Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PETAKA WARISAN BAGIAN 2

 BAGIAN 2

Darah kental semakin banyak keluar dari mulut dan lubang hidungnya.

Mbah Noto tersengal-sengal dengan terbata-bata berusaha mengatakan sesuatu pada Dwi Joyo yang terlihat panik di sebelahnya. “Cepatlah kamu pulang! Minum ... minumkan air degan hijau ini secepatnya lalu campurlah tebu ireng,” ucap Mbah Noto.


“Segera! Anak ... anakmu dalam bah ... haya!” imbuhnya.

Setelah berkata demikian Mbah Noto pun terkapar pingsan.

Bruk!

“Ladalah, Mbah, Mbah. Payah!” rutuk Dwi Joyo yang menggunakan jasa Mbah Noto itu seraya bangkit dari duduknya.

Dwi Joyo segera hengkang dari rumah Mbah Noto. Pikirannya hanya tertuju pada Bulan anak satu-satunya.

Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam hatinya. Marah, kecewa, cemas, dan dendam kesumat bercampur menjadi satu. Dwi Joyo sendirilah yang memulai peperangan itu, namun dia sendiri juga yang menyimpan dendam. Dia tidak terima kalau sampai terjadi sesuatu pada Bulan.

Hal yang menimpa Munah juga sebenarnya  menimpa anaknya Dwi Joyo, Bulan namanya, kembalinya santet yang dikirimkan oleh  Mbah Noto berbalik menimpa anak Dwi Joyo itu. Beruntungnya nyawa Bulan masih bisa terselamatkan.

Santet yang dikembalikan dan menyerang anaknya Dwi Joyo itu tidak mengarah pada kematian karena sifatnya hanya memberi peringatan supaya jangan bertindak macam-macam.

Kiai yang mengembalikan santet pun rupanya juga tahu kalau pembalasan hanya akan membuat putusnya benang persaudaraan, namun tidak dengan pemikiran Dwi Joyo, berani mengembalikan santet yang ia kirim itu berarti menabuh genderang perang.

Percobaan pertama boleh gagal, tapi Dwi Joyo telah bersumpah untuk mengulangi percobaan selanjutnya.

Di hadapan istrinya Dwi Joyo mengatakan jika apa yang menimpa pada Bulan putri mereka adalah karena ulah Eko Joyo yang telah tega mengirim santet untuk membunuh Bulan.

Keterangan palsu itu ternyata dimakan mentah-mentah oleh  istri Dwi Joyo yang seketika menggelegar. Ia berjanji akan menuntut balas atas ulah kakak iparnya itu, bahkan bila perlu menumpahkan darah pun ia rela!

Amarah Dwi Joyo dan istrinya pun bergabung menjadi sebuah energi yang negatif. Mereka tidaklah berpikir dengan akal sehat, dengan hati yang dingin, Dwi Joyo memendam dendam sekaligus kecemasan karena santet Mbah Noto yang terkenal sakti tidak berhasil membunuh keluarga Eko Joyo, bahkan saat itu bisa dikembalikan, sementara istrinya memendam dendam karena terhasut suaminya yang mengatakan kakak iparnya itu sudah edan harta.

Meskipun demikian dalam hati Dwi Joyo ada rasa ciut nyali juga karena ia telah mengetahui betapa kuatnya benteng gaib yang melindungi keluarga Eko Joyo, tapi bukan Dwi Joyo namanya kalau ia menyerah begitu saja, ia harus menghasut adiknya Tri Joyo, ia harus bisa memenangkan hati adiknya itu, dengan begitu ia bisa melawan Eko Joyo kakaknya dengan kekuatan yang lebih besar.

****

Niat itu terlaksana begitu Dwi Joyo sampai di tempat Tri Joyo.

“Tanah itu nanti kita bagi dua. Kamu boleh memilih lokasi mana yang kamu inginkan,” kata Dwi Joyo.

“Edan kamu, Mas! Aku tidak sudi mengikuti ajakanmu itu, Mas!”

“Eko Joyo itu saudara kandung kita. Bagaimana bisa kamu mempunyai pemikiran begitu, ha!” Tri Joyo yang sedang memberi makan sapi-sapinya menggelegak marah. Bagaimana tidak, kakak nomor duanya itu secara terang-terangan mengajaknya untuk membunuh kakak tertua mereka.

Tri Joyo yang masih memiliki pemikiran waras jelas menolak ajakannya itu apalagi sudah jelas baginya ajarkan kakak keduanya itu tidak lain karena masalah warisan.

Apa yang dikatakan mendiang bapaknya dulu memang benar dan pernah menjual tanah karena saya ingin sekali menjadi seorang polisi, tapi apalah daya, uang terlanjur saya serahkan, namun panggilan itu tidak pernah ada,” kata Tri Joyo membuka kembali ihwal harta warisan berupa tanah mendiang orang tua mereka.

Pupus sudah harapan Tri Joyo untuk menjadi abdi negara, tapi ia kini sukses dengan usaha penggemukan sapinya, maka berkaca dari pengalaman itu ia bersumpah untuk tidak ikut campur dalam perebutan warisan.

“Diberi bagian ya, disyukuri, namun bilamana tidak saya sudah mengikhlaskannya, Mas,” imbuhnya kepada Dwi Joyo.

Jawaban Tri Joyo yang tegas tanpa daging aling-aling itu bagaikan kotoran sapi yang dimasukkan ke muka Dwi Joyo. Hatinya semakin panas, hubungan yang ia harapkan rupanya berbanding terbalik dengan kenyataan.

Dwi Joyo memandang ke arah Tri Joyo, pandangan tajam penuh amarah, sementara Tri Joyo tidak sudi untuk menunduk, ia tidak lagi memandang orang di depannya itu sebagai seorang kakak. Bagi Tri Joyo, Dwi Joyo kakaknya ini tidak lebih dari seorang penghianat keluarga.

Saat itulah tiba-tiba Eko Joyo datang dan menuding Dwi Joyo telah mengirimkan santet kepada anaknya.

“Dwi Joyo, apa yang kamu lakukan kepada Munah anakku, ha!”

Hal itu dibantah dengan keras oleh istri Dwi Joyo yang justru menutupi kalau Eko Joyo justru tega mengirim santet pada anaknya.

“Sampean, jangan sembarang menuduh, Mas! Anakku Bulan justru kamu kirimi santet! Iya, ‘kan!”

 

 

Kini perdebatan itu sampailah pada puncaknya. Dwi Joyo sangat geram karena sampai kapan pun Eko Joyo masih akan terus meminta bagian dari tanah itu.

“Aku ingin tanah itu dibagi rata, Dwi Joyo!” bentak Eko Joyo.

“Tidak! Tanah itu sudah Selayaknya menjadi hakku!” bantah Dwi Joyo.

“Saya tidak akan membiarkan kamu merebut sertifikat tanah ini meski harus ada darah yang tertumpah, Mas!” sambungnya.

Tri Joyo kemudian mendekat di antara kedua kakaknya itu. “Tolong sing sabar. Sudahlah ikhlaskan saja tanah itu! Kalau kita mati, tanah itu juga tidak akan kita bawa. Sudahlah ikhlaskan saja, Mas,” bujuk Tri Joyo menenangkan hati kedua kakaknya.

Tri Joyo tidak ingin terjadi pertikaian di antara mereka, tapi dengan lantang Eko Joyo menjawab, “Ini sudah bukan lagi soal tanah, bukan lagi sekadar warisan, ini sudah menyangkut ranah harga diri, Dik!” geramnya dengan menatap adiknya itu.

“Keluarga Dwi Joyo telah tega mengirim santet untuk membunuh keluargaku dan itu tidak bisa aku biarkan!” tambahnya dengan nada penuh amarah.

Seketika Dwi Joyo  mengincar kepala Eko Joyo ketika dari balik jaketnya ia mengeluarkan sebelah parang.

Sret!

Dengan terpaksa Tri Joyo menarik tangan kakaknya itu. “Sabar, Mas! Sabar!”

Sementara itu, para anggota keluarga yang juga turut hadir berusaha melerai keributan agar tidak semakin membahayakan nyawa, tapi Dwi Joyo terlanjur menghunus parang. Ia tidak akan menyarungkan sebelum darah Eko Joyo atau keluarganya tewas di sore itu.

Keributan saling tarik untuk melerai terjadi.

“He, sudah! Sudah!”

“Cukup, Mas. Cukup!”

Namun, kejadian itu sangat cepat. Dwi Joyo yang membabi buta tidak memberhentikan ayunan dan sabetan parangnya.

Srap!

Bret!

Wes.

Jrat!

Entah leher siapa yang Dwi Joyo tebas saat ia terus membabi buta mengincar Eko Joyo.

Srap!

Bret!

Wes.

Jrat!

Parang di tangannya kembali menumpahkan darah, namun lagi-lagi dari yang tertumpah bukanlah darah Eko Joyo maupun anak istrinya, darah itu justru berasal dari anak semata wayangnya, Bulan.

Srap!

Bret!

Wes.

Jrat!

Bulan yang tidak ingin terjadi sesuatu hal yang buruk justru menghadang tebasan-tebasan parang bapaknya berharap sang bapak menghentikan kebutaannya. Namun, sayang Dwi Joyo tidak melihat siapa yang berada di depannya.

Srap!

Bret!

Wes.

Jrat!

Akibatnya pun fatal, leher Bulan tertebas hingga tenggorokannya putus. Bulan meregang nyawa di tangan bapaknya sendiri.

Srap!

Bret!

Wes.

Jrat

“Akhhh!”

Bruk!

Semua orang yang berada di tempat itu tertegun. Mereka harus melihat saudara mereka meregang nyawa dengan cara yang mengenaskan.

Dwi Joyo sendiri dengan mata nanar harus menyaksikan anaknya tewas, Wulan tewas oleh tangannya sendiri.

Dengan geram ia pandangi Eko Joyo, Wulan mati karena Eko Joyo, maka kakak kandungnya itu juga harus mati di tangannya.

Dwi Joyo tidak lagi bisa berpikir jernih, seketika ia melompat ke arah Eko Joyo.

“Hiattt!”

 Parang ia ayunkan ke arah kepala Eko Joyo.

Sret!

 Serangan yang sangat cepat itu Eko Joyo masih bisa menghindar bahkan tanpa sengaja ia berhasil meraih sebuah kayu balok.

“Modar kowe!” seru Eko Joyo.

Dwi Joyo pun harus merelakan kepalanya.

Dengan kekuatan penuh Eko Joyo mengarahkan balok di kepala bagian kepala Dwi Joyo sampai pecah menjadi beberapa bagian seketika.

Dag!

Krak!

Prak!

Bruk!

Dwi Joyo ambruk dengan kepala hancur.

****

Peristiwa berdarah itu pun naik menjadi kasus hukum.

Eko Joyo harus mendekam di penjara dengan dakwaan yang berlapis, namun belum lama berada di penjara ia harus dipindah ruang perawatan khusus yaitu sel di rumah sakit jiwa. Kejiwaan Eko Joyo mengalami guncangan yang luar biasa. Ia selalu histeris ketika teringat bagaimana Dwi Joyo menggelepar dengan kepala hancur.

Sementara itu, atas persetujuan semua anggota keluarga besar, atas nama orang tua mereka, Tri Joyo telah mewakafkan tanah warisan yang sempat menjadi sengketa itu. Bagi Tri Joyo itulah jalan terbaik, ia merasa inilah bentuk bakti yang bisa ia dan saudara-saudaranya lakukan

Tri Joyo pun juga sangat terpukul karena kepergian keponakannya, kakak kandungnya, juga kakak pertama yang mengalami gangguan jiwa.

 TAMAT

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search