DENDAM ARWAH SANG JANDA BAGIAN 4
EPISODE 4
Sang suami terlihat gelisah. Berkali-kali ia pandang istrinya
yang tergeletak di lantai itu.
Sang suami kemudian duduk di sebelah Mbak Ning. Ia menutupi
mukanya dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba ia melihat ada darah yang merembes dari lantai kamarnya.
Mula-mula darah itu terlihat tipis seperti bercak, namun
semakin ia pandangi bercak kemerahan itu pun semakin mengental dan berubah
menjadi sebuah genangan darah.
Suami Mbak Ning ketakutan, ia melompat ke atas ranjang, namun
seprei di ranjang itu kini pun sudah basah oleh darah.
Darah bukan hanya membasahi seprei, darah itu terlihat di
mana-mana.
****
Di tempat lain.
Di sebuah kamar yang tidak terlalu luas, Pak Harsono dan istrinya
duduk termenung.
Air mata mereka terus berlinang apalagi sejak sore tadi Inggar
cucu mereka seperti menanyakan keberadaan ibunya.
Tentu saja hati Pak Harsono terasa teriris.
Memang benar jodoh, kematian, kelahiran, rezeki, semua sudah
Allah yang atur demikian rupa, tapi air mata Pak Harsono terus berlinang. Kematian
dengan cara yang sadis yang menimpa anaknya tidak pernah ia bayangkan.
Mimpinya tentang hajatan pengantin itu rupanya adalah para
pelayat yang datang silih berganti memberikan ucapan bela sungkawa.
Pengajian yang beberapa hari lalu diinginkan Indri
benar-benar terjadi.
Bukan cuma menangis sembari mengusap-usap bening cucunya,
dulu Ayah Inggar meninggal ketika Inggar berusia 6 bulan karena malaria di
tempat tugas, Papua. Ketika itu burung kedasih juga berkicau. Pak Harsono juga
bermimpi giginya tanggal.
Rupanya tak lama setelah itu komandan menantunya datang
sendiri ke rumah dan mengabarkan kalau menantunya meninggal karena sakit. Inggar
kembali kehilangan orang tuanya waktu itu dan kali ini giliran ibunya yang pergi untuk
selama-lamanya, bahkan dengan cara yang teramat sadis, cara yang benar-benar
tidak bisa Pak Harsono terima, kematian yang membuat Pak Harsono harus ikut
turun tangan.
Memang bukan beliau sendiri yang akan mengusut kematian itu,
tapi juga dari pihak berwajib yang menangani, namun Pak Harsono memiliki cara
tersendiri, cara yang membuat siapa pun yang terlibat akan mati dengan perlahan,
dan lebih mengerikan.
Perihal kematian Indri yang sangat tragis memang telah
menyebar hingga ke kampung-kampung sebelah.
Bukan itu saja, arwah Indri dikabarkan telah berkeliaran
untuk menemukan orang yang membunuhnya.
Sementara itu, pihak kepolisian masih kesulitan untuk
mengungkap kasus pembunuhan itu. Hujan deras rupanya telah mengaburkan petunjuk-petunjuk
yang bisa digunakan untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya. Yang pasti motif
sementara dari pembunuhan itu adalah perampokan.
Polisi masih mencari-cari di mana sepeda motor yang dipakai
Indri terakhir kali seperti yang disampaikan oleh Pak Harsono.
Polisi berharap ketika sepeda motor itu ketemu, maka dari
sanalah dia bisa mencari petunjuk, siapa penerima atau penadah sepeda motor itu.
****
Pagi itu.
Warung pecel Mbak Cenil sudah ramai seperti biasanya, maklum
warung itu memang menjadi tempat favorit bagi ibu-ibu untuk bergunjing, padahal
pemiliknya sendiri sebenarnya merasa risi.
Mbak Cenil membiarkan saja karena mereka adalah para
pelanggan setianya. Tanpa mereka, dagangannya tidak akan selaris ini. Jadi,
bilamana tidak benar-benar sangat keterlaluan Mbak Cenil memang akan membiarkan
mereka.
Pagi itu Mbak Menur bercerita dengan berapi-api. Beberapa ibu
yang berkumpul mendengarkan dengan sungguh-sungguh apalagi Yatun yang ikut
terlibat dalam cerita Mbak Menur.
Mendengar penuturan tetangganya itu hati Yatun pun ikut
merasakan waswas. Bulu tengkuknya meremang.
Mbak Ning yang saat itu baru saja berbelanja sayur ikut
nimbrung di sana. Setelah Mbak Menur menceritakan kejadian yang dialaminya.
Kini giliran ia berapi-api membagikan kisah seramnya kalau Mbak Menur
menceritakan secara apa adanya.
Lain halnya dengan mbak Ning yang ditambah bumbu di sana-sini.
Sementara yang lainnya mendengarkan.
“Memangnya kalian apa tidak diganggu sama arwah Indri itu?”
Yang ditanya hanya saling pandang.
Mereka memang tidak merasa diganggu atau melihat penampakan
Indri. Meski begitu mendengar cerita Mbak Menur dan Mbak Ning ada rasa takut
juga di hati mereka.
“Sudah ada kabar belum, ya? Ini sudah sepekan lebih, kok
pembunuhnya belum tertangkap?”
“Halah, Mbak. Ben! Biarkan saja! Janda seperti Indri itu
memang layak mati kok!” Mbak Neng menjawab dengan nada yang tidak enak.
Mbak Cenil tampak tidak senang dengan jawaban itu, ia
mengatakan bahwa bagaimanapun Indri sudah almarhum tidak etis kalau
membicarakan kesalahan-kesalahan atau keburukannya.
Balasan dari Mbak Cenil ini justru mematik marah dari Mbak Ning.
Dengan penuh emosi Mbak Ning justru mengatakan, “Mbak Cenil,
tidak usah membela Indri! Apa karena berstatus yang sama sehingga apa pun yang
dilakukan Indri selalu Mbak Cenil bela, he?”
“Yang namanya janda semua sama gatal!”
Semula perdebatan yang mulanya biasa saja, tiba-tiba berubah
menjadi pertengkaran yang panas dan ramai.
Mbak Cenil tentu saja tidak terima dikatakan sebagai wanita
gatal. Ia mengakui kalau ia memang seorang janda, tapi sama halnya seperti
Indri yang menjadi janda karena ditinggal mati suaminya, dan ia bukanlah wanita
gatal seperti yang dituduhkan Mbak Ning.
Kata-kata kotor dan kasar pun tidak terelakkan, beruntungnya
para pelanggan yang sedang jajan di warung itu dengan sigap melerai pertengkaran
yang hampir saja berubah menjadi sebuah perkelahian.
Mbak Ning pun pulang dengan hati dongkol.
Mukanya ditekuk masam, ia masih tidak bisa mengerti bagaimana
seorang Cenil membela Indri seperti itu. Dalam hati ia menyumpah semoga
dagangan si Cenil itu menjadi tidak laku.
“Kalau tidak laku bagaimana? Bisa ia menyekolahkan anaknya? Paling-paling
jadi pengemis!”
****
Pukul 22.00 malam.
Seorang laki-laki sedang sibuk membongkar sebuah sepeda motor.
Sesekali laki-laki itu menoleh ke kanan dan kiri.
Tampak sangat tidak tenang padahal ia membongkar sepeda motor
itu di dalam garasi rumahnya yang tertutup. Setiap kali ada kendaraan lewat ia
selalu menyempatkan mengintip dari lubang kunci.
Setelah beberapa saat lamanya sepeda motor itu pun tidak
berwujud sebagai sebuah kendaraan yang utuh lagi, yang terlihat kini menjadi
bagian per bagian.
Si lelaki buru-buru membereskan bagian-bagian sepeda motor
itu, mengemasnya dalam kardus.
Si lelaki sepertinya tidak senang hati dengan pekerjaan itu.
Entah berkali-kali ia seperti memohon maaf.
Selesai dengan pekerjaannya, si lelaki pun beranjak pergi. Sebelum
pergi ia masih menyempatkan diri untuk mengintip dari lubang kunci garasi. Entah
apa yang ia lakukan, namun sebentar-sebentar ia memang melakukan hal itu.
Pada saat itulah terlihat olehnya seorang perempuan sedang
berdiri.
Rumah si lelaki itu memang hanya beberapa meter saja dari
tepi jalan. Di seberang rumahnya terdapat sebuah minimarket.
Ia kembali mencermati perempuan yang sedang berdiri itu. Si
lelaki tampak tertegun ketika tiap kali ia mengintip si perempuan selalu melambaikan
tangan padanya.
Hatinya berdesir, ia seperti mengenali perempuan itu.
Ia hendak keluar untuk memastikan siapa yang berdiri di luar
sana, namun baru saja melangkah lampu yang berada di garasi tiba-tiba meledak.
Dar!
Suaranya yang keras membuat si lelaki terkejut bukan main.
Ia mengumpat-umpat sendiri.
“Dancok!”
Sejenak dalam gelap itu ia tidak bisa melihat apa-apa.
Si lelaki semakin terkejut ketika di telinganya terdengar
lembut sebuah bisikan.
Mendengar suara itu, meski dengan menabrak-nabrak kendaraan
lain yang berada di garasi ia pun berusaha menggapai pintu.
Jantungnya berdegup kencang.
BERSAMBUNG KE EPISODE 5
No comments:
Post a Comment