REBO WEKASAN PART 1
PART 1
Di dalam agama Islam ketika hari Rebo Wekasan tiba, dianjurkan untuk semakin mendekatkan diri pada Sang Maha Kuasa agar dijauhkan dari segala macam mara bahaya.
Beberapa aktivitas yang dilakukan selama hari itu antara lain
adalah tahlilan atau Dzikri bersama, berbagi makanan baik dalam bentuk gunungan
maupun selamatan, sampai salat tolak bala secara berjamaah.
Selain para pemuka agama dunia, di Indonesia sendiri memiliki
versi lainnya.
Versi pertama: Rebo Wekasan disebut sudah ada sejak tahun
1784.
Saat itu hidup tokoh bernama Kiai Haji Muhamad Bafaqih Usman atau yang dikenal sebagai Kiai
Wonokromo pertama.
Masyarakat meyakini bahwa sang kiai mampu mengobati penyakit
dengan metode membacakan ayat Alquran pada segelas air dan diminumkan pada
pasien.
Kemampuan Kiai Bafaqih semakin menyebar sehingga terdengar
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Untuk membuktikan kemampuan tersebut, Sri Sultan
Hamengkubuwono I mengutus empat prajurit untuk membawa sang kiai menghadap ke
Keraton.
Ternyata ilmu sang kiai terbukti dan mendapat sanjungan.
Sepeninggal sang kiai, masyarakat pun meyakini bahwa mandi di
pertempuran kali Opak dan kali Gajah Wong dapat menyembuhkan berbagai penyakit
dan mendatangkan berkah.
Versi kedua: Rebo Wekasan tidak lepas dari tokoh Sultan Agung
penguasa Mataram.
Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar tahun 1600.
Kala itu Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit yang
kemudian diadakanlah ritual untuk menolak balak.
Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kyai Walet dengan membuat
tolak balak berwujud rajah dalam aksara Arab sebanyak 124 baris.
Rajah tersebut dibungkus dengan kain mori putih dan
dimasukkan ke dalam air kemudian diminumkan pada orang yang sakit.
Lantaran khawatir air tidak cukup, akhirnya Sultan Agung
memerintahkan agar air sisa rajah tersebut dituangkan ke dalam kali Opak dan
Gajah Wong.
Versi terakhir: Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada masa
Wali Songo.
Kala itu banyak ulama yang menyebutkan bahwa pada bulan Safar
Allah Subhanahu Wa Ta' ala menurunkan lebih dari 500 macam penyakit.
Sebagai antisipasi datangnya penyakit dan agar terhindar dari
musibah, para ulama pun melakukan tirakatan dengan banyak beribadah dan berdoa.
Kegiatan itu bertujuan agar Allah menjauhkan mereka dari
segala penyakit dan malapetaka yang dipercaya turun pada Rebo terakhir di bulan
Safar.
Hingga kini tradisi tersebut masih dilestarikan oleh sebagian
umat Islam di Indonesia dengan sebutan Rebo Wekasan.
Selain di Jawa,
tradisi Rebo Wekasan juga diadakan oleh sebagian masyarakat di berbagai wilayah
Indonesia misalnya di Aceh dengan sebutan Makmegang.
Ritualnya berupa berdoa di tepi pantai dipimpin oleh seorang
Tengku dan diikuti oleh tokoh agama tokoh masyarakat dan berbagai elemen warga
Aceh.
Di Jawa tradisi Rebo Wekasan biasanya dilakukan oleh
masyarakat pesisir pantai dengan caranya masing-masing.
Ada juga di Kalimantan Selatan tradisi Rebo Wekasan disebut
Arba Mustamir yang diadakan dengan berbagai cara seperti salat sunah dan
disertai salat tolak bala.
Selain itu ada juga selamatan kampung dengan tidak bepergian
jauh, tidak melanggar pantangan.
****
Cerita Girah.
Jika diajak kembali mengenang cerita waktu itu tentu saja Girah
masih mengingat semuanya dengan jelas bahkan bisa dikatakan hingga sampai saat
ini.
Detik demi detik waktu itu masih bisa diceritakan kembali.
Dia tidak akan pernah bisa melupakan kejadian tersebut.
****
Girah yang baru saja bangun dari tempat tidurnya segera
bergegas keluar kamar saat tahu waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi. Tidak
biasanya dia terbangun kesiangan.
Cuaca dingin membawanya untuk rebahan sejenak dan terlelap.
Padahal setelah salat subuh tadi seperti biasa Girah langsung
bergegas untuk melakukan pekerjaan dapur sebelum melakukan perawatan pada
ibunya.
Girah merasa heran ketika melihat Sarmini yang sudah
terbangun mendahului dirinya. Adiknya itu ternyata telah melakukan semua
pekerjaan di dapur termasuk juga memasak.
Sarmini juga berkata bahwa dia sudah menyuapi ibu mereka
serta mengganti pakaiannya.
Mendengar hal tersebut tentu saja Girah sangat bahagia
meskipun merasa ada yang aneh atas perubahan adiknya yang pemalas, tetapi
baginya itu adalah awal hari yang baik bagi adiknya.
Saat Girah melakukan pengecekan ternyata Sarmini benar-benar
sudah melakukan semua pekerjaan rumah yang biasanya dia kerjakan selama ini,
tak satu pun yang tersisa semua tampak bersih dan rapi.
Memang sejak kematian ayahnya beberapa tahun lalu kini Girah
dan Sarmini yang harus merawat ibu mereka yang masih berjuang melawan penyakit
diabetes yang membuatnya tidak bisa lagi bangun dari tempat tidur.
****
Girah sendiri menjadi buruh di pabrik rokok yang kebetulan
hari itu semua karyawan diliburkan.
Girah sendiri kurang paham saat pihak pabrik tak menjelaskan
alasan tentang libur di hari itu.
Sedangkan Sarmini yang telah tamat SMEA ikut membantu dengan
bekerja di sebuah kedai minuman dengan jam kerja dari pukul 13.00 hingga 20.00.
Biasanya saat siang hari ketika ibunya sendirian mereka
meminta tolong pada Bu Sekar untuk menemani atau sekedar menjenguk.
****
Singkat cerita, setelah
semua pekerjaan rumah beres.
Sarmini pun mengajak ibunya mengobrol sambil bercanda.
Namun, tidak begitu lama canda mereka terhenti ketika Girah
yang ada di dapur memecahkan piring ketika hendak sarapan.
Prang!
Entah kenapa piring yang tidak retak sedikit pun itu mendadak
pecah di tangannya. Beruntung tidak ada luka pada jarinya.
Sarmini langsung membersihkan beling yang berserakan,
sementara kakaknya yang masih kumal disuruhnya mandi.
****
Usai mandi serta
berganti pakaian Girah menemani ibunya di kamar.
Tidak berselang lama Sarmini datang sambil membawa kemeja
putih miliknya. Sarmini bertanya tentang kemeja tersebut apakah bagus jika ia
memakainya, kalau memang cocok, dia ingin memakai kemeja tersebut untuk pergi
bersama temannya seusai kerja nanti.
Girah mengiyakan kalau kemeja putih itu memang sangat cocok
dan kemudian memberi izin sambil tersenyum melihat adiknya yang tampak
semringah.
Sebenarnya ada yang mengganjal di hati kecil Girah. Ada
firasat tidak jelas yang ia rasakan.
****
Sejenak kemudian.
Girah melihat ibunya yang kesulitan berbicara seperti gusar
dan gelisah. Dengan kondisi yang seperti itu membuat ibunya semakin sulit untuk
berbicara.
Girah mencoba untuk menenangkan ibunya serta bertanya apa
yang dirasakan, tapi bukannya bicara, ibunya malah terus menggerak-gerakkan
kepala dan bibirnya tampak bergetar. Kondisi seperti itu jarang dijumpai Girah,
kecuali jika ibunya sedang drop, tapi jelas semua dalam keadaan baik-baik saja.
Pada saat Girah hendak memanggil Sarmini terdengar suara
sepeda motor berhenti di halaman rumah.
Brumm.
Tin!
Disusul kemudian suara Sarmini yang berpamitan untuk pergi
keluar sekaligus bekerja.
“Mbak, aku pamit, ya!”
Sepertinya Sarmini sudah dijemput oleh teman-temannya.
Tidak lupa Girah pun menyuruh Sarmini untuk berpamitan
terlebih dahulu pada ibu mereka.
“Pamit dulu sama ibu, Sarmini!” balas Girah dari dalam kamar
ibunya.
Akan tetapi, karena terburu-buru Sarmini minta Girah untuk
mengizinkannya.
Merasa ada yang tidak beres dengan sikap sang adik, Girah
lantas bangkit keluar untuk menemuinya.
Ternyata Sarmini sudah duduk dibonceng temannya yang kemudian
setengah berteriak Girah memberi pesan untuk tidak pulang terlalu malam
maksimal sampai jam 23.00 saja.
“Jangan pulang terlalu malam!”
Namun, lagi-lagi Sarmini tidak menghiraukan perkataannya dan
hanya melambaikan tangan.
BERSAMBUNG KE PART 2
No comments:
Post a Comment