PETAKA WARISAN BAGIAN 2
BAGIAN 2
Darah kental semakin banyak keluar dari mulut dan lubang
hidungnya.
Mbah Noto tersengal-sengal dengan terbata-bata berusaha mengatakan sesuatu pada Dwi Joyo yang terlihat panik di sebelahnya. “Cepatlah kamu pulang! Minum ... minumkan air degan hijau ini secepatnya lalu campurlah tebu ireng,” ucap Mbah Noto.
“Segera! Anak ... anakmu dalam bah ... haya!” imbuhnya.
Setelah berkata demikian Mbah Noto pun terkapar pingsan.
Bruk!
“Ladalah, Mbah, Mbah. Payah!” rutuk Dwi Joyo yang menggunakan
jasa Mbah Noto itu seraya bangkit dari duduknya.
Dwi Joyo segera hengkang dari rumah Mbah Noto. Pikirannya
hanya tertuju pada Bulan anak satu-satunya.
Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam hatinya. Marah,
kecewa, cemas, dan dendam kesumat bercampur menjadi satu. Dwi Joyo sendirilah
yang memulai peperangan itu, namun dia sendiri juga yang menyimpan dendam. Dia
tidak terima kalau sampai terjadi sesuatu pada Bulan.
Hal yang menimpa Munah juga sebenarnya menimpa anaknya Dwi Joyo, Bulan namanya, kembalinya
santet yang dikirimkan oleh Mbah Noto
berbalik menimpa anak Dwi Joyo itu. Beruntungnya nyawa Bulan masih bisa
terselamatkan.
Santet yang dikembalikan dan menyerang anaknya Dwi Joyo itu
tidak mengarah pada kematian karena sifatnya hanya memberi peringatan supaya
jangan bertindak macam-macam.
Kiai yang mengembalikan santet pun rupanya juga tahu kalau
pembalasan hanya akan membuat putusnya benang persaudaraan, namun tidak dengan
pemikiran Dwi Joyo, berani mengembalikan santet yang ia kirim itu berarti
menabuh genderang perang.
Percobaan pertama boleh gagal, tapi Dwi Joyo telah bersumpah
untuk mengulangi percobaan selanjutnya.
Di hadapan istrinya Dwi Joyo mengatakan jika apa yang menimpa
pada Bulan putri mereka adalah karena ulah Eko Joyo yang telah tega mengirim
santet untuk membunuh Bulan.
Keterangan palsu itu ternyata dimakan mentah-mentah oleh istri Dwi Joyo yang seketika menggelegar. Ia
berjanji akan menuntut balas atas ulah kakak iparnya itu, bahkan bila perlu
menumpahkan darah pun ia rela!
Amarah Dwi Joyo dan istrinya pun bergabung menjadi sebuah
energi yang negatif. Mereka tidaklah berpikir dengan akal sehat, dengan hati
yang dingin, Dwi Joyo memendam dendam sekaligus kecemasan karena santet Mbah
Noto yang terkenal sakti tidak berhasil membunuh keluarga Eko Joyo, bahkan saat
itu bisa dikembalikan, sementara istrinya memendam dendam karena terhasut
suaminya yang mengatakan kakak iparnya itu sudah edan harta.
Meskipun demikian dalam hati Dwi Joyo ada rasa ciut nyali
juga karena ia telah mengetahui betapa kuatnya benteng gaib yang melindungi
keluarga Eko Joyo, tapi bukan Dwi Joyo namanya kalau ia menyerah begitu saja,
ia harus menghasut adiknya Tri Joyo, ia harus bisa memenangkan hati adiknya itu,
dengan begitu ia bisa melawan Eko Joyo kakaknya dengan kekuatan yang lebih
besar.
****
Niat itu terlaksana
begitu Dwi Joyo sampai di tempat Tri Joyo.
“Tanah itu nanti kita bagi dua. Kamu boleh memilih lokasi
mana yang kamu inginkan,” kata Dwi Joyo.
“Edan kamu, Mas! Aku tidak sudi mengikuti ajakanmu itu, Mas!”
“Eko Joyo itu saudara kandung kita. Bagaimana bisa kamu mempunyai
pemikiran begitu, ha!” Tri Joyo yang sedang memberi makan sapi-sapinya
menggelegak marah. Bagaimana tidak, kakak nomor duanya itu secara
terang-terangan mengajaknya untuk membunuh kakak tertua mereka.
Tri Joyo yang masih memiliki pemikiran waras jelas menolak
ajakannya itu apalagi sudah jelas baginya ajarkan kakak keduanya itu tidak lain
karena masalah warisan.
Apa yang dikatakan mendiang bapaknya dulu memang benar dan
pernah menjual tanah karena saya ingin sekali menjadi seorang polisi, tapi
apalah daya, uang terlanjur saya serahkan, namun panggilan itu tidak pernah ada,”
kata Tri Joyo membuka kembali ihwal harta warisan berupa tanah mendiang orang
tua mereka.
Pupus sudah harapan Tri Joyo untuk menjadi abdi negara, tapi
ia kini sukses dengan usaha penggemukan sapinya, maka berkaca dari pengalaman
itu ia bersumpah untuk tidak ikut campur dalam perebutan warisan.
“Diberi bagian ya, disyukuri, namun bilamana tidak saya sudah
mengikhlaskannya, Mas,” imbuhnya kepada Dwi Joyo.
Jawaban Tri Joyo yang tegas tanpa daging aling-aling itu
bagaikan kotoran sapi yang dimasukkan ke muka Dwi Joyo. Hatinya semakin panas,
hubungan yang ia harapkan rupanya berbanding terbalik dengan kenyataan.
Dwi Joyo memandang ke arah Tri Joyo, pandangan tajam penuh
amarah, sementara Tri Joyo tidak sudi untuk menunduk, ia tidak lagi memandang
orang di depannya itu sebagai seorang kakak. Bagi Tri Joyo, Dwi Joyo kakaknya ini
tidak lebih dari seorang penghianat keluarga.
Saat itulah tiba-tiba Eko Joyo datang dan menuding Dwi Joyo
telah mengirimkan santet kepada anaknya.
“Dwi Joyo, apa yang kamu lakukan kepada Munah anakku, ha!”
Hal itu dibantah dengan keras oleh istri Dwi Joyo yang justru
menutupi kalau Eko Joyo justru tega mengirim santet pada anaknya.
“Sampean, jangan sembarang menuduh, Mas! Anakku Bulan justru
kamu kirimi santet! Iya, ‘kan!”
Kini perdebatan itu sampailah pada puncaknya. Dwi Joyo sangat
geram karena sampai kapan pun Eko Joyo masih akan terus meminta bagian dari
tanah itu.
“Aku ingin tanah itu dibagi rata, Dwi Joyo!” bentak Eko Joyo.
“Tidak! Tanah itu sudah Selayaknya menjadi hakku!” bantah Dwi
Joyo.
“Saya tidak akan membiarkan kamu merebut sertifikat tanah ini
meski harus ada darah yang tertumpah, Mas!” sambungnya.
Tri Joyo kemudian mendekat di antara kedua kakaknya itu. “Tolong
sing sabar. Sudahlah ikhlaskan saja tanah itu! Kalau kita mati, tanah itu juga
tidak akan kita bawa. Sudahlah ikhlaskan saja, Mas,” bujuk Tri Joyo menenangkan
hati kedua kakaknya.
Tri Joyo tidak ingin terjadi pertikaian di antara mereka,
tapi dengan lantang Eko Joyo menjawab, “Ini sudah bukan lagi soal tanah, bukan
lagi sekadar warisan, ini sudah menyangkut ranah harga diri, Dik!” geramnya
dengan menatap adiknya itu.
“Keluarga Dwi Joyo telah tega mengirim santet untuk membunuh
keluargaku dan itu tidak bisa aku biarkan!” tambahnya dengan nada penuh amarah.
Seketika Dwi Joyo
mengincar kepala Eko Joyo ketika dari balik jaketnya ia mengeluarkan
sebelah parang.
Sret!
Dengan terpaksa Tri Joyo menarik tangan kakaknya itu. “Sabar,
Mas! Sabar!”
Sementara itu, para anggota keluarga yang juga turut hadir
berusaha melerai keributan agar tidak semakin membahayakan nyawa, tapi Dwi Joyo
terlanjur menghunus parang. Ia tidak akan menyarungkan sebelum darah Eko Joyo
atau keluarganya tewas di sore itu.
Keributan saling tarik untuk melerai terjadi.
“He, sudah! Sudah!”
“Cukup, Mas. Cukup!”
Namun, kejadian itu sangat cepat. Dwi Joyo yang membabi buta
tidak memberhentikan ayunan dan sabetan parangnya.
Srap!
Bret!
Wes.
Jrat!
Entah leher siapa yang Dwi Joyo tebas saat ia terus membabi
buta mengincar Eko Joyo.
Srap!
Bret!
Wes.
Jrat!
Parang di tangannya kembali menumpahkan darah, namun
lagi-lagi dari yang tertumpah bukanlah darah Eko Joyo maupun anak istrinya, darah
itu justru berasal dari anak semata wayangnya, Bulan.
Srap!
Bret!
Wes.
Jrat!
Bulan yang tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk justru menghadang
tebasan-tebasan parang bapaknya berharap sang bapak menghentikan kebutaannya.
Namun, sayang Dwi Joyo tidak melihat siapa yang berada di depannya.
Srap!
Bret!
Wes.
Jrat!
Akibatnya pun fatal, leher Bulan tertebas hingga
tenggorokannya putus. Bulan meregang nyawa di tangan bapaknya sendiri.
Srap!
Bret!
Wes.
Jrat
“Akhhh!”
Bruk!
Semua orang yang berada di tempat itu tertegun. Mereka harus
melihat saudara mereka meregang nyawa dengan cara yang mengenaskan.
Dwi Joyo sendiri dengan mata nanar harus menyaksikan anaknya
tewas, Wulan tewas oleh tangannya sendiri.
Dengan geram ia pandangi Eko Joyo, Wulan mati karena Eko
Joyo, maka kakak kandungnya itu juga harus mati di tangannya.
Dwi Joyo tidak lagi bisa berpikir jernih, seketika ia
melompat ke arah Eko Joyo.
“Hiattt!”
Parang ia ayunkan ke
arah kepala Eko Joyo.
Sret!
Serangan yang sangat
cepat itu Eko Joyo masih bisa menghindar bahkan tanpa sengaja ia berhasil
meraih sebuah kayu balok.
“Modar kowe!” seru Eko Joyo.
Dwi Joyo pun harus merelakan kepalanya.
Dengan kekuatan penuh Eko Joyo mengarahkan balok di kepala
bagian kepala Dwi Joyo sampai pecah menjadi beberapa bagian seketika.
Dag!
Krak!
Prak!
Bruk!
Dwi Joyo ambruk dengan kepala hancur.
****
Peristiwa berdarah itu
pun naik menjadi kasus hukum.
Eko Joyo harus mendekam di penjara dengan dakwaan yang
berlapis, namun belum lama berada di penjara ia harus dipindah ruang perawatan
khusus yaitu sel di rumah sakit jiwa. Kejiwaan Eko Joyo mengalami guncangan
yang luar biasa. Ia selalu histeris ketika teringat bagaimana Dwi Joyo menggelepar
dengan kepala hancur.
Sementara itu, atas persetujuan semua anggota keluarga besar,
atas nama orang tua mereka, Tri Joyo telah mewakafkan tanah warisan yang sempat
menjadi sengketa itu. Bagi Tri Joyo itulah jalan terbaik, ia merasa inilah
bentuk bakti yang bisa ia dan saudara-saudaranya lakukan
Tri Joyo pun juga sangat terpukul karena kepergian
keponakannya, kakak kandungnya, juga kakak pertama yang mengalami gangguan
jiwa.
No comments:
Post a Comment