PETAKA WARISAN BAGIAN 1
BAGIAN 1
Tri Joyo sedang mengikat rumput untuk pakan ternaknya ketika dari kejauhan tampak seorang perempuan berlari tergopoh sembari memanggil-manggil.
“Mas! Mas!”
Tri Joyo segera menyelesaikan pekerjaannya dan perempuan yang
tengah menyusulnya itu tidak lain adalah Kartini istrinya.
“Mas! Mas!”
Sekarung penuh rumput
itu telah berada di atas jok sepeda motor saat istrinya tiba sembari menangis.
Tri Joyo tentu saja tidak tahu harus berbuat apa.
“Ada apa, ha? Ada apa!” Tri Joyo berusaha menenangkan
istrinya. Namun, isak tangis istrinya tidak segera terhenti yang ada justru semakin
menjadi-jadi.
Tri Joyo pun bingung tidak tahu harus berbuat apa, ia
benar-benar tidak mengerti mengapa istrinya sampai menyusul ke ladang disertai
isak tangis.
Seribu pertanyaan berebut masuk ke ubun-ubunnya.
“Ibu, Mas. Ibu!”
Kini giliran Tri Joyo terkejut bukan kepalang ketika istrinya
dengan terbatas-batas mengabari kalau ibunya mengalami sesak nafas dan sedang
akan dibawa ke rumah sakit.
Tak khayal Tri Joyo pun menyuruh istrinya naik motor,
sementara rumput yang telah diikat ia tinggalkan begitu saja.
****
3 hari kemudian.
Di sebuah rumah joglo yang tampak luas berkumpullah dua
anggota keluarga.
Dari nada perbincangan yang keras dan tinggi mereka pasti
bukan sedang mengadakan arisan keluarga ataupun temu kangen, terdengar salah
seorang kadang mengumpat satu sama lain. Mereka bersitegang bahkan bila tidak
dicegah mereka sudah bersiap untuk segera baku hantam.
Tri Joyo mencegat di sela-sela ketegangan yang terjadi. Nada
suaranya tidak begitu tinggi, namun sangat berwibawa sehingga mereka yang
sedang saling bersikap terpaksa kembali duduk dan bersiap mendengarkan.
“Mas, ibu itu baru 3 hari yang lalu meninggal! Saya mohon
untuk urusan warisan kita selesaikan nanti!’
“Minimal malu kalau tetangga pada dengar!” imbuhnya.
Mereka yang bertikai itu tidak melanjutkan bicaranya karena
keburu dihadiri oleh Tri Joyo.
Meski dengan perasaan geram kedua orang yang bertikai hanya
bisa diam dan mengalah ketika keluarga itu kemudian berkumpul.
Mbah Karti ibu mereka dalam usianya yang ke-71 meninggal
dunia 3 hari yang lalu karena serangan jantung. Juragan tembakau itu memang
sudah mengeluhkan kondisi jantungnya sejak beberapa bulan belakangan ini hingga
pada akhirnya ajal pun menjemput.
Mbah Karti menyusul kepergian sang suami 2 tahun sebelumnya.
Mbah Karti meninggalkan tiga orang putra yang semuanya adalah laki-laki.
Eko Joyo merupakan anak pertama, Dwi Joyo merupakan anak
kedua dan yang ragil adalah Tri Joyo inilah yang menangani perselisihan yang
terjadi, perselisihan yang tidak lain adalah karena adanya perebutan warisan
peninggalan orang tua mereka.
Inti dari perselisihan itu bermula ketika ayah mereka
meninggal 2 tahun yang lalu. Karena Eko Joyo berdomisili jauh dari luar kota
maka Dwi Joyo sebagai anak kedua kemudian mengambil sertifikat tanah milik ayah
mereka.
Bukan tanpa alasan, karena memang dari bujuk rayu sang istri
jugalah Dwi Joyo melakukan itu.
Yang menjadi permasalahan adalah bukan siapa yang
berkewajiban atau berhak menyimpan sertifikat itu, namun saat sertifikat tanah
itu akan dipecah menjadi tiga bagian sama besar, Dwi Joyo dengan tegas menolak.
Ia ingin menguasai tanah itu sepenuhnya.
Dwi Joyo tidak akan membagi tanah warisan tersebut dengan alasan
sewaktu Eko Joyo dulu kuliah kedokteran bapaknya sudah menjual tanah untuk
biaya. Sedangkan dulu sewaktu Tri Joyo ingin menjadi polisi bapaknya juga sudah
menjual tanah. Sedangkan Dwi Joyo sendiri tidak pernah menuntut apa-apa dan
baginya inilah saatnya untuk menuntut apa yang seharusnya memang menjadi haknya.
“Kamu tidak mengerti hukum agama atau kamu pura-pura buta!
Kita bersaudara dan semuanya laki-laki, maka warisan ini harus kita bagi sama
rata. Itu hukumnya!” ucap Eko Joyo yang tidak kalah lantang sembari jari telunjuknya
mengarah ke muka Dwi Joyo.
Tidak terima dengan sikap kakaknya itu amarah Dwi Joyo pun
memuncak. Ia paling tidak suka wajahnya dituding seperti anak kecil yang
dituduh mencuri sandal. Tanpa pikir panjang Dwi Joyo pun melayangkan sebuah
pukulan yang tentu saja tidak sempat Eko Joyo hindari. Pelipis kiri Eko Joyo
pun terhantam bogem mentah sang adik.
Tri Joyo yang melihat gelagat tidak baik itu justru ikut
terkena hantaman saat hendak melerai.
Mediasi keluarga itu pun ricuh. Baku hantam tidak
terhindarkan lagi. Mereka saling pukul, saling sikut, saling tendang.
“Aku nekat berkelahi dengan kalian bukan karena aku ikut
berebut warisan ini! Semua aku lakukan karena aku tidak terima saat kita
kehilangan ibu, tapi kalian malah sibuk membicarakan warisan! Seharusnya kita
mendoakan ibu kita!” seru Tri Joyo.
“Anak macam apa kalian!” sambungnya.
Kartini istri Tri Joyo dengan lantang berkata bahwa ia benar-benar
marah karena kedua kakak iparnya justru sibuk menunggu harta orang tua mereka
bukannya sibuk memanjatkan doa.
****
Beberapa hari kemudian.
Dwi Joyo yang berada
di dalam keremangan sebuah kamar bersuara, “Bisa digarap sekarang dan harus
bisa ditumpas, Mbah?”
Orang yang dipanggil Mbah Noto pun menanyakan sekali lagi, “Apakah
sudah dipikir matang-matang niat tersebut, ha? Karena mereka adalah
saudara-saudaramu juga. Apakah tega, he?”
Dwi Joyo tidak menjawab, namun ia memberi tanda dengan
tangannya seperti gerakan memotong leher yang berarti bunuh.
Mbah Noto langsung
sibuk menyiapkan segala sesuatunya.
Kini empat boneka kecil berbentuk pocong telah siap.
Asap dupa mengepul memenuhi seluruh isi kamar. Darah ayam
cemani yang telah disembelih itu pun telah dikucurkan pada keempat boneka
pocong.
Mbah Noto dukun sakti yang terkenal cabul itu kemudian
merapal mantra lalu satu persatu boneka pocong itu ditusuk dengan jarum-jarum
kecil, disusul menyayat-nyayat menggunakan sebuah pisau, sementara Dwi Joyo
yang menyuruh Mbah Noto itu duduk mengamati dengan cemas.
Mbah Noto berteriak lantang kini.
“Huaaa!”
“Buhuk-buhuk! Uhuk-uhuk!” Justru terbatuk-batuk.
“Juh jaran!” umpatnya pula.
Beberapa saat kemudian umpatannya itu disusul dengan tertawa
puas.
“Ha ha ha.”
Sedangkan orang yang duduk di sebelahnya nyaris terjengkang
karena kaget. Ia sudah tidak menanyakan apakah usahanya berhasil ketika
tiba-tiba Mbah Noto terjungkal ke
belakang.
Bruk!
“Ladalah! Juh jaran!”
Kemudian dari mulutnya memuntahkan darah merah kehitaman.
“Huek!”
Crot!
Pluk. Pluk.
Mbah Noto yang terjungkal kembali duduk dan mengatur napas.
“Ini baru lawan yang sebanding!” kata Mbah Noto sembari kembali mengatur napas.
****
Di lain tempat pada
waktu yang sama.
Munah anaknya Eko Joyo tiba-tiba mengerang kesakitan.
“Aduhhh.”
“Akh!”
“Bu, perutku sakit, Bu. Oh ....”
“Aduhhhh.”
Sesekali Munah memegang perutnya seperti sedang merasakan
sakit yang luar biasa dari perutnya.
Sementara ibunya terlihat sangat panik melihat apa yang
terjadi pada Munah.
Bapaknya Munah yang tak lain adalah Eko Joyo rupanya paham
bahwa situasi sedang sangat genting, urusannya adalah nyawa!
Melalui ponsel Eko Joyo pun dengan segera berbicara sesuatu
pada seseorang.
“Halo, Kiai ....”
Rupanya Eko Joyo tengah meminta bantuan orang pintar untuk
menangkap serangan yang sedang berlangsung.
Munah semakin terlihat kesakitan. Matanya mendelik, sementara
kakinya menggelepar. Tenggorokannya seperti sedang terjepit sesuatu yang sangat
kuat, terlihat dari napasnya yang sangat berat dan tersengal-sengal.
****
Di satu sisi.
Seseorang yang tadi ditelepon Eko Joyo juga tengah melakukan
ritual yang sama, namun dilihat dari pakaian yang dikenakan orang itu bukanlah
dukun, orang itu memakai sarung dan peci dan jelas apa yang sedang dibacanya
adalah ayat-ayat suci Alquran.
Tidak ada boneka pocong, tidak ada jarum, senjata tajam,
apalagi darah ayam, yang ada hanya segelas air putih.
Malam itu merupakan malam mencekam karena dari tempat yang
saling berjauhan tengah terjadi perang gaib atau perang santet.
Mbah Noto yang pertama sedang berusaha membunuh sebuah
keluarga beranggotakan empat orang, sementara di satu sisi seseorang kiai juga
berusaha sekuat mungkin menahan bahkan mengembalikan serangan gaib yang sedang
dilancarkan Mbah Noto.
****
Kembali pada Munah yang sepertinya sedang kesulitan bernapas.
Wajah Munah yang polos tidak tahu apa-apa itu mulai membiru.
Sepertinya benar-benar tengah kehabisan nafas.
Ibunya yang masih sangat panik bukannya berdoa, tapi malah
cuma meraung-raung.
Perubahan warna itu rupanya hanya sebentar saja karena
setelahnya Munah mulai bisa bernapas kembali. Ia juga tidak lagi menggelepar,
keadaan sudah kembali tenang.
Hal berbeda justru berbanding terbalik di tempat Mbah Noto yang kembali terjungkal untuk sekian
kali.
Bruk!
“Weladalah! Juh jaran!"
No comments:
Post a Comment