rumahnya dibakar
dan dia dibacok para preman dengan menggunakan celurit, namun sama sekali tidak
ada darah yang keluar.
Bahkan dia mampu melawan balik sehingga para preman tersebut bertekuk
lutut.
Dari kejadian itulah dia menjadi terkenal lalu diangkat
menjadi ketua preman, sosok yang sangat disegani dan ditakuti.
tidak segan-segan Paklik Sumpeno mengajar membabi-buta dan
menyiksa bagi mereka yang tidak sanggup membayar iuran keamanan. Bahkan sempat
ada yang meregang nyawa, tapi para pedagang di sana hanya mampu pasrah tanpa
melakukan perlawanan.
****
Ayahku yang sebagai kakak kandungnya sangat sering menasihati
Paklik Sumpeno.
Dia sangat tidak suka dengan sifat adiknya yang selalu
membuat onar dan menjadi gunjingan orang-orang.
Akan tetapi, semua nasihat itu dibantahnya dengan gertakan
kata-kata kasar.
Bahkan pernah ayahku ditantang berduel, tapi demi menjaga
hubungan persaudaraan ayahku selalu mengalah. Biarkanlah waktu yang akan
menggugah hatimu untuk kembali pada kebenaran!” Itu yang selalu ayah ucapkan di
setiap akhir perdebatan dengan Paklik Sumpeno.
****
Tepat tengah malam.
Ayahku terjaga dari tidur. Dia yang merasa sulit untuk tidur
kembali keluar rumah menuju teras.
Tidak lama kemudian lewatlah Paklik Sumpeno dengan membawa
bungkusan plastik.
Tercium aroma bunga dari bungkusan tersebut.
Dengan tergesa Paklik Sumpeno langsung masuk rumahnya yang
berada tepat di sebelah rumahku.
“Aneh. Kenapa Sumpeno tiba-tiba pulang?” batin ayah.
Memang Paklik Sumpeno sudah hampir sebulan tidak pulang ke rumah.
Kabarnya dia menginap di rumah seorang janda yang mempunyai salah satu warung
di pasar.
Dengan rasa penasaran ayah menuju rumah Paklik Sumpeno. Dia
menuju salah satu kamar yang sudah menyala lampunya.
Lewat celah sempit jendela ayahku mulai mengintip kegiatan
Paklik Sumpeno.
Tampak dia melepaskan cincinnya lalu mengeluarkan sesajen
dari dalam plastik.
Beberapa macam bunga dan sebutir mutiara diletakkan di dekat
kakinya.
Tidak lama kemudian dia bersemadi hingga muncullah sosok ular
berkepala manusia yang memakai mahkota.
Kemudian Paklik Sumpeno memberikan akiknya yang langsung
ditelan. Di sekitar tiga menit akik itu kembali dimuntahkan. Terlihat warna aki
itu berkilauan seperti habis di cuci.
Secara tiba-tiba ular itu melihat ke arah jendela tepat di
mana ayahku berada.
Dengan penuh ketakutan ayahku meninggalkan tempat tersebut,
tapi begitu sampai di depan rumah Paklik Sumpeno sudah menunggunya. Dia menatap
ayah dengan tajam dan penuh kemarahan.
Lalu tangannya melesat cepat menghantam ayahku.
Deg!
Darah segar keluar dari mulai ayah.
“Kamu jangan pernah mencampuri urusanku!” bentak Paklik Sumpeno
yang sudah tidak peduli lagi akan rasa persaudaraan.
Pukulan kembali dilayangkan bertubi-tubi.
Aku dan ibu yang terbangun langsung menuju ke sana.
Kami segera mendekati ayah yang terluka parah dan tidak bisa
berbicara sepatah kata pun akibat luka dalam yang diderita.
Ibuku terisak sambil minta ampun pada adik iparnya itu.
“Kalau bukan kakakku sudah kuhabisi kamu!” ucap Paklik Sumpeno
sambil melangkah masuk rumah.
Dia biarkan aku dan ibuku menangis sambil memegang tubuh ayah.
****
Dua bulan kemudian.
Ayahku sembuh total. Dia sudah mampu bekerja sebagai petani
seperti biasa. Kejadian yang dialami membuatnya bertekad untuk menghentikan
sifat buruk Paklik Sumpeno.
Dia mencari cara agar adiknya itu kembali ke jalan yang
sesuai dengan tuntunan agama. Dia pun meminta pendapat dari seorang kiai sepuh
desa.
“Allah akan membantu niat baik seseorang,” ucap Pak kiai yang
kemudian kiai tersebut memberitahu keberadaan kakak seniornya semasa di pondok
pesantren.
Syekh Khalid seorang kiai yang mendapat julukan syekh
tersebut selain pintar ilmu agama juga mendalami ilmu kebatinan
“Nanti aku buatkan surat, berikanlah pada beliau karena
beliau merupakan orang yang tertutup.”
“Jadi, tidak setiap orang yang meminta bantuan akan
ditemuinya,” tutur Pak Kiai.
****
Akhirnya ayahku
berangkat menuju ke sana.
Dengan tekad kuatnya yang ingin menyadarkan Paklikku dari
pengaruh jin ular, ayah pun mulai berguru.
Syeh Khalid yang ilmunya terkenal mumpuni dan sangat disegani
di sekitar sana menyambut kedatangan ayah yang membawa pesan dari Pak Kiai.
“Sehebat apa pun ilmu kanuragan manusia, dia akan sadar
dengan ilmu Alah. Karena ilmu yang dimilikinya hanya bagikan segelintir debu
yang tidak terlihat di hadapan Allah,” ucap Syeh Khalid yang setelah mendengar cerita
ayah tentang Paklik Sumpeno.
****
Setelah berguru hampir
enam bulan.
Ayahku mampu menguasai ilmu kanuragan yang diajarkan dan
setelah dirasa sudah mampu menandingi kehebatan Paklik Sumpeno, ayah berniat
meninggalkan pesantren tersebut.
“Ingatlah, Anakku. Jangan sampai kamu menyalahgunakan ilmu
yang kamu pelajari karena ilmu putih bisa menjadi ilmu hitam selama
dimanfaatkan di jalan sesat,” pesan Syeh Khalid dan yang kemudian memberi bekal
berupa sebuah rajah yang diikat di kayu putih.
“Semoga Allah melindungimu,” ucap Syeh Khalid.
****
Ibuku mengusap air matanya saat Ayah memelukku.
Ada rasa khawatir yang muncul di raut wajahnya. Dia takut
dengan perkelahian kakak beradik yang akan terjadi nanti. Dia membayangkan
tentang pertumpahan darah kelak.
“Tenanglah, Istriku. Kezaliman harus dihentikan dan itu
adalah perintah agama kita,” ucap ayah setelah melepaskan pelukannya.
Ibu tetap menangis pasrah, takut jika terjadi hal yang tidak
diinginkan pada suaminya.
****
Sampailah pada sore itu di mana Paklik Sumpeno menghajar
janda yang pernah dijadikan Simpanannya.
Perempuan itu datang ke rumahnya dan mengabarkan tentang
kehamilan, tapi justru Paklik Sumpeno menyiksanya.
Kesempatan itu tidak dibiarkan lewat begitu saja oleh ayahku.
Perlahan ayah mendekat, disuruhnya perempuan itu ke rumahku
agar segera diobati lalu menyuruh Paklik Sumpeno menghentikan kebiadabannya itu.
“Kamu jangan ikut campur urusanku!” bentak Paklik Sumpeno yang
tidak lama kemudian para tetangga mulai berdatangan karena mendengar keributan
yang terjadi.
Ayah mencoba menasihati Paklik Sumpeno. Disuruh adik
kandungnya itu menghentikan semua kelakuan buruknya dan segera bertobat, tapi
lelaki itu membalas dengan serangan pada ayahku.
Pertempuran pun tidak bisa dielakkan lagi.
****
Para warga mundur tanpa
ada yang berani melerai.
Ayahku yang mulai jengkel dengan kemusyrikan adiknya itu
melakukan perlawanan dengan sengit.
Angin bertiup kencang. Langit tiba-tiba mendung disertai
dengan kilatan petir yang menyambar.
Terlihat dua orang lelaki berdiri gagah dengan berkuda kuda sebelum
melakukan pertarungan. Ayahku membacakan doa yang sudah dipersiapkan dari awal.
Ayah juga mengeluarkan pemberian gurunya Syeh Khalid ditangan
kanannya, sementara Paklik Sumpeno masih terlihat marah dan sudah tidak sabar
untuk menyelesaikan pertarungan. Baginya mengalahkan ayahku adalah hal yang
sangat mudah.
****
Kembali duel itu
dilanjutkan.
Serangan demi serangan dilakukan.
Aku dan ibu sesekali menjerit setiap kali ayah terkena
pukulan maupun tendangan.
Isak tangis ibu terdengar mengharukan hingga akhirnya ayah
mampu melumpuhkan Paklik Sumpeno. Adik kandungnya itu terjerembap berlumuran
darah.
Dengan nafasnya yang memburu Paklik Sumpeno mencium akiknya
sambil komat-kamit.
Ayah yang hendak mendekat dikagetkan dengan kemunculan sosok
ular sebesar pohon kelapa.
Ular itu berwarna hijau dengan berkepala manusia dan memakai
mahkota.
Semua warga yang menyaksikan berteriak histeris termasuk aku
dan ibu.
Ayahku yang sedikit takut seolah mendapat kekuatan kembali
saat terdengar suara Syeh Khalid dan gurunya itu menuntun ayahku membaca sebuah
doa dengan lantang.
Ayah membacanya tidak lama.
Kemudian datang angin kencang.
Sekejap kemudian sesosok bayangan harimau berwarna putih
masuk ke dalam tubuh ayahku bersamaan dengan itu akik pamanku menyala dengan
sinarnya berwarna hijau.
Ular besar itu melesat menyerang ayah.
Dengan gesit ayah mengelak saat ular itu akan melilit
tubuhnya. Dengan cepat ayah melompat bak harimau menyerang mahkota sang ular
hingga terpental menghantam pepohonan.
Mahkota itu hancur disusul suara menggema dari sang ular. Ular
itu pun lenyap seketika.
Mendadak Paklik Sumpeno bangkit dan ingin menghantam ayahku.
Ayahku hanya diam sambil membaca doa dan tiba-tiba ada sebuah
cahaya putih yang keluar dari tubuhnya yang membuat Paklik Sumpeno terpental beberapa
meter.
Ayahku mendekat. Ditarik cincin dari jari Paklik Sumpeno dan
dimasukkan ke dalam kain hitam bersama rajah pemberian Syeh Khalid dan kain itu
diletakkan dan terbakar hingga lenyap bersamaan dengan Paklik Sumpeno menjerit
kesakitan dan memuntahkan darah pekat berwarna hitam.
Paklik Sumpeno pun menyesal.
****
Dua bulan berselang.
Setelah kejadian tersebut Paklik Sumpeno mengalami kelumpuhan.
Kulitnya bersisik seperti ular. Semakin hari kulit itu mengelupas dan timbul
luka berbau busuk.
Ayahku dengan setia menunggui adiknya yang sekarat.
Hari ini aku sengaja ikut ayah atas perintah ibu. Aku duduk
di samping Paklik Sumpeno sambil membaca doa.
Sementara itu, banyak orang yang bersyukur atas kondisi yang
menimpa Paklik Sumpeno itu. Mereka adalah orang yang pernah disakiti dan masih
menyimpan dendam pada Paklik Sumpeno.
“Mas, maafkan aku,” ucap Paklik Sumpeno lirih.
Kulihat air matanya menetes membawa penyesalan.
“Tolong tuntun aku,” ucapnya.
Kemudian ayah mendekatkan mulutnya ke telinga Paklik Sumpeno.
Perlahan dia ucapkan syahadat menuntun adiknya menuju alam lain.
SELESAI
Dukung Pakde Noto di Trakteer

No comments:
Post a Comment