KATEMI
SANG PENARI
Gemuruh suara ombak terdengar menjelang fajar.
Sebuah kapal dengan beberapa penumpang wanita baru saja tiba
di pesisir. Dengan hati-hati para algojo mengawal mereka turun dari geladak.
“Bagaimana?” tanya salah seorang pria berjanggut tebal begitu
melihat anak buahnya datang bersama bawaan.
Sementara yang ditanya hanya menggelengkan kepala saja. Rupanya
mereka tidak mampu mengejar dan menangkap salah satu wanita yang berhasil kabur.
“Oh. Ya, sudahlah. Kita cari mereka nanti. Kalau hari sudah
terang, kita sisir kampung sekitar.”
Kemudian semua kembali pada posisi masing-masing. Itulah yang
dikerjakan oleh Jenggot dan kawannya. Mereka membawa gadis-gadis untuk dijual
pada para Kompeni.
Selain dijadikan pemuas nafsu ada juga yang dijadikan
pembantu maupun penari penghibur dan di pagi itu mereka memindahkan beberapa
wanita untuk para petinggi Kompeni, yang mana mereka dipindah dari Rembang ke
kawasan Kalimantan, tepatnya di kota Pontianak. Para serdadu Kompeni di sini
lebih suka gadis-gadis asal Jawa.
****
Sementara itu di sepanjang belantara sekitar pesisir, seorang
perempuan dengan bergaun putih terus berlari dari kejaran para antek Demang
Karto.
Tanpa peduli nafasnya yang makin terengah-engah. Perempuan
itu masih memakai kemban jarit yang berisi pakaian, ditenteng di tangan kanan
dengan kuat.
Sejenak dia menoleh ke belakang sambil menahan rasa sakit. Dia
sembunyi di semak-semak dengan mengamati kondisi di sekitar.
Ada raut wajah khawatir membaur dengan rasa takut luar biasa,
dia takut jika para antek Demang Karto mampu mengejarnya.
“Maturnuwun, Gusti,” ucapnya saat tahu tidak ada seorang pun
membayangi.
Perempuan itu duduk beristirahat. Dielus perutnya dengan
perlahan-lahan.
Dia adalah Katemi salah satu wanita yang kabur menghindari kejaran
para antek-antek Demang Karto.
Dengan nafasnya masih memburu, Katemi mulai menitikkan air mata. Dia mengenang
sepanjang jalan hidupnya yang berliku.
****
Dikisahkan.
Katemi terlahir dari keluarga miskin di pesisir pantai. Orang
tuanya meninggal dalam sebuah pertempuran. Dia diasuh oleh pakdenya.
Sejak itu pula dia mengenal dan mulai menekuni seni tari
secara diam-diam, maklumlah budenya merupakan seorang penari keliling.
Untuk mencari nafkah yang di masa itu, sosok penari
dibaratkan sebagai pelacur, karena mereka harus mau dicolek dan harus mau
menemani para Kompeni. Pekerjaan itu bahkan banyak yang berakhir di atas
ranjang.
Apa mau dikata, pakdenya yang tidak mampu bekerja di zaman
yang serba susah harus merelakan sang istri melakukan pekerjaan tersebut.
Sering kali pakdenya menasihati agar tak lagi menjadi penari,
tapi selalu terpojok dengan amarah sang istri hingga pekerjaan sebagai seorang
penari terus berlanjut
Meski begitu, Katemi yang tumbuh remaja selalu mengagumi akan
keluwesan para penari tersebut, termasuk budenya. Dia pun selalu bermimpi akan
menjadi ratu penari di suatu hari nanti.
Seiring berjalannya waktu Katemi sering ikut budenya dalam
menemani pentas. Dia tidak menggubris larang pakdenya agar menjauh dari
pekerjaan tersebut. Ia bahkan menonton setiap kali ada pertunjukan, dan memilih
tidak mematuhi ucapan pakdenya.
Katemi pun mulai menapaki jejak budenya. Meski masih
jarang-jarang, namun dia mulai menunjukkan daya tariknya dalam menari.
Hingga di suatu malam, saat dia ikut dalam pertunjukkan,
wajahnya yang polos mampu menarik hati seorang Demang. Mereka berdua saling
bertatap. Mata genit antek Belanda itu ternyata mampu meluluhkan hati Katemi.
Tidak memandang usia, Katemi pun menaruh perasaan cinta pada Demang
Karto.
Hal itu yang diketahui warga dan anak buah Demang Karto membuat
para penduduk juga pasukan Kompeni menjauhi area di mana Katemi menari.
Mereka tidak ingin berurusan dengan Demang Karto yang
dianggap memiliki kedigdayaan tinggi dan punya centeng yang cukup banyak, termasuk
dukungan para Kompeni Belanda.
Suatu hari Demang Karto berhasil menemukan rumah budenya
Katemi, dan meminta Katemi untuk dijadikan istrinya.
Akan tetapi pakdenya yang mulai sakit-sakitan menolak. Beliau
merasa eman jika keponakannya yang terbilang cukup cantik itu harus jatuh di pelukan
buaya sekelas Demang Karto.
Demang Karto sendiri usianya jauh lebih tua, istrinya juga di
mana-mana, baik yang dinikahi secara resmi, siri, maupun sebagai simpanan.
Pakdenya sudah bisa menebak jika Katemi tidak akan merasa
bahagia.
Sementara budenya berbeda pendapat. Dia mendukung keputusan
Katemi untuk mau dijadikan istri Demang Karto, karena jika menjadi istri Demang
tentu derajat mereka naik di mata warga, kebutuhan hidup juga pasti akan
tercukupi.
Perdebatan antara suami-istri yang mengasuh Katemi dan keputusan
itu lahir dari hati Katemi.
Dia berkata, “Nyuwun sewu. Ngapunten, Pakde. Kulo tetep milih
Demang Karto dadi bojo kulo,” ucapan Katemi membuat budenya tersenyum.
Jelas kalau cinta adalah tentang perasaan, tidak memandang
usia, termasuk sikap pakdenya tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Pakdenya hanya
berdoa agar keputusan yang diambil keponakannya adalah sesuatu yang terbaik
meskipun bukan itu harapannya.
****
Terjadilah pernikahan
tersebut.
Katemi dijadikan istri sah kelima oleh Demang Karto, namun
tidak tinggal serumah. Hanya dua orang istri Demang Karto saja yakni Marni dan Katemi.
Sedangkan yang lain sudah di rumah masing-masing untuk ditinggali.
Kedua istri muda Demang itu pun Harus bersaing menjadi yang
terbaik.
Katemi sendiri diharuskan
berhenti sebagai penari sejak saat itu juga.
Hari berlanjut. Setiap tamu Demang Karto yang datang
kebanyakan memuji kecantikan Katemi yang semakin beranjak dewasa.
Katemi semakin menebar pesona yang membuat siapa pun yang
memandang akan tertarik, namun sayang hingga beberapa tahun menjalin rumah
tangga dia belum bisa memberikan keturunan.
Berbeda dengan istri-istri yang lain yang telah memberinya
momongan. Dari hal itu membuatnya waswas jika sikap Demang Karto akan berubah.
Kalau soal wanita lain, sudah dapat dipastikan jika Demang
Karto pasti mempunyai simpanan, namun selama ini Katemi tetap menjadi yang
dimanja oleh Demang Karto.
Karena pikirannya selalu dipenuhi rasa khawatir, Katemi bersama
salah satu pembantunya datang pada seorang dukun atas saran dari pembantunya itu Katemi minta
ramuan agar secepatnya memiliki keturunan.
****
Setelah sampai di rumah
dukun.
“Simpenen neng ngisor kasur anggunmu turu, yo. Ojo ngasi bojomu
nemokne bungkusan iki,” pesan sang dukun yang kerap dipanggil Nyi Bayan sambil
tersenyum.
Sebelum beranjak pulang obrolan terjadi di antara mereka. Nyi
Bayan yang tanpa sudah sepuh itu menawarkan keilmuannya dimiliki pada Katemi. Kalau
Katemi bersedia, Nyi Bayan akan mewariskan seluruh keilmuan.
Menurut Nyi Bayan, Katemi bakalan mampu menguasai semua ilmu
yang dikuasai.
Katemi yang merasa belum siap atau memang tidak berminat
dengan halus menolak keinginan Nyi Bayan.
“Yo wes. Reneo kapan wae nek pikiranmu rubah, Nduk,” ucap Nyi
Bayan.
Saat Katemi berpamitan, Katemi sendiri tidak berjanji, tapi
dia akan memikirkan tawaran tersebut.
No comments:
Post a Comment