TRESNANING WAGIYAH TAMAT
PART 4
Satiman mulai berjingkat mendekat ke kamar adiknya.
Rupanya ayah dan ibunya juga sudah mendengar hal yang sama.
Tanpa dikomando, bertiga pun mengambil kursi dan berebut
ingin mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dalam kamar Wagiyah.
Sang ibu yang mendapat
giliran pertama segera mengarahkan pandangan ke dalam kamar.
Beberapa saat saja sang ibu mengintip melalui ventilasi kamar,
beliau sudah nyaris terpekik. Ia segera menutup mulut rapat-rapat dengan tangannya.
Mereka melihat sang ibu pucat pasi dan terlihat sangat ketakutan.
Satiman pun tidak sabar. Segera ia naik ke kursi dan
mengintip.
Sama seperti sang ibu, hanya dalam hitungan detik Satiman pun
dibuat ketakutan yang sama.
Kini giliran Pak Rahmat.
Beliau mencoba mengambil nafas menenangkan diri sejenak. Saat
dirasa siap, barulah beliau ikut mengintip melalui ventilasi. Pak Rahmat
terlihat begitu syok melihat apa yang terjadi.
Kini mereka tahu siapa yang sering kali membuat Wagiyah
seperti tertawa-tawa dan terdengar seperti sedang berbincang-bincang di dalam kamar.
Ternyata Wagiyah sedang duduk berdua dan sosok yang sedang bercengkerama
dengan Wagiyah itu berwujud pocong.
Beberapa kali Wagiyah memanggil pocong itu dengan kata, “Sayang,
Mas Widodo sayang.”
Terkadang tidak canggung Wagiyah merangkul dan bermanja-manja
pada sosok pocong itu.
Pak Rahmat dengan jelas melihat semua itu. Bahkan sebuah
kalimat yang membuat Pak Rahmat menjadi semakin cemas adalah, “Mas Widodo, sebentar
lagi aku akan menyusulmu, Mas. Aku tak mau berpisah sama kamu, Mas.” Yang
disusul seperti anggukan kepala oleh si pocong.
Pak Rahmat yang terpaku di atas kursi tiba-tiba nyaris hilang
keseimbangan. Betapa tidak, hanya dalam satu kedipan mata tiba-tiba muka pocong
yang hancur bergelantung itu sudah menempel pada ventilasi tempat Pak Rahmat
mengintip.
Muka Pak Rahmat dan muka pocong itu pun berada pada lubang
hanya dibatasi oleh celah ventilasi.
Baik Satiman maupun ibunya tergopoh berusaha menahan Pak Rahmat agar tidak terjatuh.
Mereka bertiga saling pandang sesaat setelah posisi Pak Rahmat
telah aman di bawah, tapi tanpa diduga Wagiyah pun segera keluar kamar dan
dengan pandangan nanar ia membentak keluarganya.
“Kalian jangan ikut campur! Aku cinta mati sama Mas Widodo!
Aku akan segera menyusulnya!”
Tepat setelah kata terakhir itu kedua orang tua Wagiyah makin
kalut mendapati kenyataan itu.
Betapa pun mereka menjelaskan bahwa Widodo telah meninggal. Mereka
menjelaskan bahwa yang Wagiyah temui itu adalah sosok pocong, namun Wagiyah
tetap saja bersikukuh.
“Wagiyah, yang sering kamu temui tiap malam itu bukan Widodo,
Nduk. Percaya sama ibu. Lihat sendiri kalau yang kamu ajak bicara itu berwujud pocong.
Dia itu pocong, Nduk. Bukan Widodo!”
Justru Wagiyah berani melayangkan tangan.
Plak!
Satiman langsung membalas dengan tamparan yang lebih keras.
Caci maki pun berhamburan. Satiman bahkan sudah akan
melayangkan kepalan tangannya kalau saja sang ibu tidak buru-buru mencegahnya.
Meski dalam hati sang ibu merasakan sakit, tapi beliau masih bisa memaklumi
karena saat ini Wagiyah sedang dalam pengaruh sosok jahat.
Wagiyah yang tidak terima perlakukan kakaknya justru
menantang dengan lantang.
Pertengkaran itu mereda setelah sang ayah turun tangan
menengahi.
Beliau menenangkan kedua anaknya, beliau pun menegaskan
sekali lagi pada Wagiyah bahwa apa yang dikatakan ibunya adalah benar.
Pak Rahmat juga minta pada Wagiyah agar mulai saat ini untuk
tidak lagi berhubungan dengan apa yang diakuinya sebagai Widodo.
Pak Rahmat juga minta pada istri dan anak-anaknya untuk tidak
meninggalkan salat lima waktu.
****
Pak Rahmat dan istrinya yang memulai.
Mereka berdua semakin rajin menjalankan salat 5 waktu.
Satiman yang juga sadar akan kesalahannya turut mengikuti
jejak orang tuanya. Mereka yang butuh Allah, bukan Allah yang butuh salat 5
waktunya.
Dengan lembut dan pelan mereka juga mengajak Wagiyah untuk
ikut salat meskipun ajakan itu justru menimbulkan pertengkaran.
****
Hujan terus turun.
Hujan yang disertai petir sekali menggelegar menjatuhkan
nyali.
Hingga hampir tengah malam hujan belum juga reda. Hawa dingin
terasa menjalar ke dalam pori-pori.
Di dalam kamar, sang ibu terus membolak-balikkan tubuh. Bukan
karena takut akan suara petir itu, tapi beliau sedang merasakan adanya firasat
yang kurang baik.
Sore tadi sebuah gelas tiba-tiba terlepas dari pegangannya
saat beliau akan minum. Kemarin tangan beliau juga bahkan teriris pisau saat
merajang sayuran. Pasti bukan suatu kebetulan pikir sang ibu.
Ketika sang ibu merasa gelisah itulah dari balik pintu kamar
yang tertutup rapat terlihatlah sosok bayangan berdiri. Di sana ekor mata sang
ibu rupanya menangkap bayangan itu. Secara refleks kepala beliau menoleh.
Akan tetapi, saat pandang mata beliau mengarah ke pintu,
beliau tidak melihat sesuatu apa pun.
Sang ibu kembali mengalihkan arah pandang. Bersamaan itu pula
ekor mata sang ibu kembali menangkap ada seseorang sedang berdiri untuk yang
kedua kalinya.
Sang ibu menoleh ke pintu dan memang tidak ada siapa-siapa.
Kejadian itu mungkin berulang tiga sampai empat kali, dan ketika
tanpa sengaja mata beliau justru menatap suatu sosok yang sangat mengerikan.
Ada pocong berdiri di samping pintu dan wajah itu terlihat
tidak beraturan bahkan memang tidak berbentuk lagi.
Pemandangan yang mengerikan itu pun membuat beliau hilang
kesadaran.
Azan subuh baru saja berkumandang.
Allahu akbar, Allahu akbar!”
Pak Rahmat pun segera bangkit dari tempat tidurnya.
“Mumpung masih diberi nafas aku harus memperbaiki diriku.”
Dipandangi istrinya yang masih terlelap.
Sang istri pun mulai membuka mata. Beliau pandangi wajah
suaminya. “Bu’e, ayo subuhan dulu.”
Namun, ajakan itu justru dibalas oleh pelukan erat. Tiba-tiba
sang istri teringat bahwa semalam ada pocong berdiri di samping pintu.
Baik Pak Rahmat maupun istrinya belum juga beranjak dari
tempat tidur ketika mereka mendengar anak lelaki mereka Satiman berteriak
histeris.
“Akh!”
Segera mereka berdua
pun menghambur dan di dapur itulah Pak Rahmat dan istrinya sungguh tercengang.
Mereka tidak kuasa berkata apa.
Di hadapan mereka sudah tergantung anak perempuannya. Ya, Wagiyah
telah tewas dengan cara gantung diri. Lehernya terjerat oleh seutas tambang
yang terikat pada belandar rumah.
Satiman melihat secarik kertas jatuh di lantai.
Isi tulisan pada secarik kertas itu: “Pak, Bu, Mas Satiman, Wagiyah benar-benar
cinta mati sama Mas Widodo. Semalam Mas Widodo menjemput Wagiyah untuk hidup
bersamanya. Wagiyah pamit.”
Barulah beberapa saat ketika sang ibu tersadar bahwa yang
tergantung di hadapannya adalah benar-benar anaknya, tangis itu pun pecah.
Duka itu pun kembali hadir dan kali ini anak mereka Wagiyah
meninggal dengan cara yang jauh lebih tragis.
SELESAI
No comments:
Post a Comment