ANAK PEMBUNUH YANG TAK DIRESTUI
KASIM & SALMAN BEBAS DARI PENJARA
Jam dinding menunjukkan pukul 08.00 pagi. Amar namanya, terbangun
karena dirinya teringat akan janji pada sang kekasih. Ia tidak ingin sang
kekasih menunggu, buru-buru ia bangkit untuk mempersiapkan diri.
Amar merupakan seorang pemuda berusia 25 tahun, berkulit
putih bersih, dan berambut Ikal.
Setelah selesai menempuh jenjang pendidikan, kini dirinya
telah bekerja di sebuah pabrik dengan posisi yang cukup tinggi. Banyak gadis
desa setempat yang berharap bisa meraih hati pemuda tersebut, tapi pilihannya
dijatuhkan pada seorang gadis yang bernama Ratri, seorang remaja cantik dari
desa sebelah.
Setelah menyantap sepiring nasi dengan lauk kesukaannya yaitu
bandeng asam manis, ia pun berpamitan pada ibunya. Sebelumnya ia telah meminta
izin bahwa akhir pekan ini akan mengajak Ratri untuk jalan-jalan.
“Ati-ati. Ora usah kesusu,” kata ibunya tersenyum.
Amar kemudian mengeluarkan motor miliknya dan bergegas menuju
rumah Ratri.
Dia senang karena selama ini punya dukungan dari ibunya. Setiap
apa pun yang ia lakukan termasuk dalam menemukan tambatan hati meski tergolong
terlahir di era Siti Nurbaya namun ibundanya sangat menghargai cinta. Beliau
tidak akan melarang atau memberikan pilihan wanita lain pada Amar putra
bungsunya, membiarkan memilih siapa saja yang dicintai.
****
Sementara itu di depan rumah sederhana yang berdinding bambu,
Ratri sudah menunggu pujaan hati dengan harap-harap cemas, dan tidak perlu
menunggu lama, selang beberapa menit suara klakson terdengar di depan rumah,
itu pertanda akhir sudah penantiannya.
Ratri bergegas mengambil langkah penuh kebahagiaan. Dengan
nada lembut ia memberitahu Amar kalau semuanya sudah bekerja di sawah. Ratri
sudah meminta izin sebelumnya.
Mereka pun berangkat meninggalkan rumah.
****
Perjalanan itu sungguh menyenangkan bagi Ratri. Sebagai orang
miskin tanpa ayah sedari kecil ia tidak pernah merasakan enaknya jalan-jalan
apalagi dengan mengendarai motor. Rasa cinta yang timbul dari hati Amar pada
mulanya hanya sebuah rasa iba karena melihat Ratri sedang bekerja menjadi buruh
tani di lahan milik tetangganya. Akan tetapi rasa kasihan itu berlangsung
menjadi rasa cinta dan ia berharap bisa menaikkan derajat gadis tersebut.
Sesampai di lokasi yang dituju, yaitu sebuah pantai, Amar
sangat senang begitu melihat Ratri menumpahkan sukacitanya sembari meregangkan
tangan dengan ditemani indahnya sapuan ombak yang diterpa angin. Gadis manis
itu berlarian dengan tertawa kecil. “Walah, Mas. Ora ngiro banget senenge awakku.
Kat cilik aku ora tahu ndelok pantai. Sabendino isine mung kerjo lan kerjo,”
kata Ratri di sela tawa kecil.
Setelah dirasa cukup untuk menikmati indahnya pantai, Amar
mengajak Ratri mampir di sebuah warung yang berada di sisi barat pantai. Di
sana ia mengajak Ratri menikmati sepiring rujak petis, sebuah hidangan khas
dari orang pesisir.
Amar merasa senang saat melihat Ratri makan rujak dengan
lahap. Ia membatin Kalau mungkin baru pertama kali ini sang kekasih makan rujak
sampai sebegitu lahapnya.
Di sela menikmati rujak, Amar memberitahu kalau akan mengajak
Ratri ke rumahnya. Sebelum mengantar pulang nanti ia akan memperkenalkan Ratri pada
orang tuanya.
Mendengar rencana itu, Ratri sempat terhenti makan, hampir
tersedak. Sebagai wanita miskin nan lugu ia merasa sangat khawatir akan hal itu,
apalagi ia masih merasa trauma karena beberapa pemuda yang mencoba mendekatinya
selalu pergi tanpa kepastian.
Tidak terasa waktu telah menunjukkan setengah dua siang. Amar
yang teringat pesan ibunya agar jangan sampai pulang sore atau pun sampai malam,
segera mengajar Ratri untuk pulang dan selanjutnya ia bermaksud mengenalkan
Ratri pada kedua orang tuanya, namun bukan hanya memperkenalkan sekaligus membicarakan
hal menjurus ke jenjang selanjutnya, yaitu pernikahan.
****
Singkat cerita mereka
berdua sudah sampai di rumah Amar.
Ibu Amar melihat sosok Ratri yang kalem dan santun menjadi
tertarik dan setuju andai gadis yang dibawa anaknya itu akan mendampingi
putranya, akan tetapi gelagat kurang baik ditunjukkan oleh bapak Amar yang
semenjak Ratri memperkenalkan diri sebagai Putri Bu Sumini dari desa sebelah. Si
bapak langsung menunjukkan muka sinis bahkan langsung beranjak dari ruang tamu meninggalkan
mereka.
Melihat gelagat bapaknya yang kurang suka pada Ratri dengan
cepat Amar bergegas mengantarkan Ratri. Sepanjang perjalanan pulang itu Amar berpikir
keras apa yang ada di balik hati bapaknya sehingga sampai tidak mau melihat
wajah Ratri.
Sebenarnya hal yang sama juga dirasakan Ratri. Ia merasa ada
sesuatu hal yang disembunyikan bapaknya Amar. Ratri ingat betul sebelum beliau
sapa ibunya, si bapak masihlah baik dan bisa menerimanya, namun sikap itu
berubah ketika ia memberitahu nama sang ibu.
****
Malam pun datang.
Usai salat isya berjamaah, Amar diajak ke ruang tengah oleh
orang tuanya. Hati Amar sudah berdebar-debar tidak karuan. Ia menebak jika perbincangan
nanti ada hubungannya dengan Ratri, dan memang itulah yang terjadi.
“Bapak jaluk tulung. Tinggalno Ratri,” ucap sang bapak tanpa
basa-basi.
Seketika dada Amar terasa sesak mendengar ucapan itu.
Sedangkan ibunya memandang dengan raut sedih, mungkin sebelumnya beliau telah diberitahu
sebuah alasan oleh suaminya sehingga tidak ada pembelaan pada Amar.
Saat mampu mengendalikan diri, Amar menanyakan tentang alasan
sang bapak yang melarang hubungannya bersama Ratri, sekaligus ia membela
hubungan itu, dengan memberitahu segala kebaikan Ratri, meskipun dari kalangan
miskin, tapi Ratri adalah sosok gadis yang dianggap sebagai pendamping hidupnya.
“Awakmu karo Ratri ora masalah, nanging mengko kowe bakal
reti dewe opo seng saktenane,” ucap ibunya menyahut begitu melihat muka marah
suaminya. Ia tahu betul watak sang suami akan meledak jika dibantah dan tidak
ingin malam itu menjadi perdebatan panjang yang berakhir ketegangan.
Setelah mendengar penuturan dari ibunya, Amar memilih
beranjak menuju teras tanpa pamit. Ia paham dengan ibunya, apalagi sang bapak
memiliki riwayat darah tinggi, jika meledak akibat fatal.
Amar merenung seorang diri, hatinya tidak ubahnya seperti
kaca yang dibentur batu, hancur berkeping-keping. Ia hanya ingin tahu Ada apa
sebenarnya. Kalau memang alasan sempat masuk akal maka ia akan mundur dan
bersiap melupakan Ratri.
Hari-hari yang biru dihabiskan Amar di tempat kerjanya setiap
kali ini melupakan Ratri, justru semakin
merindukannya, tapi disisi lain ia juga tidak ingin membuat sakit hati orang tuanya.
Sungguh posisi sulit dirasakan pemuda itu, dan sampai saat ini ia masih diliputi
rasa penasaran yang teramat sangat karena setiap kali menanyakan alasan pada
ibunya maupun bapaknya mereka tidak memberikan jawaban.
Hanya ibunya berucap, kalau tidak ingin membuka aib orang
lain.
****
Sebulan kemudian.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Ratri. Ia selalu menunggu
kedatangan Amar. Biasanya seminggu sekali selalu apel, tapi sudah sebulan lebih
tidak mengunjunginya. Tidak ada penjelasan, juga tidak ada kepastian. Sebagai
seorang wanita tidaklah mungkin Jika ia datang menemui Amar. Ia pun memutuskan
kalau hubungan itu dianggap berakhir.
Dengan pekerjaannya sebagai buruh tani rasa capek membuat ia
bisa mulai merupakan Amar.
“Sabar yo, Nduk,” ucap ibunya menghibur.
Beliau ikut prihatin dengan apa yang dirasakan putri satu-satunya
yang hampir di setiap malam melamun sendiri sambil menunggu kehadiran seseorang
Amar.
Ratri tidak menggubris ucapan Bu Sumini yang duduk di sebelahnya.
Ia terus berpikir hal apa yang menyebabkan Amar yang dianggap sangat tulus
mencintainya, hilang tanpa kabar.
“Opo mergo awakku gak
duwe bapak, yo? Dadine Mas Amar ninggalne aku.” Pikirnya dalam hati.
Dari situlah Ratri menanyakan perihal sosok ayahnya pada sang
ibu.
Sejak dulu, setiap ia bertanya siapa sebenarnya bapaknya, Bu
Sumini selalu menghindar, tetapi kini Ratri sudah cukup dewasa, sudah saatnya
mengenal siapa bapaknya. Ia pun langsung menanyakan pada sang ibu.
Bu Sumini tidak bisa berkata apa pun mendengar pertanyaan
putrinya. Ia tampak bingung harus menjawab apa.
“Opo aku iki anak ramban, Mak?” tanya Ratri yang tidak sabar
menunggu, melontarkan ucapan setengah kasar itu.
Seketika itu pula telapak tangan Bu Sumini mendarat tepat di pipi
putrinya. “Lancang kowe! Senajan emakmu iki wong ora nduwe ora pernah tumindak
koyok mengkono!” Bu Sumini marah mendengar tuduhan anaknya, dan malam itu pun ia
menceritakan tentang siapa bapak Ratri, sosok yang disembunyikan dari putrinya
karena akan melukai hati dan perasaan.
Sambil memegangi pipinya yang masih memerah karena tamparan,
Ratri menyimak setiap kata yang diucapkan ibunya.
Ibunya lalu menuturkan kisah itu.
****
Dulu tepatnya 18 tahun
yang lalu ....
Desa dicekam ketakutan akibat teror hantu Kades Hermanto, seorang
Kepala Desa yang semasa hidupnya dikenal pejabat desa yang baik dan dermawan, tapi
siapa sangka, dibalik kebaikannya itu tersimpan dendam berkecamuk yang
mengakibatkan nyawa Suhada melayang
lewat dua kaki tangannya yaitu Salman dan Kasim.
Kades Hermanto tega membunuh Suhada, sahabat karibnya sendiri.
Akibat dari ulahnya ia harus menanggung penyakit yang
mengerikan. Perutnya yang membuncit lambat laun mengantarkannya ke pintu
gerbang kematian.
Teror kemunculan Suhada juga dirasakan Salman. Hampir setiap
malam lelaki itu terbangun karena bermimpi tentang orang yang dihabisi bersama
Kasim.
Salman selalu ketakutan setiap kali keluar rumah. Menurutnya
ia selalu diikuti sosok pocong berlumuran darah yang mana pocong terbang
tersebut selalu meminta pertanggungjawabannya, namun Kasim masih diberi waktu
untuk bertobat sehingga teror itu tidak sampai merenggut nyawanya. Pada
akhirnya kematian Suhada perlahan mulai terungkap. Tepatnya setelah teror hantu
Kades Hermanto mulai surut yakni ketika pintu maaf dibuka oleh keluarga Suhada.
Di sisi lain Salman dan Kasim harus menanggung akibat dari
perbuatan mereka. Jalan hidupnya harus dilalui dibalik jeruji besi. Rasa
penyesalan yang sangat dalam menghantui Kasim, namun nasi sudah menjadi bubur, penyesalan
yang terlambat tidak ada artinya, akan tetapi dari kejadian tersebut Kasim
mulai sadar bahwa kebahagiaan bukan hanya persoalan materi.
Kasim dulunya merupakan orang yang tekun dalam bekerja, tapi
kiranya membuat ia kufur pada Allah dan terjerumus dalam lembah kenistaan, dan
Bu Sumini hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga dengan kejadian tersebut
suaminya bisa kembali ke jalan yang diridhoi.
Begitu tutur ibunya Ratri.
Sementara Ratri lemas dan tidak berdaya mendengar penuturan
ibunya. Ia yakin dari kelakuan bapaknya itulah semua orang menghindar darinya. Ia
harus menanggung derita sebagai anak narapidana yang di masa itu masih menjadi
hal yang tabu. Ya, Ratri adalah anak Kasim, lelaki yang diperintah Kades
Hermanto untuk menghabisi Suhada kala itu.
“Aku benci kambek bapak, Bu!”
Ratri lantas menangis dan meninggalkan ibunya menuju kamar.
****
5 bulan kemudian.
Dibalik jeruji besi, Kasim menumpahkan rasa penyesalannya
melalui salat malam. Ia selalu merenung, menyesali apa yang telah diperbuat.
Sengaja ia melarang istrinya menjenguk karena tidak ingin putrinya
tahu dengan sifat sang ayah.
Jika ia sudah kembali berkumpul nanti, ia sendiri yang akan
meminta maaf dan mempertanggungjawabkan semua sebagai kepala keluarga.
Dan kini 18 tahun berlalu remisi membawa Salman dan Kasim
akhirnya mampu menghirup udara segar tanpa terhalang terali besi. Keduanya dinyatakan
bebas.
****
Segera Kasim kembali ke rumah. Sampai di rumah bukannya
disambut dengan air mata bahagia tapi malah disambut dengan air mata kekecewaan
dan sang anak justru mengusirnya setelah lima bulan lalu ibunya bercerita tentang
siapa sebenarnya bapaknya.
Ratri sangat kecewa dengan bapaknya yang telah membuat
kehidupannya dan Bu Sumini menderita. Ia memilih tidak memiliki bapak dari pada
menanggung dosa masa lalunya.
Melihat tingkah anaknya seperti itu, Bu Sumini mulai geram,
tapi ia tahu bagaimana isi hati putrinya. Ia juga sadar bahwa beberapa kali
Ratri punya hubungan dengan laki-laki selalu saja kandas yang menyebabkan
adalah karena ia anak pembunuh.
Bagi Kasim tidak ada pilihan selain meninggalkan rumah. Ia buang
mimpi hidup bahagia di hari tua bersama keluarga demi tidak ingin membuat Ratri
makin sakit hati dan membencinya. Maka ia putuskan sementara waktu untuk
tinggal di Masjid menunggu saat yang tepat sampai hati anaknya mampu menerima kehadirannya.
Bu Sumini hanya
menangisi kepergian sang suami yang baru kembali pulang. Seperti Bermimpi saja
baginya. Belum sampai di depan pintu Masjid warga yang mengenali Kasim sontak
menghujani dengan kata cacian dan makian.
Kasim menyadari betul warga tidak mungkin semudah itu menerimanya kembali dengan peristiwa yang terjadi di masa lampau. (Baca cerita sebelumnya: KEPALA DESA YANG MATI MENGENASKAN ).
Berbeda dengan Salman yang sekeluarga telah pindah desa.
Ketika hari mulai petang, Kasim tidak tahu meski ke mana. Ia
pergi hanya mengikuti langkah kaki tanpa arah dan tujuan pasti.
Berhari-hari ia menapaki jalanan sambil sesekali istirahat
dan minum air keran yang ada setiap tempat ibadah pinggir jalan. Jika ia merasa
halus, dia berusaha keras menahan rasa lapar yang membelit perutnya, hanya
sesekali ia bisa makan, jika bertepatan ada orang baik yang menyedekahkan
makanan di Masjid.
Meskipun demikian dirinya tidak pernah meninggalkan lima
waktu walau dalam keadaan sulit, karena ia sudah memantapkan niat untuk
bertobat sepenuh hati.
Setelah kurang lebih seminggu menyusuri jalan tibalah di Kota
Surabaya.
Beberapa kali ia coba mencari kerja, namun selalu gagal. Setelah
seminggu terlantar akhirnya keberuntungan menghampirinya. Ada seorang warga
yang menawari untuk menjadi tukang bersih-bersih di makam. Tanpa menimbang,
Kasim segera menerima tawaran itu. Kurang lebih lima bulan kasih menjalani profesi
sebagai tukang bersih-bersih makam dengan penuh tanggung jawab.
Setiap kali mendapatkan upah selalu ia sisihkan untuk
ditabung. Hingga menjelang lebaran ia bisa membeli dua mukena dengan dibungkus
menggunakan koran bekas.
Kasim bermaksud pulang dan memberikan mukena itu untuk istri
dan anaknya, tak lupa dicantum kalimat dalam selembar surat. ‘Mugo-mugo
lagi seneng, yo. Mung iki sing iso tak wehno ing dino riyoyo taun iki. Mugo-mugo
dipangapuro duso lan kesalahanku. Aku
kangen karo kowe, Bojoku.’ Itulah sebaris kata sederhana yang detail
sama mukena. Ia berencana menyuruh seseorang memberikan pada anak dan istrinya.
Jika diterima dengan baik, barulah ia akan pulang ke rumah di malam takbir.
Akhirnya sampailah Kasim di kampung. Ia menyuruh seorang anak
untuk mengantar mukena tersebut. Sambil menunggu di tepian jalan, menyaksikan
warga yang riang bersiap takbir keliling.
Sementara hujan mulai rintik diiringi tiupan angin. Kasih
masih terdiam di tempat, berteduh di bawah rindangnya pohon jalan.
Ia menunggu hal baik yang diangankan. Tidak seberapa lama
dari kejauhan muncullah istrinya juga Ratri bersama seorang lelaki, ia adalah
Amar, calon suaminya. Bocah kecil pembawa mukena itu menuntun mereka menuju ke
tempatnya, namun saat tiba di seberang jalan angin kencang dan hujan deras
datang. Salah satu dan pohon yang cukup besar tumbang.
Krak!
Bruk!
Semua berteriak histeris.
Begitu mendekat, Kasim sudah tidak bernafas lagi. Lelaki itu
meninggal dengan senyum mengembang.
Ratri menangis sejadi-jadinya.
Setelah mengusir bapaknya lima bulan, lalu pikirannya mulai
terbuka, dan dia pun bersiap menerima sang bapak bagaimanapun masa lalunya.
Ia benar-benar tersadar bahwa sosok bapak adalah sosok yang
seharusnya dihormati, namun pencarian yang dilakukan sejak sang bapak pergi tidak
membuahkan hasil.
Bersamaan dengan itu, kebahagiaan menghampiri kehidupan Ratri,
karena Amar mampu meyakinkan orang tuanya dan melanjutkan hubungan dengan Ratri,
juga disepakati akan melangsungkan pesta pernikahan seusai hari raya ketupat.
Malam takbir menjadi duka di saat kebahagiaan kembali datang
menghampiri Ratri, karena sang bapak pulang menghadap Tuhan justru memberinya
cerita lain.
No comments:
Post a Comment