DENDAM ARWAH SANG JANDA BAGIAN 2
EPISODE 2
Seorang petugas
berpakaian dinas tampak menerangkan kepada orang-orang yang akan lewat jembatan
penghubung desa termasuk Indri.
Bahwa untuk sementara jembatan tidak boleh dilewati. Dua hari yang lalu setelah hujan deras fondasinya terkikis air. Cukup membahayakan bagi para pengguna.
Dengan sangat terpaksa Indri dan orang-orang pun harus
memutar apalagi jalan memutar untuk menuju kampung pelanggannya itu terbilang
jauh, hampir 7 KM. Maka melajulah kembali sepeda motor yang dikendarai Indri
menyusuri jalan aspal yang terkadang nyaris tidak berbentuk, berlubang di
sana-sini seperti manisan gula kacang.
****
Begitu sampai di rumah
pelanggannya.
Pesanan pun diterima dengan baik. Indri tidak berlama-lama di
rumah pelanggannya itu. Setelah pembayaran diterima Indri pun berpamitan.
“Aku pulang dulu, ya? Entah besok aku masih bisa kirim
pesanan apa enggak,” kata Indri dengan maksud yang tidak dimengerti
pelanggannya.
“Memangnya Mbak Indri mau ke mana?” tanya si pelanggan.
Indri tidak menjawab pertanyaan itu. Ia terus saja berpamitan.
****
Perjalanan pulang.
Waktu itu hujan turun dengan derasnya. Tidak mau basah kuyup,
Indri pun menghentikan sepeda motornya di sebuah gubuk, mungkin gubuk milik
petani.
Jalan memutar yang Indra lalui itu memang jauh dari
perkampungan, apalagi jalan yang ia lalui tergolong rusak parah. Meski begitu jalan
itulah yang terdekat untuk menuju rumah pelanggannya.
Hujan masih sangat deras, sementara petir menggelegar.
Duar!
****
10 menit berlalu.
Hujan tidak kunjung reda. Pada saat itulah dua sepeda motor
berhenti tepat di depan gubuk tempat Indri berteduh.
Empat orang turun dan langsung berteduh.
Indri tidak berpikir apa-apa selain bahwa mereka juga harus
berteduh dari guyuran hujan.
Indri menyapa mereka dan rupanya mereka saling mengenal,
namun pikiran Indri ternyata sangat keliru. Salah seorang dari mereka tiba-tiba
mengeluarkan sebuah pisau.
Pisau itu langsung ditempelkan di leher Indri.
Indri tidak berkutik, namun ia mengatakan kalau sampai mereka
berani macam-macam akan ia laporkan pada polisi, tapi sepertinya keempat orang
yang sedang dalam keadaan mabuk itu bukan saja menginginkan uang, lebih dari
itu, mereka ingin tubuh gemulai Indri.
Maka dengan beringas mereka mulai menggerayangi tubuh Indri.
Sadar bahwa kehormatannya yang terancam, Indri pun berontak.
Tanpa rasa takut sedikit pun ia pukul wajah lelaki yang sudah
berada di atasnya.
Buk!
Pukulan itu tidak keras memang, namun karena tepat mengenai
mata si lelaki tak urung si lelaki itu pun mengerang.
“Akhhh!”
Kesempatan itu berhasil dimanfaatkan untuk meloloskan diri.
Indri berlari sambil
berteriak sekeras-kerasnya, namun teriakan yang keras itu rupanya masih kalah
oleh suara gemuruh dari derasnya hujan.
Keempat lelaki itu tidak ingin buruannya kabur begitu saja,
apalagi Indri jelas-jelas mengenali mereka. Dua orang di antara mereka pun
mengejar. Masing-masing membawa sebuah pisau.
Indri berlari dan terus berlari sambil berteriak minta tolong,
namun naas memang harus menimpa. Di sebuah tikungan seorang di antara lelaki
itu berhasil mengejarnya.
Lelaki yang kesetanan itu menampar wajah Indri.
Plak!
Darah seketika muncul, tapi Indri tak menyerah. Ia masih bisa
berlari meski harus dengan keadaan terluka.
“Kejar! Kejar perempuan itu!”
Ketika napasnya hampir tidak kuat, salah satu lelaki itu
mendekati Indri dari semak-semak yang berada di pinggir jalan.
Dua laki-laki lain tampak masih berusaha untuk mengejar.
Di lain pihak, Indri tidak pernah menyerah. Ia manfaatkan
kuku jarinya yang sedikit panjang untuk mencoba mengatasi.
Jleb!
Hasilnya sangat efektif, lelaki itu pun mengerang.
“Akhh!”
Kawan-kawan si lelaki yang dicolok matanya itu mengatakan
untuk menghabisi Indri saja lalu mengambil barangnya.
Mereka tentu takut bila aksinya ketahuan.
Seorang dari mereka yang berambut gondrong mengambil alih
pisau dari temannya.
Laki-laki gondrong itu pun mendekati Indri.
Melihat nyawanya terancam, Indri pun memohon iba. Ia memohon
bahwa ia masih memiliki anak kecil.
Indri mempersilakan kalau mereka mengambil uang atau sepeda
motornya asal jangan membunuhnya.
Laki-laki gondrong itu tidak peduli. Indri yang lemah dijambak
lalu dengan sadis pisau di tangan lelaki gondrong itu diarahkan ke tenggorokan
Indri.
Sret!
Luka leher itu pun menganga lebar.
Hujan deras juga petir menjadi saksi.
Lap!
Duar!
Di pinggir jalan bersemak nyawa Indri pun berpisah dengan
badan.
“Ayo kita tinggalkan tempat ini!”
Keempatnya bergegas pergi.
****
Azan magrib telah
berkumandang dan Indri belum juga pulang.
Kedua orang tuanya pun semakin resah apalagi ponsel yang
dibawa Indri tidak bisa dihubungi.
Perasaan gelisah semakin membayang ketika si pelanggan yang
ditelepon mengatakan Indri hanya sebentar di sana untuk mengantar pesanan lalu
berpamitan pulang.
Berita duka itu pun akhirnya datang juga. Jasad Indri
ditemukan oleh orang yang kebetulan sedang melintas.
Pak Harsono dan istrinya jatuh pingsan melihat keadaan
anaknya. Bagaimana mungkin seorang bisa tega membunuh anaknya seperti halnya
menyembelih seekor ayam.
Firasat itu pun benar-benar terjadi.
Air mata Pak Harsono dan istrinya harus tertumpah, hati mereka
teriris.
Sedari Indri kecil tidak sekalipun Pak Harsono dan istrinya
kasar terhadap Indri, kini bahkan Indri meninggal dengan cara yang sangat
tragis.
Kedua orang tua Indri benar-benar tidak rela dengan kematian
anaknya. Mereka tidak ikhlas. Nyawa harus dibayar nyawa!
Orang-orang di kampung tempat tinggal Indri pun berkabung.
Bendera kuning pun berkibar.
****
Beberapa hari semenjak
kepergian Indri.
Hujan masih mengguyur.
Mbak Menur sepertinya sedang gelisah di kamarnya. Ia hanya
sendiri di rumah. Suaminya yang bekerja sebagai sopir truk sedang mengirim
barang keluar kota.
Ketika jenazah Indri tiba di rumah duka, Mbak Menur memang
tidak melihat secara langsung jenazahnya Indri, tapi ia melihat foto-foto yang
dikirim orang-orang ke ponselnya. Kondisinya benar-benar membuatnya merasa
ngeri.
Mbak Menur teringat foto-foto itu sudah coba ia hapus
foto-foto, namun setelah berhasil dihapus entah bagaimana foto-foto itu kembali
muncul di galeri ponselnya.
Berkali-kali ia hapus, berkali-kali pula foto-foto itu muncul
kembali.
Ia sangat takut arwah Indri gentayangan.
Bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Sayup-sayup ia seperti
mendengar suara seorang memanggilnya. Suara itu beberapa kali terdengar
terkadang jauh, terkadang sangat dekat.
Mbak Menur segera Mbak Menutup kaca jendela.
Akan tetapi, tak lama kemudian terdengar suara ketukan.
Tok! Tok! Tok!
Mbak Menur yang ketakutan pun memberanikan diri mengintip
dari balik gorden jendelanya, namun keadaan yang gelap membuatnya tidak bisa
melihat apa-apa.
Ia masih yakin bahwa yang mengetuk kaca jendelanya adalah
setan, maka Mbak Menur pun mematikan lampu kamar dan berharap ia bisa melihat
keadaan di luar.
Klik!
Awalnya ia masih belum bisa melihat apa-apa, namun perlahan
Mbak Menur bisa melihat seseorang berdiri bahwa pohon jambu.
Ia kembali memastikan apakah orang yang sedang berdiri
membelakangi itu benar-benar adalah tetangganya.
Mbak Menur pun
memutuskan melangkah keluar kamar.
****
Mbak Menur sudah berada
di bawah pohon jambu.
Sesampainya di sana ia tidak melihat orang yang ia maksud.
Mbak Menur pun memanggil-manggil tetangganya itu, namun
sampai dua kali tidak juga segera dijawab.
Suara panggilan yang menyebut namanya itu kembali terdengar
dan membuat Mbak Menur celingukan.
“Kamu jangan bercanda loh, Yatun.” Mbak Menur pun melihat
sekitar, tapi yang ia dapatkan hanya gelap dan suasana sepi.
Tiba-tiba Mbak Menur merasakan ada tangan yang memegang bandannya.
Walaupun terlonjak saking kagetnya ia pun menoleh, tapi Mbak
Menur tidak melihat siapa pun di sana padahal ia yakin pundaknya terasa
dipegang seseorang.
Dengan bergidik Mbak Menur melangkah cepat kembali ke dalam
rumah.
BERSAMBUNG KE EPISODE 3
No comments:
Post a Comment