TEKA-TEKI KEMATIAN WATI
Waktu menunjukkan pukul
tujuh pagi.
Dengan perasaan waswas Susi mengendong sang putri yang masih
berusia dua setengah tahun.
Putri semata wayang itu dari semalam badannya panas tinggi
hingga membuat Susi terjaga sampai pagi untuk merawatnya.
Sedangkan suaminya yaitu Supriyanto yang bekerja di salah
satu pabrik di Semarang sedang mendapatkan sif malam.
Dalam perasaan penuh cemas itu disentuhnya kening sang anak
yang terlelap dalam gendongan.
“Ya, Allah, Dek. Panasnya kok belum turun-turun. Jangan buat
ibu khawatir, Sayang. Cepat sehat ya, Nak.”
Susi sudah tidak sanggup lagi menahan air mata yang jatuh
membasahi pipi.
Ibu mana yang tidak ikut merasakan pilu jika melihat buah
hatinya sakit.
Tidak lama kemudian terdengar suara motor berhenti di teras
rumah.
Supriyanto yang baru sampai ke rumah dengan terburu-buru dan
masuk langsung disambut dengan suara sang istri.
“Bagaimana ini. Panasnya kok masih sangat tinggi. Padahal
sudah aku kasih obat dari apotek tadi.” Suara itu terdengar agak gemetar.
Supriyanto yang menyentuh kening anaknya. Ia ikut merasa
cemas lalu dia mengajak membawa ke rumah sakit saja.
Disuruhnya Susi bersiap-siap, sementara dia mandi terlebih
dahulu.
Setelah membereskan barang-barang yang hendak dibawa, Susi
dan Supriyanto langsung bergegas membawa putri kecilnya melaju dengan bersepeda
motor.
Mereka menuju ke salah satu rumah sakit di Semarang.
Rasa waswas terus menggelayut dalam pikiran mereka. Maklumlah
ini adalah pertama kali mereka mengalami seperti itu, juga tidak ada seorang
pun yang dimintai pendapat.
****
Setelah tiba di rumah
sakit.
Supriyanto langsung mengurus semua administrasi, sementara
itu Susi menunggu buah hatinya di ruangan.
Susi sangat miris saat m
elihat sang putri ditusuk jarum suntik. Suara tangisnya pecah ketika disusul dengan tangan kirinya.
Beberapa saat kemudian petugas pun langsung mengantar ke ruangan
flamboyan yang berada di bangsal anak ruangan kelas 2 yang hanya berisikan dua
tempat tidur untuk pasien yang disekat dengan sebuah gorden.
Sengaja Supriyanto memilih kamar kelas 2 dengan alasan agar
lebih nyaman, dan beruntung baginya karena di kamar itu hanya diisi oleh
anaknya saja. Jadi, dia bisa istirahat di ranjang sebelah yang kosong.
Menurut pemeriksaan dokter, ternyata sang anak mengalami
gejala sakit tipes yang mengharuskan dirawat inap hingga keadaan membaik.
Begitu mendengar penjelasan dokter, Supriyanto pun minta cuti
beberapa hari untuk menjaga sang putri di rumah sakit. Dia akan menemani
istrinya untuk mengasuh secara bergantian.
Menjelang magrib, sang putri tiba-tiba rewel. Anak itu terus
menangis hingga membuat Susi dan Supriyanto kewalahan.
“Tenang ya, Sayang.” Susi mencoba menenangkan anaknya.
Ia berpikir kalau mungkin putrinya itu merasa tidak nyaman
dengan suasana rumah sakit. Namun, anehnya setiap kali akan disusui, anak itu
menghindar tidak mau. Ia bahkan menangis semakin keras.
Susi didampingi Supriyanto membawa sang putri keluar ruangan,
barangkali saja akan membaik.
****
Saat melihat-lihat di
luar ternyata tidak berpengaruh sama sekali.
Si anak masih terus menangis yang membuat mereka gusar.
“Kenapa dengan anakmu, NduK?” Di tengah kekalutan yang
melanda tiba-tiba saja seorang ibu paruh baya berada di belakang mereka.
“Ini, Bu. Dari tadi rewel terus. Mungkin anggota badannya ada
yang sakit,” jawab Susi dengan masih bingung.
Mendengar jawaban itu membuat sang ibu menghampirinya.
“Sini biar ibu yang gendong,” pinta ibu paruh baya tersebut.
“Ayo.”
Susi pun memberikan anaknya.
Ibu itu lalu dengan hati-hati menggendong sambil mengayun si anak,
dan ajaibnya sang putri langsung terdiam dan mulai terlelap.
Tampaknya ibu paruh baya itu menimang dengan penuh kasih
sayang.
Dengan suara lirih dia menembangkan lagu.
****
Setelah beberapa saat
mereka pun kembali ke ruangan.
Begitu melihat sang putri terlelap, ibu tersebut menaruhnya
di atas kasur dengan sangat hati-hati. Lantas ibu itu pun pamit.
Susi dan Supriyanto
yang masih merasa aneh hanya terdiam melihat kejadian itu.
****
Sudah tiga malam Supriyanto
berada di rumah sakit.
Sementara itu, dokter yang menangani masih belum mengizinkan
membawa sang putri pulang mengingat kondisinya yang masih belum stabil. Kadang
normal, kadang masih terjadi demam tinggi. Dokter menyarankan jika sudah tidak
demam selama delapan jam maka barulah diperbolehkan rawat jalan, dan sudah tiga
malam ini pula Supriyanto dibantu oleh ibu paruh baya itu.
Ketika sang putri mereka rewel, entah siapa dan dari mana,
ibu tersebut muncul. Bahkan Supriyanto dan Susi tidak tahu siapa nama ibu
tersebut. Karena setiap kali ditanya, ibu itu hanya tersenyum lalu mengalihkan
pembicaraan yang kemudian pamit dan lantas pergi dengan tersenyum.
****
Di malam keempat.
Seperti biasa, setiap menjelang magrib sang putri pasti akan
menangis yang selalu membuat Supriyanto dan istrinya sibuk.
Ibu paruh baya akan datang ke kamar untuk membantu
menenangkan putri mereka lalu akan pergi saat anaknya sudah terlelap.
Akan tetapi, kali ini sebelum si ibu itu pergi, Supriyanto
memberanikan diri untuk berbasa-basi.
“Terima kasih banyak, Bu. Selama anak saya dirawat di sini
Ibu sudah banyak membantu kami,” ucap Supriyanto sopan.
Ibu itu tidak menjawab. Dia hanya menganggukkan kepala seraya
tersenyum.
“Mohon maaf sebelumnya jika saya lancang. Nama Ibu siapa dan
siapa yang sakit?” tanya Supriyanto ingin menuntaskan rasa penasarannya.
“Saya tinggal di kamar sebelah, Nak,” ucap sang ibu yang
lantas berpamitan.
Supriyanto tidak mendapatkan jawaban tidak menyambung dari si
ibu. Hanya saling pandang dengan Susi yang keheranan.
“Oh, mungkin dia salah satu keluarga dari pasien di kamar
sebelah, Mas,” ucap Susi kemudian.
Walaupun masih diliputi tanda tanya besar Supriyanto
mengiyakan perkataan sang istri.
Entah kenapa semenjak si ibu itu datang ada perasaan lain
yang Supriyanto dirasakan. Dia merasa seperti tidak asing dengan sosok tersebut.
Hatinya berbisik bahwa dia mengenal wanita tersebut. “Tapi, siapa dia?”
****
Keesokan harinya Supriyanto
pun menyusuri setiap lorong rumah sakit.
Tidak lupa dia mengamati setiap kamar untuk mencari sosok ibu
yang selama ini sudah membantunya. Akan tetapi, Supriyanto tidak menemukan ibu
tersebut. Dia tidak menjumpai orang yang dicarinya hingga diputuskanlah bertamu
pada salah satu kamar, yakni kamar yang paling dekat dengan kamar rawat inap
sang anak yang hanya terpisah oleh satu ruangan bermain. Di mana ruangan
tersebut sengaja disediakan oleh pihak rumah sakit untuk pasien anak-anak yang
dirawat.
Tok! Tok! Tok!
Setelah mengetuk pintu, Supriyanto meminta izin.
Supriyanto pun langsung masuk yang ternyata di dalam ruangan
hanya ada seorang wanita bersama anak lelakinya.
Anak tersebut sudah cukup sehat karena bermain sendiri di atas
karpet lantai juga tidak lagi terpasang selang infus di tangannya.
Sesaat setelah berbasa-basi dan dicoba menyelidik dengan
bertanya, “Mbak, ibunya ke mana?” tanya Supriyanto kepada perempuan yang
mengaku bernama Nia itu.
Nia menjawab bahwa ibunya sudah pulang selepas subuh tadi. Dia
menjelaskan kalau selama empat hari di rumah sakit ibunya datang menemani saat
malam hari saja. Pagi-pagi beliau pulang untuk beristirahat di rumah yang mana
rumah mereka memang dekat dengan rumah sakit dan bisa ditempuh dengan berjalan
kaki.
Supriyanto yang mendengar penjelasan dari anak itu akhirnya
merasa lega. Ternyata benar ibu yang selama ini membantu menenangkan anaknya
adalah ibu dari Nia.
“Tolong sampaikan ucapan terima kasih sebanyak-banyaknya pada
ibu yang baik karena selama ini sudah banyak membantu merawat anak saya,” ucap Supriyanto
sebelum berpamitan.
“Oh, ya, Mas. Nanti saya sampaikan sama ibu,” jawabnya.
No comments:
Post a Comment