ABU NAWAS TUAN HAKIM YANG MULIA
Menjelang pagi hari suasana kota Baghdad cukup ramai. Seperti biasanya, orang-orang berlalu lalang melakukan berbagai aktivitas mereka. Sementara Abu Nawas memutuskan untuk sedikit berkeliling di sekitar tempat ia tinggal.
Cuaca yang cerah seolah mendukung kegiatan Abu Nawas berjalan
keliling menyusuri kota. Sesekali dia tersenyum dan berhenti sejenak manakala
ada salah seorang menyapanya. Karena sikapnya ini tidak heran bila banyak orang
yang mengenalnya sebagai sosok yang ramah kepada siapa pun.
Meskipun Abu Nawas
terkenal sebagai cendekiawan pandai, belum lagi dia adalah penyair yang masyhur,
tapi Abu Nawas mau bergaul dengan siapa saja. Hal itulah yang membuat dirinya
dihormati dan disegani oleh masyarakat.
Saat sedang asyik menikmati suasana pagi, tanpa sengaja Abu
Nawas melewati depan rumah hakim. Rumahnya megah dan besar seperti layaknya
rumah pejabat pada umumnya.
Kebetulan Tuan Hakim sedang duduk santai di halaman rumahnya.
Hakim ini terkenal pandai dan sangat
bijak dalam memutuskan persoalan, bisa dikatakan dialah satu-satunya hakim
cendekiawan di kota Baghdad.
Melihat Abu Nawas lewat di depan rumahnya Tuan Hakim segera
menyapanya. “Hei, Abu Nawas! Mau ke mana?” tanya Tuan Hakim.
“Biasalah, Tuan. Jalan-jalan. Menghilangkan rasa suntuk,” jawab
Abu Nawas.
“Tunggu Abu, Nawas. Jangan pergi dulu! cegah Tuan Hakim.
“Memangnya ada apa, Tuan? Sepertinya penting sekali?” tanya
Abu Nawas.
“Sini mampir ke rumahku. Ada yang ingin saya tanyakan,” ujar
Tuan Hakim.
Abu Nawas lalu diajaknya masuk dan dipersilahkan duduk di
ruang tamu. Karena tidak terbiasa duduk di kursi yang empuk dan mewah, membuat
Abu Nawas agak canggung.
Hakim itu lalu mulai
mengutarakan pemikirannya kepada Abu Nawas. “Andainya manusia mau mematuhi
hukum dan etika, pastilah dunia menjadi aman dan tenteram.”
Mendengar ucapan Tuan Hakim, Abu Nawas buru-buru membantahnya.
“Bukan manusia yang mematuhi hukum, Tuan Hakim, tapi sebaliknya, justru
hukumlah yang seharusnya menyesuaikan kemanusiaan.”
Hakim mencoba berkelit untuk membenarkan pendapatnya. Ia
ingin menguji kecerdasan Abu Nawas dengan mengajaknya adu argumentasi.
“Begini saja, Abu Nawas. Anda, ‘kan terkenal sebagai
cendekiawan? Saya ingin dengar pendapat Anda, andainya Anda, disuruh memilih
kekayaan atau kebijaksanaan manakah yang akan Anda pilih?” tanya Tuan Hakim.
Tanpa berpikir panjang Abu Nawas langsung menjawabnya. “Tentu
saja saya pilih kekayaan.”
Mendengar jawaban tersebut Hakim menatap Abu Nawas dan tersenyum sinis, seolah
Abu Nawas tidak layak disebut sebagai cendekiawan.
“Sungguh sangat memalukan. Anda, adalah cendekiawan yang
diakui oleh masyarakat, tapi jawaban yang Anda katakan sama sekali tidak
mencerminkan seorang cendekiawan. Mengapa saya berkata demikian? Karena Anda,
lebih memilih kekayaan dibandingkan kebijaksanaan,” tutur Tuan Hakim, namun
dengan santainya Abu Nawas balik bertanya.
“Kalau Tuan sendiri apa yang akan Tuan pilih? Kekayaan atau
kebijaksanaan?”
“Tentu saja saya akan memilih kebijaksanaan,” jawab Tuan
Hakim tegas.
Sesaat Abu Nawas menatap Tuan Hakim dengan penuh senyuman,
lalu berkata. “Terbukti bukan? Semua orang akan memilih untuk mendapatkan apa
yang belum dimilikinya,” ujar Abu Nawas.
Abu Nawas pun menutup perbincangan mereka berdua dan pamit
pergi kepada Tuan Hakim.
Sementara Tuan Hakim tak bisa berkata apa-apa mendengar
penuturan Abu Nawas.
“Memang tidak salah kalau masyarakat menganggap Abu Nawas
sebagai cendekiawan yang pintar dan cerdik,” gumam Tuan Hakim dalam hati.
No comments:
Post a Comment