Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

DENDAM ARWAH SANG JANDA BAGIAN 6

 EPISODE 6

Tadi suaminya berpamitan untuk menebang beberapa pohon kelapa di luar kota. Suami Mbak Ning memang berprofesi sebagai penebang sekaligus penjual kayu, khususnya kayu gelugu atau batang kelapa. Sang suami mengatakan kalau ada pohon kelapa tua yang tumbuh bagus. Daripada pohon itu dibeli orang lain maka suami Mbak Ning lebih dulu menemui pemilik pohon.


****

Mbak Ning melihat ke arah jam dinding, sudah pukul 15.00, tapi suaminya belum pulang juga, mungkin banyak sekali pohon yang harus dipotong. Dia pun segera merampungkan masakannya, ia berharap ketika suaminya pulang masakan sudah jadi.

Mbak Neng seperti merasakan mual yang luar biasa, bukan karena ia sedang hamil atau tidak enak badan, mual itu ia rasakan setelah mencicipi masakannya sendiri. Masakan itu ia rasakan sangat amis melebihi amisnya ikan laut, amis benar-benar amis, layaknya darah.

Bersamaan dengan itu burung kedasih kembali berkicau.

****

Di tempat kerjanya.

Suami Mbak Ning tersenyum girang. Bagaimana tidak, pohon-pohon kelapa yang ia tebang benar-benar berumur tua. Seratnya sudah sangat menghitam. Terbayang berapa keuntungan yang akan ia dapatkan.

Pekerjaannya menyisakan satu pohon lagi, pohon itu tumbuhnya tegak lurus, benar-benar istimewa.

Suami Mbak Ning beserta dua orang pembantunya pun bersiap dengan tali tambangnya.

Melihat kedua orang yang membantunya sudah terlihat loyo, suami Mbak Ning pun tampak mencak-mencak.

Dengan kasar ia ambil alih gergaji mesin yang sudah dipegang pembantunya. Di sini terlihatlah bahwa suami Mbak Ning memang sangat profesional di bidangnya.

Ngengggg! Ngenggg!

Pohon pun roboh tepat di tempat yang sudah diperkirakan.

Bruk!

Suami Mbak Ning sudah mulai memotong kayu.

Ketika serbuk-sebuk kayu yang berhamburan itu ia lihat sebagai darah yang menyembur, ia matikan mesin gergajinya.

Ia pandangi serbuk kayu dari gergajiannya itu.

Kedua pembantunya menanyakan dengan sangat keheranan.

“Ada apa, Mas?”

Suami Mbak Ning tidak menghiraukan pertanyaannya itu, ia kembali menghidupkan mesin gergajinya. Namun, lagi-lagi suami Mbak Ning melihat darah menyembur-nyembur. Dari sana terlintaslah di benaknya saat ia menusuk pinggang Indri lalu setelahnya ia menyaksikan sendiri bagaimana si gondrong dengan tanpa ampun menggorok leher Indri.

Bisikan lembut tiba-tiba menusuk telinganya.

Suami Mbak Ning tiba-tiba hilang kesadaran. Ia angkat gergaji yang masih menyala itu tinggi-tinggi. Kedua pembantunya belum mengerti apa yang akan dilakukan.

Mereka bahkan tidak mengira bahwa juragannya akan melakukan tindakan konyol yang tidak masuk akal.

Gergaji itu dibenamkan sendiri. Sepertiga itu pula isi perut suami Mbak Ning ini berhamburan keluar.

Tidak ada pekik atau teriakan kesakitan. Yang ada hanya tubuh dengan luka lebar bermandikan darah.  Mata itu melotot lalu diam untuk selamanya.

Satu nyawa lunas telah dibayarkan.

****

Malam berkabut disertai hujan menyertai perjalanan seorang lelaki bersama truknya.

Si lelaki itu adalah suami Mbak Menur. Ketika itu ia sudah sampai ke tempat tujuan dan sudah beranjak pulang.

Kernet di sampingnya dengan santai bercerita apa saja sembari tak lupa menghisap rokoknya dalam-dalam. Si kernet memang sering kali menemani suami Mbak Menur mengirim barang dan kebiasaannya adalah bercerita apa pun agar suami Mbak Menur itu tidak mengantuk.

Suami Mbak Menur itu beberapa kali oleng membawa kendaraannya.

“Santai saja, Bro. Aman,” jawab suami Mbak Menur.

Suami Mbak menur memang bukan tipikal sopir yang mudah mengantuk, tapi malam itu konsentrasinya agak terganggu, ia masih kepikiran HP milik istrinya.

Bukan perkara Mbak Menur minta dibelikan HP baru, tapi foto-foto dalam galerinya itulah yang mengganggu pikirannya, apalagi bayang-bayang Indri semakin kuat mengacak-acak alam sadarnya.

Dalam lamunannya itu tanpa sadar suami Mbak Menur melihat Indri dengan wajah berlumur darah menempel di dinding kaca. Darah Indri yang menyembur deras dari lehernya.

Akibatnya ia tidak bisa melihat jalan. Suami Mbak Menur panik dibuatnya. Ia tidak bisa menguasai kemudi. Truk tronton itu pun kembali oleng.

Sang kernet yang menyadari nyawanya terancam tanpa pikir panjang membuka pintu dan meloncat keluar.

Truk tronton yang terkendalinya menerobos pagar batas lalu terjun bebas ke jurang di pinggir jalan.

Suara berdegup terdengar keras menggelegar.

Tubuh suami Mbak Menur itu pun hancur bersama kepingan truk.

****

Sebuah umpatan keluar dari mulut seorang laki-laki gondrong.

“Dancok!”

“Kamu sudah tidak waras, ha!”

Umpatan itu rupanya ditujukan pada seorang laki-laki yang hendak kabur dari sebuah garasi.

Ketika pintu garasi dikunci laki-laki yang memiliki codet di pipinya itu terpaksa berdiri menantang. Ia mengaku salah karena ikut terlibat dalam pembunuhan itu dan tekadnya benar-benar bulat untuk menyerahkan diri.

Rupanya niatan itu sangat ditentang oleh si gondrong, ialah pelaku utama pembunuhan itu.

Si gondrong yang telah tega menggorok leher Indri, kini kedua laki-laki itu saling berhadapan.

Si gondrong membawa parang, sedangkan si codet mengambil kunci inggris untuk melawan.

Perkelahian pun tidak terelakkan.

Si gondrong dengan membabi buta mengayunkan parangnya.

Si Codet yang tak lain adalah sahabatnya sendiri menangkis atau menghindar dari sabetan parang.

Sekali dua kali si codet berhasil menghindar, tapi sabetan ketiga, keempat, dan seterusnya, tetap saja mengenainya dengan telak.

Tubuh si codet berdarah-darah terkena sabetan parang si gondrong.

Terdengar gaduh di garasi rumah si codet yang beberapa malam lalu memperbaiki motor itu.

Ia melempar apa saja supaya bisa melukai atau minimal menjatuhkan parang yang dibawa si gondrong.

Sebuah tindakan si codet justru membuatnya nyaris tanpa perlawanan.

Tapi Tuhan berkata lain, si gondrong yang tengah mengayunkan parangnya terpeleset tumpahan oli saat mereka saling berkelahi.

Si gondrong pun jatuh tertelungkup.

Bruk!

Parang di tangannya terlepas.

Kelontang!

Melihat itu si codet mendapat angin segar. Dengan cepat parang ia ambil lalu tampak pikir panjang ia bacokan berulang kali di kepala si gondrong, akibatnya kepala itu pun terbelah dengan otak dan darah mengenang menjadi satu.

Tiga nyawa telah membayar tunai.

****

Melalui si codet kasus pembunuhan itu pun terungkap.

Bukan itu saja, kasus curanmor yang ia lakukan pun pada akhirnya berhasil diungkap, kini ia telah membayar apa yang mereka lakukan terhadap Indri.

Ia sendiri merasa sangat bersalah karena ia yang dipaksa oleh ketiga temannya untuk menjual sepeda motor milik Indri.

Di balik jeruji besi ia sangat menyesal, bahkan andainya Indri menginginkan kematiannya ia akan dengan senang hati menyerahkan nyawanya.

Sosok Indri dengan penampakan berdarah-darah itu memang masih sering menghantui codet, kenyataan itulah yang membuatnya semakin menyesal akan perbuatannya selama ini.

Dalam hati ia berjanji, ia akan berubah, ia akan kembali ke jalan yang benar, ia harus meniti jalan pulang, ia akan pulang dengan niatan yang sungguh-sungguh.

“Ya, Allah. Maafkanlah kesalahan-kesalahan ini. Aku sungguh-sungguh bertobat padamu ya, Allah. Kelak kalau engkau memanggilku pulang setidaknya telah berkurang dosa-dosaku ya, Allah.” Doa tulus dari lubuk hati yang terdalam mengalir.

Tak lupa ia juga mendoakan Indri serta ketika temannya itu agar dosa-dosa mereka juga diampuni.

****

Firasat yang dirasakan Pak Harsono dan istrinya rupanya juga dirasakan oleh Mbak Menur, Mbak Ning, dan istri si gondrong.

Mereka pun masing-masing merasakan firasat yang berbeda, tapi ujung pangkalnya adalah sama, kematian suami mereka.

Bedanya dengan Indri adalah suami Indri meninggal dengan membawa nama harum.

Sedangkan suami Mbak Menur, Mbak Ning, dan istri si gondrong, mereka meninggal dengan berlumur dosa hitam.

Kini mereka pun menjadi janda, padahal selama ini mereka selalu mengolok-olok Indri sebagai janda gatal, murahan, dan sebagainya.

Keadaan itu kini sama. Entah bagaimana mereka akan menanggung malu atas perbuatan suami mereka.

****

Di rumah Pak Harsono.

Air mata Pak Harsono masih terus mengalir meski tidak seperti hari-hari kemarin.

“Maafkan aku, Gusti. Maafkan aku.”  Pak Harsono berucap doa.

“Anakku, kini dendamu sudah terbayar lunas. Nyawa sudah dibayar nyawa. Pulanglah ke alam kelanggengan, Indri.”

Pak Harsono pun menutup album foto kenangan Indri semasa hidup.

TAMAT.


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search