MISTERI SULIKAH
MISTERI RUMAH GERIBIK (EPISODE 1)
“Apalagi yang harus kita lakukan, Mas. Sudah terlalu banyak
usaha yang telah kita coba, tapi mengapa Tuhan belum juga mengabulkan, ya,”
ucap Sri dengan murung.
“Aku tidak sanggup berpikir lagi,” Yadi menjawab dengan lirih.
Terlihat sepasang suami-istri itu mulai putus asa.
Hari ini adalah tepat 10 tahun mereka menjalani hidup sebagai
sepasang suami istri. Sri memegangi kalender sambil mengelus tanggal yang
ditandai bundaran spidol merah. Sri mengenang saat suaminya mengucap ijab kabul
tersebut kala itu, di mana masa-masa bahagia baginya.
Awal pernikahan mereka, Yadi yang bekerja di pabrik rokok
mampu memberikan materi berlebih, bahkan karier Yadi yang semakin bagus
mengantar mereka membeli rumah yang megah yang sebelumnya yaitu hidup pas-pasan
dikontrakkan.
Perabotan di dalam rumah pun semua berkelas, tapi semua
kemewahan itu kurang melengkapi kebahagiaan mereka, dikarenakan sampai saat ini
mereka belum dikaruniai buah hati.
Mereka sudah sering ke beberapa dokter spesialis, namun semua
mengatakan hal yang sama bahwa tidak perlu ada yang dikhawatirkan karena
kondisi mereka baik dan sama-sama subur.
Sri dan suaminya juga mendatangi banyak dukun maupun ahli
pijat janin, tapi tetap saja belum ada tanda-tanda kehamilan yang dinanti.
Sampai sekarang pun Sri masih minum ramuan perangsang
kehamilan, berharap mendapat momongan seperti pasangan lain.
Sri merasa kesepian apalagi saat suaminya bekerja dia hanya
menyibukkan diri di rumah untuk menghilangkan kejenuhan.
“Seperti usulku yang lalu, kita adopsi anak saja. Karena
menurut kepercayaan orang zaman dulu, itu akan memancing kamu agar segera hamil.”
Yadi melanjutkan ucapannya.
Sri terdiam sejenak sambil berpikir.
“Baiklah, Mas. Mungkin hanya itu jalan keluar dari masalah
kita, apalagi kita ini makin berumur, Mas. Kalau ditunda-tunda terus keburu tua
kita nanti, Mas.”
Pembicaraan mereka terhenti. Sudah ada jalan keluar dari
permasalahan panjang yang mereka hadapi, yang pada akhirnya diputuskanlah untuk
menemui orang tua mereka di kampung, berharap ada keluarga yang memberikan bayi
mereka untuk dijadikan anak asuh.
****
Gerimis menemani sepanjang perjalanan mereka menuju kampung
halaman. Butuh waktu 3-4 jam untuk tiba di sana.
Rumah orang tua mereka berdekatan, hanya berjarak beberapa
meter saja.
Saat menikah dulu, teman-teman mereka menyebut Gopekgo atau
tonggo ngepek tonggo.
****
Singkat waktu.
Tidak terasa mereka sudah tiba di halaman rumah. Gerimis
sudah hilang meski mendung masih pekat menyelimuti.
Begitu mendengar suara mobil berhenti, orang tua Sri keluar
rumah menyambut kedatangan anaknya. “Kok nggak ngabarin dulu toh, Nduk,” sambut
sang ibu setelah barang bawaan dan sekardus oleh-oleh diturunkan Yadi, dan Sri
langsung masuk rumah.
Orang tua Yadi yang melihat kedatangan anaknya ikut bergabung
di sana, maklumlah rumah mereka sangat dekat sehingga kehadiran mereka terlihat
dari sana.
Beberapa saat kemudian orang tua Yadi kembali muncul membawa
minuman kopi panas dan makanan kecil.
“Monggo di ujuk ryien,” ucap sang ibu sopan.
Setelah minum sedikit
kopi, Yadi mulai angkat bicara. Tanpa banyak basa-basi lagi dia menceritakan
tentang keluh kesahnya selama ini.
Tujuan mereka datang tanpa memberi kabar adalah mencari anak
untuk diadopsi.
“Kalau mungkin dari salah satu keluarga ada yang mau
menyerahkan anaknya, besok ayah akan mencari informasi tentang hal itu ucap,”
ayahnya Yadi.
Orang tua Sri saling melempar pendapat.
Pembicaraan keluarga mereka mengenai mencari seseorang yang
mungkin saja anaknya bisa dijadikan anak angkat tentu melalui pertimbangan
bibit dan bobot, bukan asal-asalan.
Mereka mulai berpikir keras untuk mendapatkannya, mencari
yang berasal dari keluarga baik-baik tidak anak dari hubungan gelap.
Beberapa saat kemudian pembicaraan serius itu berakhir. Mereka
tidak mau terlarut dalam ketegangan. Rasa rindu orang tua dan anak membawa
topik obrolan yang lebih ringan. Sesekali terdengar tawa mereka dalam gerimis
yang kembali datang.
****
Hujan sangat deras setelah selesai salat Isya. Yadi dan
istrinya bersiap untuk pulang. Mereka harus kecewa karena tidak menemukan seorang
anak seperti yang diharapkan.
Hujan yang disertai petir itu tidaklah menghalangi niat
mereka untuk pulang. “Mbok ya pulangnya nanti saja kalau hujannya sudah reda. Bahaya
lho.” ibunya Sri berucap dengan nada khawatir sewaktu mereka pamit.
Setelah bersalaman dengan seluruh sanak keluarga yang
berkumpul, mereka pun pamit dan segera melaju.
Suara petir yang saling mengejar membawa suasana lain dihati Yadi
maupun Sri. Mereka saling diam, musik dalam mobil pun tidak mereka menyalahkan.
Selama perjalanan pulang hujan mulai reda. Tampak jalanan
dipenuhi genangan air. Sesekali mereka dikagetkan dengan lubang di jalan yang
menggoyang mobil mereka. Yadi pun mulai mengurangi kecepatan dan mobil berjalan
pelan.
Pandangan mereka tertuju pada rumah sangat tua yang terbuat
dari anyaman bambu. Tak hanya dengan lampu templok di tiang kayu depan yang
memberi penerangan, pada rumah itu tampak dari dalam seorang perempuan yang
hanya memakai jarit sampai bawah ketiak, menggendong bayi.
Perempuan itu menimang sebentar lalu diletakkannya bayi di
bangku bambu teras rumah. Perempuan itu sejenak memandang mobil mereka, lalu
dia kembali masuk rumah dengan meninggalkan sang bayi dan menutup pintu.
Sungguh aneh, bayi itu dibiarkan sendirian di rumah dalam
cuaca dingin.
Bersamaan dengan itu mobil tadi tiba-tiba mogok tepat di depan
rumah tersebut. Yadi coba starter berulang-ulang, tapi tetap tidak menyalah.
“Kenapa, Mas?” tanya Sri diliputi ketegangan.
Akhirnya mereka keluar dari mobil berdua, menembus gerimis
rintiknya, menuju rumah geribik itu.
BERSAMBUNG KE EPISODE 2
No comments:
Post a Comment