KADARSIH PERJANJIAN GAIB
TUMBAL PESUGIHAN INGKUNG
Susilo.
Terik mentari sangat menyengat. Tampak para penebang tebu
terus mengayunkan parangnya, membabat satu persatu tebu-tebu yang masih berdiri,
salah satunya adalah Susilo, pemuda dengan tubuh agak kurus itu mengusap
keringat yang mengalir bercucuran di keningnya.
Dia tahu betul bagaimana susahnya hidup sebatang kara. Tanpa
ada peninggalan apa pun dari kedua orang tuanya, selain rumah yang tidak layak
huni sekedar untuk berteduh.
Setiap musim panen tebu, dia selalu menjajal tenaganya untuk
ikut menebang agar bisa menyambung hidup.
Semenjak berusia 10 tahun ayahnya sudah meninggal karena
tertimpa pohon jati ketika sedang bekerja di ladang milik tetangganya, sejak
itu pula ibunya harus menjadi tulang punggung keluarga dengan satu anak yakni Susilo,
namun profesi sebagai buruh tani kurang dari cukup untuk menghidupi keluarga
kecilnya.
Ketika Susilo menginjak usia remaja, sosok ibu yang
menemaninya divonis sakit kanker dan pada akhirnya meninggal dunia.
Kini Susilo berusia 25 tahun, harus bertahan hidup dengan
caranya sendiri.
****
Menjelang sore hari, setelah usai menebang tebu-tebu uang
Rp75.000 dari saku sang juragan ia terima dengan hati bahagia.
“Alhamdulillah.”
Setelah itu ia berpamitan, lalu berjalan kaki menuju pulang.
Di pertigaan sebelum masuk ke desanya, ia berpapasan dengan
seorang gadis dengan rambut bergelombang. Gadis itu melirik tajam Susilo, akan tetapi
ia tetap berjalan agar sampai rumah.
****
Kadarsih.
Menjelang petang.
Gadis bernama Kadarsih itu masih penasaran, karena pemuda
yang diliriknya terlihat acuh, dan ini adalah pertemuan sekian kalinya, akan
tetapi tidak ada yang berubah pada Susilo, pemuda itu tetap tidak
menghiraukannya.
Ketika menuju malam, bintang-bintang di langit yang gemerlap
seakan tahu bagaimana isi hati Kadarsih, setelah menyelidik tentang sosok Susilo,
rasa cinta pun tidak bisa dihilangkan di dalam hatinya. Muncul kekaguman pada
pemuda tersebut.
Malam itu Kadarsih tidak bisa tidur. Dia memikirkan bagaimana
caranya untuk berkenalan dan mendapat simpati dari Susilo, dan ketika menemukan
satu cara dia pun tersenyum sendiri.
Di keesokan pagi Kadarsih sudah berada di jembatan pembatas
desa. Di sanalah dia menanti kedatangan Susilo tanpa menghiraukan pengguna
jalan yang lain.
Tidak lama berselang, sosok yang dinantinya pun muncul.
Terlihat Susilo berangkat menebang tebu milik juragannya, meskipun tubuhnya
agak kurus, namun dia terkenal dengan tenaganya yang kuat.
Akhirnya Tuhan mempertemukan mereka berdua di jembatan
sebelah barat desa. Kadarsih menyapa terlebih dahulu dengan mengajak berkenalan.
Memang Kadarsih bukanlah tipe gadis yang tertutup, tapi dia
cenderung lebih terbuka dan apa adanya.
Perkenalan dua insan itu pun terjadi di atas jembatan baru
pembatas desa mereka.
****
Sejak pertemuan pertama itulah Kadarsih dan Susilo sering mengobrol
dan semakin menjadi dekat, hingga Kadarsih yang sudah tidak sabar menunggu pun
mengutarakan perasaannya, bahwa dia ingin mengajak Susilo hidup bersama. Terjalinlah
asmara di antara mereka.
****
Setelah tahu hubungan anaknya dengan Susilo ayah Kadarsih
berusaha untuk menghalangi niat keduanya. Bukan karena Susilo miskin, tapi Pak Noto
melarang hubungan anaknya karena merasa kasihan kalau kelak hidup anaknya ikut
menderita karena punya suami seorang buruh.
Meski Pak Noto bukan orang kaya dia selalu memperhatikan bagaimana
nasib Kadarsih anak satu-satunya.
“Orang jatuh cinta, diikat pun akan lepas walaupun dengan
segala upaya.” Pak Noto dan istrinya melarang Kadarsih untuk menikah dengan Susilo,
tapi Kadarsih tetap pada pendiriannya.
Orang tua Kadarsih pun tidak bisa berbuat apa-apa selain
merestui hubungan putrinya.
****
Dengan acara ala
kadarnya, berlangsunglah pernikahan.
Susilo dan Kadarsih tidak ingin membebani mertuanya, dan
langsung memboyong Kadarsih ke rumah reot miliknya. Mereka berdua merasa
bahagia meski hidup dengan kekurangan.
****
Setelah membangun rumah
tangga lebih 2 tahun.
Mereka pun dikaruniai permata hati bayi laki-laki yang
sempurna terlahir dari rahim Kadarsih, namun semenjak itu pula kehidupan mereka
semakin sulit, bahkan pertengkaran mulai sering terjadi.
Prang!
“Opo mbok kiro gajimu dadi penebang tebu iku nyukupi, ha!”
“Sih, rungokno sek!”
“Males aku nek urep kere koyok ngene, Mas!”
“Sih, arep neng ndi kowe, ha!”
“Minggat!”
****
Suatu hari saat Kadarsih merasa sakit hati setelah terjadi
pertikaian dengan suaminya, dia putuskan ke rumah orang tuanya.
Sengaja dia meninggalkan putranya bersama Susilo di rumah,
lalu pergi tanpa pamit, tetapi Pak Noto yang masih sakit hati karena nasihatnya
tidak digubris malah mengumpat dan mencaci Kadarsih dengan kata-kata kasar.
Hal itu membuat Kadarsih meninggalkan rumah yang dulu
ditempatinya.
Dengan berlinang air mata dalam pikiran kalau dia terus berjalan
di antara suara geledek.
Ketika hujan turun deras dia langsung berlari mencari tempat
untuk berteduh. Dia yang tidak tahu keberadaannya saat itu mencari-cari rumah
terdekat dengan mengikuti jalan setapak yang licin. Dia tidak sadar bahwa telah
memasuki area rimba.
Setelah cukup jauh masuk ke dalam, dia melihat seseorang
berada beberapa meter di depannya. Sosok perempuan dengan memakai jarit dan berbaju
hitam itu dipanggilnya dengan berteriak.
“Hei, enteni!”
Akan tetapi, tidak
menoleh sedikit pun dan terus melangkahkan kaki.
Kadarsih mengikutinya.
Hingga setelah berjalan kurang lebih 10 menit sampailah di
sebuah gubuk di pinggiran sungai, sementara sosok yang dilihatnya sudah tidak
terlihat lagi.
Tanpa berpikir panjang Kadarsih yang kalut hatinya bergegas
masuk ke dalam gubuk yang kemudian kedatangannya disambut oleh seorang
perempuan tua wajahnya keriput menyeramkan, rambutnya putih digelung, sedangkan
mulutnya disumbat dengan tembakau.
Dengan basah kuyup Kadarsih mengucap permisi lalu beranjak
mendekati wanita tua itu.
Kadarsih memperkenalkan diri, sementara perempuan itu hanya
terdiam sambil menatapnya tajam.
Tidak berselang lama muncul seorang wanita muda yang membawa
sebuah ingkung dikelilingi beberapa rupa kembang. Tampak pula bubur merah di
samping ingkung tersebut. Disusul kemudian kemunculan seorang wanita dengan
pakaian yang sama membawakan baju kering untuk ganti pakaian Kadarsih.
Dalam keadaan bingung Kadarsih menuruti perkataan perempuan
tua itu untuk berganti pakaian.
Setelah selesai, Kadarsih duduk di depan ingkung yang berada
di depan dengan perempuan tua, sedangkan dua wanita muda sudah kembali masuk ke
dalam.
Setelah itu bersamaan dengan suara geledek yang sangat keras Kadarsih
melahap ingkung sesuai permintaan perempuan tua tersebut.
****
Sesaat kemudian hujan
telah mereda.
Kadarsih yang usai makan bubur dan ingkung langsung teringat
dengan buah hati yang ditinggalkan, segera dia berpamitan untuk pulang dengan
diantar oleh dua wanita muda tadi.
Kadarsih melakukan perjalanan di hari yang mulai gelap. Dia
mengikuti langkah kedua wanita tersebut yang cukup cepat meski medannya licin.
Ketika hampir sampai di penghujung jalan setapak, keduanya
berhenti sambil berpamitan pada Kadarsih.
Entah apa yang dirasakan oleh Kadarsih, tapi yang jelas dia
seperti masuk ke alam lain.
Kesadarannya tidak sempurna, pada saat dia hendak bertanya
tentang apa yang terjadi, dua wanita itu telah lenyap tanpa jejak.
****
Saat tiba di rumah.
Kadarsih melihat para tetangganya ramai. Kadarsih pun
menangis sejati-jadinya ketika tahu putranya telah meninggal dunia.
Dengan terisak dia minta maaf pada Susilo.
Kadarsih benar-benar menyesal tidak mendampingi putranya saat
maut menjemput.
Menurut Susilo putranya mendadak kejang-kejang ketika
mendengar suara geledek yang sangat keras. Belum sempat mencari bantuan
putarnya sudah dulu tidak bernafas.
Meskipun diliputi penyesalan namun, Kadarsih tidak mau
berlarut dalam kesedihan.
Setelah 100 hari kematian anaknya, dia memulai hidup yang
lebih baik dengan Susilo.
Rumah tangga yang dibangun di atas dasar cinta itu kembali
dipenuhi kebahagiaan.
****
Hari terus bergulir.
Karena Susilo yang tidak kunjung mendapat pekerjaan setelah
memutuskan untuk tak lagi menjadi penebang tebu, maka Kadarsih mendapat ide
untuk membuka warung nasi kuning kecil-kecilan dengan uang tabungannya. Ide itu
muncul begitu saja yang langsung disetujui oleh Susilo.
****
Warung nasi kuning di
emperan rumahnya.
Hari pertama berjualan dagangannya hanya tersisa sedikit.
Hari kedua dagangannya habis tidak tersisa.
Dan hari-hari selanjutnya selalu laris manis, hingga terjual
habis.
Rezeki pun mengalir dengan deras.
****
Selang 5 bulan.
Kadarsih membeli lahan di samping jalan besar. Di sana dibangun
warung dan rumah yang tergolong mapan. Sedangkan rumah lama Susilo dibongkar.
Warung nasi yang dibangun cukup besar. Tiga pelayan termasuk
tukang cuci piring melengkapi warungnya.
Kebahagiaan keluarga Susilo bertambah lengkap ketika kembali
hadir seorang anak perempuan yang sempurna.
Mereka benar-benar bersyukur atas karunia yang diberikan oleh
Tuhan. Rasanya nasib itu berubah dengan sangat cepat. Yang semula berada dalam
keterpurukan, dalam hitungan bulan langsung menanjak menjadi orang terkaya di
desa.
Sebenarnya Kadarsih sadar bahwa di setiap keuntungan yang
didapat dia selalu memperoleh hasil yang berlipat. Dia sendiri tidak tahu dari
mana datangnya uang lebih tersebut, dan setiap kali pikirannya mengulas maka
kejadian janggal di gubuk dalam rimba dulu selalu menjadi jawaban.
Dia yakin ada kaitannya dengan kejadian itu, namun selama Susilo
masih belum sadar dengan harta yang didapat, selama itu pula Kadarsih menyimpan
rahasia itu.
****
Hari terus berlanjut.
Kekayaan Kadarsih semakin menjadi, hingga suatu hari Kadarsih
dikejutkan dengan kedatangan perempuan
tua dan dua wanita muda di warungnya. Dia ingat betul jika mereka adalah sosok
yang dijumpainya dulu, sosok yang menyuruhnya makan ingkung ketika tersesat di
sebuah gubuk pinggir sungai.
Segera Kadarsih menemui mereka.
Dia terkejut bukan kepalang ketika perempuan tua itu meminta
imbal balik.
Kadarsih yang merasa tidak paham mencari tahu apa maksud dari
ucapan tersebut.
Perempuan tua itu memberitahukan bahwa berpuluh-puluh tahun
yang lalu pendahulu Kadarsih telah mengikat perjanjian gaib, bahwasanya akan
ada keturunannya yang datang ke lokasi ritual dan orang itulah yang akan
menerima isi perjanjian tentang pesugihan.
Mau tidak mau dia harus mengambil sumpah yang sudah terjadi,
hanya saja ada imbal balik ketika harta sudah melebihi batas, imbal balik itu
adalah nyawanya sendiri dan perjanjian tersebut tidak akan berhenti. Setelah semua berakhir, entah kapan lagi garis
keturunannya akan memiliki nasib yang sama.
Mendengar itu Kadarsih menjadi tegang, dia bingung sekaligus
khawatir akan nyawanya.
“Sih, anakmu iki lho kudu nyusu,” ucap Susilo mengagetkan.
Kadarsih terenyak, ketika sadar tidak ada siapa pun di hadapannya.
Semua wanita tersebut mendadak lenyap entah ke mana.
Saat bertanya pada Susilo maupun pelayannya, semua tidak ada
yang melihat kedatangan wanita tersebut.
“Dari tadi Ibu, sendirian duduk di bangku, Bu,” jawab salah
satu pelayannya.
Kadarsih yang bingung langsung mengajak Susilo keluar, dibawa
sang suami ke jembatan pembatas desa di mana mereka bertemu pertama kali. Di
sana Kadarsih menceritakan tentang kejadian yang dialaminya.
Dengan berderai air mata Kadarsih merasa menyesal telah
menemui hari sial itu.
Kadarsih masih mencoba berpikir untuk mencari jalan keluar
dari masalah perjanjian gaib yang dilakukan oleh pendahulunya.
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kemunculan seekor ular Welang
yang merayap menuju kaki Kadarsih. Dia langsung berlari kecil menghindar seraya
berteriak ketakutan.
“Akh!”
“Ular, Mas. Ular!”
Namun naas, dia terpeleset hingga terjatuh ke dasar sungai.
“Akh!”
Byur!
Kepalanya membentur batuan besar yang membuatnya meninggal
dunia dengan bersimbah darah.
****
5 tahun kemudian.
Dari jendela kamar Susilo menyaksikan istrinya bermain
bersama putrinya. Seketika ia teringat Kadarsih ibu kandung putrinya itu.
Setelah kematian Kadarsih, secara berturut-turut Pak Noto dan
istrinya juga meninggal dunia.
Gunjingan warga pun bertebaran perihal harta yang dimiliki Susilo.
Demi kebaikan diri, Susilo memutuskan keluar kampung dan
merantau ke pulau seberang. Dia tinggalkan semua harta dan memilih memulai
hidup baru bersama keluarga baru di perantauan.
Dia tidak akan melupakan sosok Kadarsih dalam hidupnya.
****
Setahun berlalu.
Ketika ada kabar bahwa bekas rumahnya di desa akan digusur
dan digunakan untuk pembangunan jalan tol, Susilo minta agar hasil penggusuran
itu digunakan untuk pembangunan Madrasah dan lokasinya di lahan rumah mewahnya
berdiri waktu itu. Mungkin rumah tersebut sudah hancur karena tidak terawat.
Susilo menghela napas panjang lalu tersenyum ketika istri
keduanya itu mencium sang buah hati dengan penuh kasih sayang.
Tak lama berselang istrinya berlalu seraya mengajak anaknya.
Sejenak kemudian Susilo membuka kertas bertuliskan tangan,
itu adalah wasiat terakhir istrinya yang tidak lain adalah tulisan Kadarsih.
Susilo yakin, sebelum meninggal dunia, istrinya telah
dihantui tentang kematian, sehingga ditulislah surat tersebut.
Susilo membaca untuk sekian kali dengan mata berkaca-kaca.
“Mas, nek pengen omah-omah meneh, aku njaluk tulung. Gemateni
wong kuwi koyo Sampean gemati neng aku, lan pesenku ojo lalekno aku yo, Mas.”
TAMAT
No comments:
Post a Comment