DENDAM ARWAH SANG JANDA BAGIAN 1
EPISODE 1
Obrolan di warung
pecel.
Warung pecel di ujung gang itu tampak lebih ramai dari
biasanya, padahal pecelnya sendiri sudah habis.
Terlihat dari beberapa pelanggan yang balik lagi setelah
pemilik warung mengatakan habis.
“Tinggal tersisa kerupuk melempem. Gratis kalau mau.”
Tentu saja kata-kata Mbak Cenil itu membuat pelanggan yang
kecewa terpaksa tersenyum.
“Mbak Cenil, kabar yang aku terima katanya Indri kemarin
kesurupan lagi?” tanya Mbak Menur, seorang perempuan dengan tubuh tambun
menanyakan sebuah berita.
Yang ditanya masih sibuk menata piring dan gelas yang baru
saja dicuci.
Karena pertanyaannya tidak segera dijawab, Mbak Menur
mengulang lagi pertanyaan yang sama.
“Benar itu, Mbak?”
“Bukan kesurupan, Mbak, tapi mengigau. La wong Mbak Indrinya
cerita sendiri sama aku kok,” jawab Mbak Cenil.
Warung pecel itu rupanya masih terlihat ramai karena mereka
sedang membicarakan seorang perempuan di kampung mereka yang bernama Indri.
Kabar yang didapat dari para istri yang berkumpul itu
mengatakan kalau Indri beberapa hari ini sering kesurupan.
Indri perempuan berumur sekitar 35 tahun berstatus janda anak
satu, ditinggal mati suaminya, dan kini tinggal bersama bapak ibunya.
Indri bukan saja menjadi bahan pembicaraan kaum istri bahkan
kaum muslimin pun sering kali membicarakannya, tentu saja karena kecantikannya
yang di atas rata-rata perempuan di kampung itu, apalagi Indri juga seorang
pedagang daging sapi di pasar yang cukup sukses.
Para istri itu tiba-tiba terdiam ketika seorang perempuan
bertubuh semampai masuk ke dalam warung, perempuan itu tidak lain adalah Indri yang
membuat para istri itu merasa cemburu.
“Pecelnya sudah habis,” kata sang penjual kepada Indri.
Dengan kecewa Indri juga akan balik badan, namun perempuan
tambun yang terlanjur penasaran mencegahnya dengan tanpa daging aling-aling.
Dia menanyakan sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah terjawab.
Mendengar pertanyaan itu Indri pun kemudian mengambil sebuah
kursi.
“Yang bilang kalau aku kesurupan itu siapa toh, Mbak? Aku itu
cuma mimpi,” jawab Indri.
“Kalau ada berita yang belum jelas tolong jangan disebarkan
dulu,” imbuhnya lagi.
Janda berparas manis itu jelas mangkel karena di setiap
tempat dia menjadi bahan pembicaraan.
Para istri yang sedang ngerumpi itu pun diam. Sebagian besar
dari mereka memang kurang menyukai Indri. Bukan karena Indri ganjen dan
sebagainya, justru sikapnya di kampung sangat sopan, bahkan semenjak kecil
orang-orang tua di kampung itu mengenal Indri sebagai gadis yang sangat santun.
Hanya saja karena kesopanannya inilah tidak sedikit membuat para lelaki yang
jatuh hati termasuk para suami mereka.
“Eh, itu kalau cuma mimpi kenapa harus teriak-teriak begitu
toh, Mbak?”
“Mimpi kok sampai jerit-jerit,” ucap satu perempuan.
“Mimpi kok ganjen!” Yang lain ikut menimpali.
Indri yang tidak mau ribut kemudian mengalah. Ia pun menceritakan
apa yang sebenarnya dialami.
Para istri itu mendengar dengan raut wajah tak percaya dan
mencibir.
“Sudah beberapa hari
ini aku seperti didatangi makhluk tinggi besar berjebah hitam. Kadang aku
sampai bingung antara nyata atau mimpi,” jawab Indri dengan tatapan kosong.
Tidak ada yang berkomentar dengan jawaban itu. Entah bila di
dalam hati, terkadang mereka lebih suka berkomentar ketika orang yang mereka
bicarakan sudah pergi.
“Entah, Mbak. Rasanya aku ingin sekali mengadakan pengajian
atau tahlilan di rumah,” kata Indri lagi.
Lagi-lagi tetap tidak ada yang berkomentar.
“Aku kangen sama Mas Noto,”
sambungnya pula. Kali ini jawaban itu terasa Mbak Menusuk. Mas Noto yang
disebut Indri adalah almarhum suaminya Indri.
Merasa tidak ada yang merespons seketika dan Indri pun
berpamitan untuk meninggalkan warung pecel itu.
Indri menjadi janda semenjak suaminya meninggal 3 tahun yang
lalu dan tidak sedikit kaum para istri yang berubah sikap terhadapnya.
Dalam hati Indri bertanya-tanya, “Apakah salah menjadi
janda.” Toh ia menjadi janda karena ditinggal mati bukan janda cerai.
Seharusnya mereka menjaga suaminya agar tidak tergoda wanita
lain.
Bahkan setelah berjualan daging, Indri pun langsung pulang,
kecuali bila ada pesanan. Tidak lain karena ia menjaga diri dari kunjungan yang
tidak benar.
Dalam perjalanan pulang dari warung pecel itu, Indri
tiba-tiba teringat beberapa bulan yang lalu ada istri tetangganya yang
tiba-tiba datang dan Mbak Menur menuduhnya berselingkuh dengan suaminya.
****
Kini menyisakan beberapa perempuan di warung pecel dan mereka
tidak melanjutkan perbincangan lebih lanjut karena dagangan Mbak Cenil sudah
habis, ia akan Mbak menutup warungnya.
Namun, di luar warung para perempuan kampung itu masih saja
membicarakan Indri.
Mbak Cenil sebenarnya merasa iba dengan Indri. Ia bisa
merasakan bagaimana kesepiannya seorang Indri, apalagi dengan sikap para istri
di kampungnya.
Mbak Cenil merasa yakin kalau Indri wanita baik-baik, tidak
seperti yang dituduhkan oleh para istri-istri selama ini.
“Semoga saja si Indri itu segera pergi dari sini! Kalau perlu
segera mati saja dia itu!” Tiba-tiba seorang dari mereka meluncur sebuah
kalimat yang sangat tidak patut diucapkan.
Mbak Cenil terpaksa membentak orang itu.
Orang yang dibentak itu tampak tidak senang, bersamaan dengan
itu pula secara tiba-tiba terdengar suara burung dara.
****
Begitu sampai di rumah
Indri mengungkapkan maksud hati pada bapaknya.
“Aku ingin sekali mengadakan pengajian, Pak.”
Keinginan itu tampaknya sudah tidak bisa lagi dicegah.
Sang bapak yang bernama Harsono menggelar napas mendengar
permintaan anaknya yang terlihat ada rasa kangen begitu mendalam pada Noto
almarhum suaminya.
Indri kemudian berdiri berjalan menuju pintu. Ia memandang
keluar dan telinganya seperti menangkap kicau burung kedasih.
Tiba-tiba seekor cecak tanpa sengaja jatuh tepat di pundaknya
dan burung kedasih itu kembali berkicau ketika ingin masuk kamar, tapi tentu
saja tidak ada yang mengindahkan kicauan itu.
Lain hal dengan Pak Harsono yang mulai merasakan ada sesuatu
akan terjadi, sesuatu yang mengusik hatinya dan mungkin tidak baik.
Pak Harsono pun menghela napas. Beliau hanya bisa berdoa di
dalam hati. “Ya, Allah Gusti. Lindungilah keluarga kami. Hindarkan dari segala
beban mengancam keluarga kami.”
Doa itu selesai terucap ketika beliau mendengar suara
benda-benda pecah.
Prang!
Ketika beliau ke belakang ternyata suara itu berasal dari
piring yang terlepas dari pegangan istrinya ketika dicuci.
Pak Harsono mencoba menenangkan perasaan istrinya walau
sejujurnya dalam hatinya sendiri sedang merasakan sesuatu yang sangat
meresahkan hati.
Semalam beliau juga bermimpi. Dalam mimpinya itu beliau
sedang punya hajat besar yaitu, menikahkan Indri.
Dalam kekalutan itu kicau burung kedasih terdengar semakin
nyaring.
****
Keesokan harinya.
Inggar tampak tidak mau melepaskan ibunya. Bocah berumur 3
tahun itu menangis keras dan tidak mau lepas dari gendongan Indri.
Padahal siang itu Indri akan mengantar daging sapi pesanan
dari pelanggannya, Indri pun menurutinya.
Digendong anaknya sampai tertidur dengan pulas.
Indri peluk anaknya itu seakan tidak ingin berpisah. Ia menciumnya
setelahnya Inggar pun berpindah gendongan pada
mbahnya.
“Indri, langsung pulang, ya. Jangan malam-malam. Lagi rawan
begal sekarang ini,” kata Pak Harsono mewanti-wanti.
“Baik, Pak.”
Indri tidak membantah, sepeda motor yang baru dibeli 4 bulan
itu pun meluncur pelan.
Ibunya melepas kepergian Indri dengan hati yang cemas. Ada
perasaan lain yang tidak bisa ia ungkapkan, ada perasaan agar ia menahan Indri
untuk tidak pergi sore hari itu.
Di luar, burung kedasih itu kembali berkicau tanpa henti.
Pak Harsono memandangi wajah istrinya. Bagaimanapun perasaan
orang tua akan sangat peka terhadap anaknya.
No comments:
Post a Comment