PESUGIHAN MBAH WENGKI
Pesugihan Demit Ketek
Setelah bekerja hampir 6 tahun akhirnya Mukadim dipercaya
memegang perusahaan yang didambakannya menjadi kenyataan.
Di bawah komandonya perusahaan tersebut maju dengan pesat,
namun roda kehidupan terus berputar, ternyata tidak selamanya rezeki itu
berpihak padanya, hingga sesuatu hal tidak diinginkan pun terjadi. Perusahaan
itu mengalami kebangkrutan. Semua aset dilelang dan Mukadim pun mendapat
tunjangan tidak sesuai yang diharapkan.
Nasib buruk itu berdampak pada kehidupan keluarganya. Putra
sulungnya membutuhkan biaya masuk perguruan tinggi, sedangkan putra kedua harus
menjalani operasi tulang paha setelah mengalami kecelakaan sepeda motor.
Selain itu Mukadim juga harus mempersiapkan biaya untuk kelahiran
istrinya yang mana sudah memasuki bulan ketujuh kehamilan.
Banyaknya kebutuhan tersebut membuat Mukadim kebingungan. Tabungannya
juga sudah menipis akibat pengeluaran dadakan dalam 2 bulan terakhir.
Beberapa kali Mukadim menghubungi kawan-kawannya untuk
mencarikan pekerjaan, namun tidak ada lowongan baginya.
Dia pun pinjam uang sana sini untuk menutupi segala kebutuhan,
tapi bukannya mengurangi beban justru menambah beban baru.
Dalam kebingungan dan rasa putus asa yang mendera, satu malam
dia bermimpi tentang satu tempat yang bisa membantunya menemukan jalan keluar,
karena merasa penasaran Mukadim pun menyelidiki lokasi di dalam mimpinya itu.
Ternyata tempat keramat itu memang benar-benar ada.
Untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan makhluk
astral dia pun berpikir sampai beberapa hari. Yang pada akhirnya dia pun
kembali mendatangi tempat keramat tersebut.
Kali ini dia ingin menyelidiki lebih jauh tentang tempat
tersebut. Ketika sampai di lokasi, pikirannya mendadak tidak menentu. Dia pun
terpengaruh dengan bisikan iblis yang menyeretnya ke dalam dunia gelap.
Mukadim berjumpa dengan lelaki tua yang mengaku sebagai juru
kunci tempat tersebut dan terjadilah satu penawaran tentang ritual mendapat
harta yang berlimpah.
Sang juru kunci memberikan saran demi kesuksesan Mukadim di
kemudian hari sehingga dia menjadi orang terpandang dan memiliki harta yang
melimpah, dan mimpi itu menjadi kesempatan bagi Mukadim karena tidak semua
orang yang melakukan ritual pasti akan berhasil, hanya orang tertentu saja yang
disukai Mbah Wengki. Dalam keadaan bingung serta putus asa Mukadim pun
melaksanakan apa yang diucapkan lelaki tua itu.
****
Ritual dilakukan di
tempat terbuka.
Di atas batu besar pinggiran sungai yang tidak jauh dari sana
terdapat sebuah pohon asam yang cukup besar Mukadim mulai bersemadi.
Ketika mendekati tengah malam.
Menurut sang juru kunci, Mukadim memang berjodoh maka dia
akan ditemui oleh Mbah Wengki yakni sosok siluman monyet. Jika sudah bertemu
barulah ada syarat khusus yang harus dilaksanakan.
Cukup lama ritual itu berlangsung dan ketika waktu memasuki
dini hari barulah terdengar bisikan agar Mukadim membuka mata.
Jantungnya berdebar tidak karuan ketika di hadapannya muncul
sosok monyet berbulu gelap. Matanya tajam menyala, sedangkan taringnya
menyeringai keluar.
Sesaat kemudian sosok tersebut melompat dan hilang di
kegelapan.
“Sekarang pulanglah. Rezekimu sudah diantar ke rumahmu.”
Di antara gemercik air sungai Mukadim mendengar suara itu
menggema dengan cukup jelas.
****
4 hari berlalu.
Mukadim belum mendapatkan apa pun dari ritualnya. Rasa waswas
menggelayut di pikirannya. Yang diinginkan adalah, apa yang dipinta segera
terkabul.
Hari itu ketika melewati tengah malam Mukadim yang terjaga
dari tidurnya mendengar namanya dipanggil sebanyak tiga kali. Suara agak berat
itu berasal dari samping rumahnya.
Mukadim beranjak lalu menuju kamar yang ada dapur.
Untuk memastikan dia pun membuka jendela kamar yang digunakan
untuk menyimpan alat-alat rumah itu.
Pada saat hendak menengok keluar, tiba-tiba seberkas cahaya
masuk melalui jendela tersebut. Perlahan cahaya tersebut menjadi kepulauan
asap, dan lambat laut membentuk sosok makhluk gaib bertemu tinggi besar.
Jelas kalau siluman monyet itu bukan yang ia temui sewaktu
menjalankan ritualnya kali ini sosok itu terlihat lebih garang dan menyeramkan.
Seketika Mukadim gemetar disusul keringat dingin membasahi
seluruh tubuhnya.
Sejenak suasana mencekam.
Sosok siluman monyet itu kemudian menunjuk sebuah karung
besar yang terletak di antara barang-barang di dalam kamarnya itu.
Pandangan Mukadim langsung mengarah pada karung tersebut,
lalu dia mendengar suara menggema yang mana isi karung itu bisa dipergunakan
dua hari lagi, namun dengan satu syarat anaknya yang sulung akan diambil
sebagai tumbal.
Mukadim kembali menoleh hendak protes, namun makhluk gaib itu
sudah lenyap entah ke mana.
Mukadim hanya terdiam di tempat. Dadanya bergemuruh. Dia
kebingungan atas apa yang telah diperbuatnya. Sama sekali dia tidak menyangka
jika syarat yang harus dipenuhi adalah menumbalkan darah dagingnya sendiri dan
kenapa bukan orang lain yang dibencinya.
Untuk beberapa saat dilihatnya karung besar penuh isi itu
kemudian dia keluar dan mengunci kamar tersebut.
Di keesokan hari Mukadim coba menyembunyikan ketakutannya. Dia
terus memikirkan tentang apa yang harus dilakukan agar tidak ada penyesalan di
kemudian hari.
Dia mendengar radio yang berasal dari tetangganya secara
kebetulan Channel itu menyarankan pengajian yang diasuh oleh seorang Kiai cukup
ternama dan secara kebetulan pula isi ceramah menyangkut tentang pesugihan.
Dari situlah hati Mukadim terenyuh. Matanya berkaca-kaca
ketika ingat Tuhan.
Selama ini dia jauh dari kewajiban agama, bahkan dia tidak
menjadi kepala keluarga yang mengarahkan istri dan anak-anaknya pada agama,
hanya urusan duniawi saja yang dikejar dari situlah Mukadim memutuskan untuk
membatalkan niatnya.
Tanpa membuang waktu Mukadim berkemas lalu menuju lokasi
tempat menjalankan ritual.
Sesampai di pohon besar dia bertemu dengan sang suruh kunci
yang duduk bersila di sana. Mukadim langsung mengucap salam dan duduk di
hadapannya disusul kemudian menceritakan tentang apa yang terjadi setelah ia
melakukan ritual dan dengan tegas Mukadim memberitahukan bahwa kedatangannya
adalah untuk membatalkan niatnya. Dia tidak mau jika anak yang sangat dicintai
harus dikorbankan.
Sang juru kunci tidak berucap sepatah kata pun, dan setelah
mampu menguasai keadaan barulah dia bertutur.
Sang juru kunci yang ternyata dari luar kota itu menceritakan
tentang asal siapa dirinya yang menjadi penunggu lokasi tersebut pada sekitar
tahun 1970. Dia mengalami kehancuran hidup yang membuatnya putus harapan. Usahanya
bangkrut disusul dengan kepergian istrinya bersama pria lain, sedangkan dia
terlilit hutang pada beberapa rentenir.
Karena setiap hari didatangi para rentenir maka dia pun pergi
tanpa tujuan. Rasa putus asa membuatnya ingin mendapat harta secara instan
bahkan demi kebahagiaan anak-anaknya dia rela juga harus dimakan demit dan nyawanya
ditukar dengan harta yang melimpah, dan langkah kakinya membawa pada tempat
yang sekarang ditinggali.
Dia pun melakukan ritual dan bertemulah dengan sosok siluman
monyet pembawa pesugihan yakni Mbah Wengki akan tetapi dia harus menumbalkan
anak-anaknya demi mendapat harta yang dipinta. Sama seperti Mukadim, dia pun
menolak dan membatalkan niatnya, akan tetapi ada syarat yang harus dilakukan
yakni menjadi pesuruh Mbah Wengki.
Pada akhirnya dia putuskan bertempat tinggal di sana dan
menjadi orang yang menyalurkan para pendatang dengan alamat pesugihan.
“Itu adalah syaratnya, dan kamu harus bersedia menjadi
pesuruh Mbah Wengki.”
Sang juru kunci menjelaskan karena tahu apa yang dirasakan
oleh Mukadim.
Mukadim terpaku menyesali apa yang telah diperbuat. Pikirannya
semakin tidak menentu sejenak kemudian sang juru kunci menyuruhnya bermalam
karena dia akan berusaha menemui Mbah Wengki dan meminta yang terbaik untuk Mukadim.
Tidak ada yang bisa dilakukan Mukadim selain menyetujui
permintaan sang juru kunci.
****
Malam beranjak mendekati sempurna gemercik air sungai
terlihat berkilau disentuh cahaya bulan yang lebih separuh.
Mukadim yang agak jauh dari tempat sang juru kunci bersemadi
ternyata ketika mendengar suara monyet yang sangat berisik. Tidak tampak apa pun
hanya suara saja yang ia dengar. Mukadim berharap usaha sang juru kunci untuk
kebaikannya akan berhasil.
Setelah beberapa saat sang juru kunci menemuinya. Sosok
lelaki tua itu tersenyum lalu memberitahukan kesepakatan baru yang harus
dilakukan oleh Mukadim. Kesepakatan tersebut adalah Mukadim harus mampu mencari
pengganti dirinya sebelum malam Jumat Kliwon, tepatnya adalah 8 hari kemudian.
Apabila Mukadim gagal, maka dia harus merelakan jiwanya menjadi abdi Mbah
Wengki.
****
Setelah malam itu.
Hari-hari menegangkan dilalui oleh Mukadim yang di pikirannya
bukan pekerjaan ataupun keluarga lagi tapi terfokus pada seseorang yang mencari
pesugihan. Dia berkeliling ke tempat wingit berharap bertemu dengan seseorang
yang belum terkabulkan ritualnya, namun seminggu berupaya belum juga menemukan
seseorang yang ingin bersekutu dengan iblis.
Di tengah keputusannya Mukadim melakukan tobat yang tulus. Di
tengah salat malam dia menangis penuh penyesalan. Jika memang takdirnya
meninggal dunia maka dia ingin meninggal dengan cara yang wajar dan tidak
menjadi abdi iblis. Dia berdoa dengan khusyuk mengingat dan menyesali
dosa-dosanya sepanjang hidup.
****
Di suatu pagi.
Ketika pulang mengantarkan istrinya dari Puskesmas, secara
tidak sengaja Mukadim berjumpa dengan Pak Kabul di dalam angkutan kota. Pak
Kabul adalah bos di perusahaan tempat yang bekerja dulu. Di sana Pak Kabul
berkeluh kesah tentang kehidupannya yang rumit termasuk pula hutangnya yang
menumpuk, dan tanpa ragu Pak Kabul menceritakan niatnya untuk mencari pesugihan.
Sejenak Mukadim memandang istrinya yang tampak acuh tak acuh.
Ada rasa khawatir jikalau istrinya mendengar perbincangan mereka. Setelah itu Mukadim
menyuruh Pak Kabul agar ke rumahnya.
****
Pada akhirnya sosok mantan bosnya itu siap menjadi pengganti Mukadim,
Pak Kabul siap menanggung apa pun asalkan kembali dalam kehidupan yang penuh
harta.
Diantarkanlah Pak Kabul menuju lokasi Mbah Wengki yang
kemudian melakukan ritual sesuai saran juru kunci.
Sementara itu, Mukadim berbincang dengan sang juru kunci yang
turut senang rupanya lelaki tua itu ikut andil dalam mencari sosok pengganti Mukadim,
namun tidak juga mendapatkan orang yang tepat dan ritual yang dilakoni Pak Kabul
pun menjadi keberhasilan, Pak Kabul siap menanggung segala risiko. Di sisi lain
juru kunci itu menyuruh Mukadim tutup mulut atas rahasia tentang apa yang dijalankan
tidak boleh bocor.
****
Waktu terus berlalu.
Setelah kelahiran anak ketiga, Mukadim yang memiliki keahlian
sebagai tukang cukur membuka lapak di pinggir jalan raya. Lahan kosong milik
Pak Lurah itu didirikan bangunan kecil untuk potong rambut dan ternyata itu
adalah sumber rezeki baginya. Maklum saja pada saat itu saingannya hanya salon
besar dan mahal, sehingga warga sekitar memilih potong rambut di tempat Mukadim.
Jika mendekati masuk sekolah tahun ajaran baru juga mendekati
lebaran salon Mukadim sangat ramai pengunjung, bisa sampai 10 kali lipat dari
hari biasa.
Mukadim yang semakin mendekatkan diri pada Tuhan pun
bersyukur karena mampu melunasi hutang-hutangnya dan mampu mencukupi kebutuhan
keluarga. Selain itu dia juga sering bersilaturahmi ke tempat sang juru kunci.
Berkat lelaki tua itulah hidupnya terselamatkan, bahkan berubah menjadi lebih
baik.
Di satu sisi Pak Kabul semakin berjaya, lambat laun perusahaannya
kembali dikuasai. Perusahaan itu pun menunjukkan kemajuan yang pesat.
Selain itu Pak Kabul juga menuruti setiap kemauan Heni putri
sulungnya. Apa pun yang diminta Heni pasti dituruti, hingga suatu hari musibah
itu pun terjadi.
Pada waktu itu, sopir pribadi keluarga Pak Kabul tidak masuk
kerja karena sakit, sedangkan Pak Kabul mempunyai urusan di luar kota, sehingga
anaknya yang hendak pergi berbelanja pun tidak ada yang mengantar, akhirnya
terpaksa naik becak.
Di tengah perjalanan tiba-tiba ada mobil oleng, kemudian
menabrak becak tersebut, penumpangnya terpental beberapa meter. Yang anehnya si
tukang becak tidak lecet sedikit pun.
Berbanding terbalik dengan nyawa Heni yang tidak
terselamatkan. Gadis itu meninggal dunia di tempat karena telah dipersembahkan oleh orang tuanya sendiri
sebagai tumbal pesugihan Mbah Wengki.
No comments:
Post a Comment