DENDAM ARWAH SANG JANDA BAGIAN 5
EPISODE 5
Setelah berhasil mencapai pintu keluar sesaat ia mengatur
nafas. Ia pandangi jam dinding yang menempel sudah 23.30.
Ia teringat seorang perempuan yang melambaikan tangannya, si
lelaki pun bergegas keluar rumah.
“Mungkin jam bergantian jaga,” pikirnya.
Si lelaki tampak kecewa karena perempuan yang melambaikan
tangan itu sudah tidak ada lagi di sana.
Lelaki itu menyeberang ke minimarket di seberang rumahnya.
****
Tidak seberapa lama si lelaki pun terlihat membawa sebuah
bungkusan.
Si lelaki pun kembali pulang, ia pasang lampu yang baru saja
dibelinya, dan lampu bekerja sebagaimana mestinya.
Si lelaki tampak memikirkan sesuatu. Benar saja rupanya ia
masih penasaran dengan perempuan yang melambaikan tangan itu.
Si lelaki pun kembali mengintip, kali ini si lelaki terlanjur
kaget sampai terdorong ke belakang.
Dari lubang kunci ia kembali melihat perempuan itu, perempuan
yang sama melambaikan tangan padanya.
Menyadari ada yang tidak wajar, buru-buru mengambil ponsel di
sakunya. Ia akan menghubungi seseorang, namun orang yang dihubungi itu rupanya
tidak mengangkat telepon.
Si lelaki pun beranjak dari garasi.
Baru selangkah hendak keluar, lampu garasi yang baru saja ia
beli tiba-tiba kembali meletup dan pecah berantakan.
Dar!
Si lelaki tidak lagi memedulikan lampu yang berantakan. Ia
tetap saja melangkah keluar.
Pada saat yang bersamaan dari dalam garasi terdengar tangis
seorang perempuan.
“Hu hu hu.”
Rintihan itu sangat jelas.
“Hu hu hu.”
Bak menusuk lubang telinga mendengar tangis itu, si lelaki
bukannya lari, ia justru tampak berlutut. Ia memohon-mohon ampun, ia mengaku
salah, namun tangisan itu belum juga berhenti. Tangis itu justru semakin
menyayat hati.
Si lelaki terus saja memohon ampun. Ia berjanji akan
menyerahkan diri, tapi disusul sebuah ancaman yang sangat menakutkan.
Si lelaki masih terus memohon-mohon, dia mengatakan kalau dia
tidak ikut membunuh.
Bersamaan dengan itu sesosok perempuan dengan darah
berlumuran terlihat berdiri tepat di hadapan si lelaki. Perempuan itu memang
hanya terlihat sekejap, tapi si lelaki sangat paham perempuan itu hendak menuntut
balas.
Si lelaki meratap-ratap, hatinya mengatakan besok akan
menyerahkan diri, dengan begitu ia berharap hidupnya kembali tenang. Ia memang
bersalah dan kesalahan itu akan ia tebus.
****
Sementara itu di tempat
lain.
“Semalam aku mimpi, Mas. Rambut panjangmu tiba-tiba saja terputus,”
kata seorang perempuan saat bersama suaminya.
Si suami tertawa terkekeh. Ia kemudian melepas ikatan pada
rambutnya lalu pamer rambutnya yang gondrong pada istrinya. Rambutnya suami
mungkin hampir sama panjangnya dengan rambut istrinya.
“Mas, beberapa hari ini aku mencium aroma yang tak sedap di
dalam rumah kita, seperti bau amis begitu dan bau itu muncul sejak Indri
ditemukan meninggal, Mas.”
Mendengar nama Indri disebut oleh sang istri si suami pun
terkejut apalagi ketika ia pandangi wajah istrinya yang baginya tampak seperti
sedang menyeringai. Wajah itu memang benar-benar seperti Indri, namun ia
mencoba tenang, ia atur napas demikian rupa sambil menggulung rambutnya.
Percakapan itu terhenti ketika tiba-tiba suami merasakan
sebuah gumpalan di tangannya, gumpalan itu tidak lain adalah rambutnya sendiri,
dan yang lebih mengejutkan adalah rambut itu seperti basah oleh sesuatu.
Si suami mencium rambut yang berada di tangannya. Betapa
terkejutnya si suami ketika hidungnya menangkap bau yang sangat anyir, bau
darah!
Si istri yang melihat tentu saja terheran-heran. Ia
menanyakan pada suaminya. “Rambutmu merah, Mas.”
Si suami menggeleng.
Si istri yang tidak puas dengan jawaban itu segera memeriksa
kepala suaminya. Ia periksa dari ujung kuping kiri sampai kuping kanan, tapi
tidak ada bekas luka sedikit pun pada kepala suaminya, hanya pada saat itulah
ia mencium sebuah aroma yang ia laporkan pada suaminya barusan.
Si suami berambut gondrong itu tidak menghiraukan istrinya, kemudian
sibuk membaca pesan yang masuk di ponselnya.
Merah pada muka si gondrong membaca pesan itu.
****
Juga di tempat lain.
“Pak, aku kok mimpi kamu menyeberang laut dan kapal yang kamu
tumpangi itu tenggelam, Pak.”
Sore itu Mbak Menur tampak bermanja dengan suaminya.
Si suami hanya diam. Baginya mimpi itu bukanlah hal yang aneh
karena ia selalu menyeberang pulau di setiap waktu.
“Pak, belikan aku HP dong, Pak.”
Sebuah permintaan tiba-tiba tercetus oleh Mbak Menur.
Si suami yang baru pulang dari luar kota itu tampak tidak
senang.
Baru beberapa bulan lalu Mbak Menur minta dibelikan HP baru,
sekarang sudah minta lagi, apalagi apa yang dipakai Mbak Menur termasuk HP yang
memiliki spesifikasi tinggi mahal.
Suami Mbak Menur memarahi istrinya ketika Mbak Menur kemudian
melanjutkan berkata.
“Aku takut, Pak. Foto-foto jenazah Indri tidak bisa kuhapus
dari galeri. Aku takut dia mengganggu lagi.”
Ketika Mbak Menur menyebut nama itu si suami merasa bergetar.
Ada rasa yang tidak nyaman, lalu dengan cepat ia akan menjual HP istrinya untuk
dibelikan yang baru.
Mbak Menur pun tersenyum lebar.
Mbak Menur yang dijanjikan akan diberikan HP baru pun bisa
tidur dengan nyenyak.
Si suami memandang istrinya yang tambun itu. Ada semacam
pikiran yang gelisah ia rasakan, bingung harus berbuat apa.
Ia pun mengambil ponselnya lalu lewat pesan ia menanyakan
pada seseorang.
Kini suami Mbak Menur semakin gelisah. Ia terlanjur janji
untuk memberikan HP baru. Mana ia sendiri sedang tidak pegang uang. Pusing kini
ia rasakan.
Ia Letakkan ponselnya, ia teringat keluh Mbak Menur barusan.
Di galerinya terdapat foto-foto Indri.
Beberapa saat setelah ditemukan, suami Mbak Menur lantas
membuka HP istrinya.
Itu benar saja, di galerinya terdapat beberapa foto jenazah
Indri.
Tanpa membuang waktu ia pilih semua foto yang akan ia hapus lalu
ia tekan tombol hapus di ponsel itu.
Suami Mbak Menur tampak lega ketika foto-foto itu berhasil ia
hapus, tapi suami Mbak Menur itu dibuat terkejut ketika foto-foto di galeri itu
muncul kembali.
Ia pun menghapus kembali foto-foto itu, namun foto-foto itu
lagi-lagi muncul di galeri.
Berbagai cara ia lakukan supaya foto-foto itu bisa dihapus
secara permanen, namun yang terjadi justru sebuah foto tiba-tiba tampak seperti
sebuah video dengan luka menghangat di leher dan tiba-tiba menyeringnya. Matanya
tambah melotot ke arah suami Mbak Menur.
Saking takutnya suami Mbak Menur melempar HP begitu saja.
Prak!
Wajahnya tampak pucat pasi, tangannya gemetaran, ia masih
tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Namun, sangat jelas foto itu
tiba-tiba hidup.
****
Di tempat lain.
“Aku berangkat dulu. Sudah kesiangan!”
Pagi sekali suaminya berpamitan. Ada rasa gugup dan gelisah
bila dilihat pada raut mukanya.
Pada saat itu terdengar pula burung kedasih berkicau tanpa
henti.
“Aku khawatir lho, Mas.” Mbak Ning merajuk. Ia melanjutkan kalau
semalam juga bermimpi hal yang sama yakni suaminya menyeberang laut, tapi di
tengah-tengah kapal yang ditumpanginya tenggelam.
Suami Mbak Ning tidak menghiraukan ucapan istrinya. Sepeda
motor buru-buru ia pacu, tujuannya tidak lain pangkalan truk milik bosnya.
Burung kedasih kembali berkicau lantang.
****
Mbak Ning sedang merajang sayuran.
Entah melamun, entah bagaimana tiba-tiba pisau yang ia
gunakan mengiris jari telunjuk kirinya.
“Aduh!”
Luka itu tidak terlalu dalam, makanya dengan tisu Mbak Ning menutup
luka itu lalu kembali melakukan pekerjaan yang sempat tertunda.
Mbak Ning tiba-tiba mencium aroma yang sangat amis.
Ia mengira dari jari telunjuknya yang terluka, tapi bau itu
tidak berasal dari luka telunjuknya.
Perasaannya menjadi tidak karuan. Ada semacam rasa waswas dan
gelisah. Entah mengapa pikiran tiba-tiba tertuju pada suaminya.
BERSAMBUNG KE EPISODE 6
No comments:
Post a Comment