Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

PETAKA WARISAN BAGIAN 1

 BAGIAN 1

Tri Joyo sedang mengikat rumput untuk pakan ternaknya ketika dari kejauhan tampak seorang perempuan berlari tergopoh sembari memanggil-manggil.

“Mas! Mas!”

Tri Joyo segera menyelesaikan pekerjaannya dan perempuan yang tengah menyusulnya itu tidak lain adalah Kartini istrinya.

“Mas! Mas!”

 Sekarung penuh rumput itu telah berada di atas jok sepeda motor saat istrinya tiba sembari menangis.

Tri Joyo tentu saja tidak tahu harus berbuat apa.

“Ada apa, ha? Ada apa!” Tri Joyo berusaha menenangkan istrinya. Namun, isak tangis istrinya tidak segera terhenti yang ada justru semakin menjadi-jadi.

Tri Joyo pun bingung tidak tahu harus berbuat apa, ia benar-benar tidak mengerti mengapa istrinya sampai menyusul ke ladang disertai isak tangis.

Seribu pertanyaan berebut masuk ke ubun-ubunnya.

“Ibu, Mas. Ibu!”

Kini giliran Tri Joyo terkejut bukan kepalang ketika istrinya dengan terbatas-batas mengabari kalau ibunya mengalami sesak nafas dan sedang akan dibawa ke rumah sakit.

Tak khayal Tri Joyo pun menyuruh istrinya naik motor, sementara rumput yang telah diikat ia tinggalkan begitu saja.

****

3 hari kemudian.

Di sebuah rumah joglo yang tampak luas berkumpullah dua anggota keluarga.

Dari nada perbincangan yang keras dan tinggi mereka pasti bukan sedang mengadakan arisan keluarga ataupun temu kangen, terdengar salah seorang kadang mengumpat satu sama lain. Mereka bersitegang bahkan bila tidak dicegah mereka sudah bersiap untuk segera baku hantam.

Tri Joyo mencegat di sela-sela ketegangan yang terjadi. Nada suaranya tidak begitu tinggi, namun sangat berwibawa sehingga mereka yang sedang saling bersikap terpaksa kembali duduk dan bersiap mendengarkan.

“Mas, ibu itu baru 3 hari yang lalu meninggal! Saya mohon untuk urusan warisan kita selesaikan nanti!’

“Minimal malu kalau tetangga pada dengar!” imbuhnya.

Mereka yang bertikai itu tidak melanjutkan bicaranya karena keburu dihadiri oleh Tri Joyo.

Meski dengan perasaan geram kedua orang yang bertikai hanya bisa diam dan mengalah ketika keluarga itu kemudian berkumpul.

Mbah Karti ibu mereka dalam usianya yang ke-71 meninggal dunia 3 hari yang lalu karena serangan jantung. Juragan tembakau itu memang sudah mengeluhkan kondisi jantungnya sejak beberapa bulan belakangan ini hingga pada akhirnya ajal pun menjemput.

Mbah Karti menyusul kepergian sang suami 2 tahun sebelumnya. Mbah Karti meninggalkan tiga orang putra yang semuanya adalah laki-laki.

Eko Joyo merupakan anak pertama, Dwi Joyo merupakan anak kedua dan yang ragil adalah Tri Joyo  inilah yang menangani perselisihan yang terjadi, perselisihan yang tidak lain adalah karena adanya perebutan warisan peninggalan orang tua mereka.

Inti dari perselisihan itu bermula ketika ayah mereka meninggal 2 tahun yang lalu. Karena Eko Joyo berdomisili jauh dari luar kota maka Dwi Joyo sebagai anak kedua kemudian mengambil sertifikat tanah milik ayah mereka.

Bukan tanpa alasan, karena memang dari bujuk rayu sang istri jugalah Dwi Joyo melakukan itu.

Yang menjadi permasalahan adalah bukan siapa yang berkewajiban atau berhak menyimpan sertifikat itu, namun saat sertifikat tanah itu akan dipecah menjadi tiga bagian sama besar, Dwi Joyo dengan tegas menolak. Ia ingin menguasai tanah itu sepenuhnya.

Dwi Joyo tidak akan membagi tanah warisan tersebut dengan alasan sewaktu Eko Joyo dulu kuliah kedokteran bapaknya sudah menjual tanah untuk biaya. Sedangkan dulu sewaktu Tri Joyo ingin menjadi polisi bapaknya juga sudah menjual tanah. Sedangkan Dwi Joyo sendiri tidak pernah menuntut apa-apa dan baginya inilah saatnya untuk menuntut apa yang seharusnya memang menjadi haknya.

“Kamu tidak mengerti hukum agama atau kamu pura-pura buta! Kita bersaudara dan semuanya laki-laki, maka warisan ini harus kita bagi sama rata. Itu hukumnya!” ucap Eko Joyo yang tidak kalah lantang sembari jari telunjuknya mengarah ke muka Dwi Joyo.

Tidak terima dengan sikap kakaknya itu amarah Dwi Joyo pun memuncak. Ia paling tidak suka wajahnya dituding seperti anak kecil yang dituduh mencuri sandal. Tanpa pikir panjang Dwi Joyo pun melayangkan sebuah pukulan yang tentu saja tidak sempat Eko Joyo hindari. Pelipis kiri Eko Joyo pun terhantam bogem mentah sang adik.

Tri Joyo yang melihat gelagat tidak baik itu justru ikut terkena hantaman saat hendak melerai.

Mediasi keluarga itu pun ricuh. Baku hantam tidak terhindarkan lagi. Mereka saling pukul, saling sikut, saling tendang.

“Aku nekat berkelahi dengan kalian bukan karena aku ikut berebut warisan ini! Semua aku lakukan karena aku tidak terima saat kita kehilangan ibu, tapi kalian malah sibuk membicarakan warisan! Seharusnya kita mendoakan ibu kita!” seru Tri Joyo.

“Anak macam apa kalian!” sambungnya.

Kartini istri Tri Joyo dengan lantang berkata bahwa ia benar-benar marah karena kedua kakak iparnya justru sibuk menunggu harta orang tua mereka bukannya sibuk memanjatkan doa.

****

Beberapa hari kemudian.

Dwi Joyo yang  berada di dalam keremangan sebuah kamar bersuara, “Bisa digarap sekarang dan harus bisa ditumpas, Mbah?”

Orang yang dipanggil Mbah Noto pun menanyakan sekali lagi, “Apakah sudah dipikir matang-matang niat tersebut, ha? Karena mereka adalah saudara-saudaramu juga. Apakah tega, he?”

Dwi Joyo tidak menjawab, namun ia memberi tanda dengan tangannya seperti gerakan memotong leher yang berarti bunuh.

Mbah Noto  langsung sibuk menyiapkan segala sesuatunya.

Kini empat boneka kecil berbentuk pocong telah siap.

Asap dupa mengepul memenuhi seluruh isi kamar. Darah ayam cemani yang telah disembelih itu pun telah dikucurkan pada keempat boneka pocong.

Mbah Noto dukun sakti yang terkenal cabul itu kemudian merapal mantra lalu satu persatu boneka pocong itu ditusuk dengan jarum-jarum kecil, disusul menyayat-nyayat menggunakan sebuah pisau, sementara Dwi Joyo yang menyuruh Mbah Noto itu duduk mengamati dengan cemas.

Mbah Noto berteriak lantang kini.

“Huaaa!”

“Buhuk-buhuk! Uhuk-uhuk!” Justru terbatuk-batuk.

“Juh jaran!” umpatnya pula.

Beberapa saat kemudian umpatannya itu disusul dengan tertawa puas.

“Ha ha ha.”

Sedangkan orang yang duduk di sebelahnya nyaris terjengkang karena kaget. Ia sudah tidak menanyakan apakah usahanya berhasil ketika tiba-tiba Mbah Noto  terjungkal ke belakang.

Bruk!

“Ladalah! Juh jaran!”

Kemudian dari mulutnya memuntahkan darah merah kehitaman.

“Huek!”

Crot!

Pluk. Pluk.

Mbah Noto yang terjungkal kembali duduk dan mengatur napas.

“Ini baru lawan yang sebanding!” kata  Mbah Noto sembari kembali mengatur napas.

****

Di lain tempat pada waktu yang sama.

Munah anaknya Eko Joyo tiba-tiba mengerang kesakitan.

“Aduhhh.”

“Akh!”

“Bu, perutku sakit, Bu. Oh ....”

“Aduhhhh.”

Sesekali Munah memegang perutnya seperti sedang merasakan sakit yang luar biasa dari perutnya.

Sementara ibunya terlihat sangat panik melihat apa yang terjadi pada Munah.

Bapaknya Munah yang tak lain adalah Eko Joyo rupanya paham bahwa situasi sedang sangat genting, urusannya adalah nyawa!

Melalui ponsel Eko Joyo pun dengan segera berbicara sesuatu pada seseorang.

“Halo, Kiai ....”

Rupanya Eko Joyo tengah meminta bantuan orang pintar untuk menangkap serangan yang sedang berlangsung.

Munah semakin terlihat kesakitan. Matanya mendelik, sementara kakinya menggelepar. Tenggorokannya seperti sedang terjepit sesuatu yang sangat kuat, terlihat dari napasnya yang sangat berat dan tersengal-sengal.

****

Di satu sisi.

Seseorang yang tadi ditelepon Eko Joyo juga tengah melakukan ritual yang sama, namun dilihat dari pakaian yang dikenakan orang itu bukanlah dukun, orang itu memakai sarung dan peci dan jelas apa yang sedang dibacanya adalah ayat-ayat suci Alquran.

Tidak ada boneka pocong, tidak ada jarum, senjata tajam, apalagi darah ayam, yang ada hanya segelas air putih.

Malam itu merupakan malam mencekam karena dari tempat yang saling berjauhan tengah terjadi perang gaib atau perang santet.

Mbah Noto yang pertama sedang berusaha membunuh sebuah keluarga beranggotakan empat orang, sementara di satu sisi seseorang kiai juga berusaha sekuat mungkin menahan bahkan mengembalikan serangan gaib yang sedang dilancarkan Mbah Noto.

****

Kembali pada Munah yang sepertinya sedang kesulitan bernapas.

Wajah Munah yang polos tidak tahu apa-apa itu mulai membiru. Sepertinya benar-benar tengah kehabisan nafas.

Ibunya yang masih sangat panik bukannya berdoa, tapi malah cuma meraung-raung.

Perubahan warna itu rupanya hanya sebentar saja karena setelahnya Munah mulai bisa bernapas kembali. Ia juga tidak lagi menggelepar, keadaan sudah kembali tenang.

Hal berbeda justru berbanding terbalik di tempat  Mbah Noto yang kembali terjungkal untuk sekian kali.

Bruk!

“Weladalah! Juh jaran!"

BERSAMBUNG KE BAGIAN 2

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search