KEPALA DESA YANG MATI MENGENASKAN
CERITA DUA SAHABAT
Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 80-an. Rintik hujan malam
itu tidak menyurutkan semangat para peronda di desa Mojokerto meski kilat
menyambar-nyambar, tetapi rutinitas yang harus dijalankan sesuai jadwal
haruslah tetap berjalan.
Suwarno malam itu mendapat giliran untuk ronda. Ia berjalan
ke arah pos sembari melihat keadaan kanan kiri, apakah sudah aman atau belum. Karena
akhir-akhir ini sering ada laporan dari beberapa warga yang kehilangan alat
pertanian mereka. Tidak biasanya alat-alat pertanian ditaruh di depan rumah
diambil orang.
Saat sampai di pertigaan, Suwarno berpapasan dengan warga
lainnya, juga mendapat giliran ronda. Dia adalah Faiz, malam itu bapaknya sedang
kurang enak badan sehingga menyuruh dirinya untuk menggantikan.
Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan menuju pos
ronda, letaknya di sebelah barat pertigaan yang jaraknya kurang lebih 100 meter.
Sesampainya di sana Faiz mengeluarkan sebungkus rokok sembari
menawarkan pada Suwarno agar tidak kedinginan. Suwarno tidak langsung mengambil
tawaran tersebut, malah dirinya menembang. Kemudian dia mulai meneguk kakinya yang
semula selonjor karena seharian bekerja di ladang.
Suwarno mulai kedinginan. Mendadak ia merasakan suasana yang berbeda,
tercium aroma kemenyan yang semakin lama semakin menyengat hidung. Seketika
bulu kuduknya meremang, ternyata hal yang sama juga dirasakan oleh Faiz. Aroma
itu menyebar di hidungnya. Untuk sekejap mereka saling pandang memberi isyarat
bahwa malam itu menjadi malam yang mencekam. Beberapa saat kemudian aroma itu
lenyap dengan sendirinya.
Mereka pun semakin tenang dan menikmati rokok sambil menunggu
untuk bergerak ronda.
Malam semakin larut. Tidak tampak peronda lain yang mendapat
giliran jaga malam. Mungkin hawa dingin
disertai sambaran petir membuat mereka malas jaga. Sementara Suwarno dan Faiz
sudah saling diam, tidak ada lagi bahan yang dijadikan obrolan. Rokok masih
menjadi andalan pengusir dingin, sambil menunggu waktu berkeliling kampung.
Saat terbawa lamunan, jantung Suwarno berdetak tidak karuan.
Dia melihat pemandangan mengerikan beberapa meter di belakang Faiz. Jelas
sekali seseorang berada tepat di seberang jalan pos ronda. Seseorang bertubuh
kurus dengan perut buncit. Sedangkan ditubuh
penuh dengan darah dan nanah.
Suwarno semakin bergidik saat sosok itu berjalan
tertatih-tatih menuju ke arahnya. Semakin mendekat dan dengan jelas terdengar
suara minta tolong.
“Tolong aku, War. Tolong aku.”
Suwarno hafal betul siapa sosok yang minta tolong itu. Dia
adalah Hermanto yang dikebumikan tadi siang.
Anehnya Faiz masih bersikap biasa saja, dia asyik menikmati
setiap isapan rokoknya seperti tidak mendengar suara menggema itu. Sontak
dengan cepat Suwarno menggandeng tangan Faiz. Pemuda itu terkaget dan tidak
bisa apa-apa dengan terpaksa ia mengikuti tarikan tangan Suwarno. Bahkan dia
tidak sempat memutuskan untuk bertanya.
Sesampai di perempatan pinggiran desa, Suwarno menyuruh Faiz
untuk pulang saja. Faiz merasa bingung dengan kelakuan Suwarno dan lagi-lagi
dia tidak bisa berbuat banyak, meski begitu Faiz sudah bisa menebak, pasti ada
sesuatu hal mistis yang dilihat oleh teman rondanya itu, apalagi sebelumnya dia
juga sempat mencium aroma kemenyan.
Faiz berjalan dengan santai menuju pulang tanpa alas kaki. Dia
berharap kondisi desa malam ini aman. Dia yakin kalau besok Suwarno akan memberi
alasan tepat sebagai alasan untuk meyakinkan warga. Di dalam lamunan itu, tepat
di depan pintu masuk rumah, Faiz dikejutkan dengan penampakan yang mengerikan. Sosok yang sama persis dengan yang dijumpai
Suwarno, bertubuh kurus dengan perut buncit, sedangkan di sekujur tubuh penuh
darah dan nanah. Faiz hafal betul bahwa sosok itu adalah Hermanto, pemuda
berkumis tebal itu berusaha menguasai keadaan.
“Tolong.”
“Tolong aku.” Terdengar suara menggema yang berasal dari
sosok tersebut. Tidak lama kemudian menghilang disapu angin malam.
Sebelum masuk rumah, Faiz mulai menebak jika ketakutan
Suwarno disebabkan hal yang sama yakni menyaksikan penampakan Hermanto.
****
Malam menuju pagi hari di mana suasana pagi itu ramai menjadi
perbincangan para ibu-ibu yang belanja di warung. “Kenapa, Mi?”
“Suaminya tadi malam bertugas ronda, kemudian menjadi pusat perhatian, karena dia
menceritakan peristiwa yang dialami oleh Suwarno semalam,” jawab satu perempuan
dengan rambut digelung.
“Begitu pula dengan Muniroh, Ibu dari Faiz yang ikut
menegaskan mengenai cerita sosok memedi yang wajahnya mirip Pak Kades
Hermanto.”
Obrolan terus berlanjut di warung tentang kabar sosok yang
dilihat Faiz dan Suwarno.
****
Hermanto merupakan
salah seorang yang terpandang di desa.
Dia dikenal dengan tuan tanah, di mana lainnya tersebar
dimana-mana. Setiap kali ada orang yang menjual tanah, dia selalu menawar
dengan harga tinggi sehingga dapat dipastikan tanah tersebut akan dibelinya
karena tidak ada orang lain yang mampu. Meski begitu kekayaan tidak membuat
Hermanto menjadi sombong, selain dikenal sebagai tuan tanah dia juga terkenal
sebagai sosok yang dermawan pada siapa saja.
Banyak warga yang mendapat uluran tangan darinya, maka tidak
mustahil jika dua kali mencalonkan diri sebagai kepala desa selalu terpilih,
dan tidak ada lawan untuk menandinginya.
Semua itu karena warga tahu akan kekayaan dan kebaikannya,
sehingga mereka berpikir ulang jika bersaing untuk melawannya, tetapi siapa
sangka di balik wajah yang terlihat arif itu di dalam hatinya tersimpan hal
busuk dan ditutupi. Sebuah dendam yang berkecamuk dan tidak bisa dimatikan! Semua
berawal dari masa lalunya.
****
Tidak ubahnya dengan anak lain, Hermanto kecil selalu bermain
dengan anak-anak lain, meski terlahir dari kalangan orang berada namun orang tuanya
tidak keberatan jika dia bergaul dengan siapa pun. Dia pun mempunyai sahabat
yang bernama Suhada. Memang nasib orang berbeda-beda, ada yang terlahir dari
kalangan orang kaya, juga ada yang lahir di kalangan orang-orang mampu.
Suhada sendiri adalah seorang anak buruh tani yang terbilang
miskin. Saat lulus Madrasah Sanawiah Hermanto dan Suhada sama-sama berguru pada
Kiai Juari, salah seorang kiai setempat. Mereka memperdalam ilmu agama dan ilmu
kedigdayaan.
Hingga menginjak usia 20 tahun persahabatan mereka tergolong
sangat dekat. Setiap ada permasalahan apa pun selalu mencurahkan isi hati
mereka.
Ketekunan serta semangat Suhada mengantarkannya menjadi
pribadi yang tangguh dan tidak mudah putus asa. Hal itu yang menjadikan Suhada
mencintai seorang gadis dari desa setempat.
Suhada jatuh hati padanya, gadis dengan berperawakan tidak terlalu tinggi,
berkulit kuning langsat itu sebelumnya pernah ditaksir oleh Hermanto.
Benih-benih kebencian mulai tumbuh ketika Hermanto mengetahui
bahwa gadis yang ingin untuk mendampingi hidupnya itu akan menikah dengan Suhada
yang tidak lain adalah sahabat dekatnya sendiri.
Kebencian itu sekuat tenaga ia pendam dan meski Hermanto
sudah menikah dengan gadis pilihan orang tuanya yang berasal dari kalangan atas
juga, namun dendam itu masih bergejolak.
****
Hari demi hari dilalui
oleh pasangan Suhada dengan penuh kebahagiaan.
Selain menjadi buruh tani, Suhada menggarap sawah peninggalan
yang tuanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua orang anak perempuan. Sementara
hubungannya dengan Hermanto masihlah cukup dekat.
Sampai sejauh ini, Hermanto masih bersikap biasa saja. Dia masih
menyimpan rapat rasa iri bercampur dendam di hatinya.
Saat mencalonkan diri sebagai Kades, Suhada selalu membantu
sebagai salah satu orang kepercayaan. Dia membantu penuh keikhlasan.
Ia tidak mau diberi uang serupiah pun. Begitu pun saat
membagikan sembako kepada tetangga, dia tidak mau diberi jatah, hingga saat
pemilihan berlangsung Suhada berhasil mengangkat suara.
Pada akhirnya Hermanto terpilih menjadi Kades dengan selisih
suara sangat mengejutkan, dan hanya terpaut 32 suara saja, meski begitu
Hermanto tidak melihat lebih jauh perjuangan Suhada.
Sejak menjadi Kades saat itu Suhada menjadi jarang
berkomunikasi dengan Hermanto. Dia paham akan kesibukan sahabatnya itu, terakhir
bertemu adalah saat kematian guru mereka yakni Kiai Juari. Selama tujuh malam
berturut-turut mereka selalu mengobrol bersama.
Dari hasil bercocok tanam, setiap panen tiba Suhada menyisihkan sedikit hasil untuk tabungan.
“Tabunganku aku rasa sudah cukup,” ucap Suhada di suatu sore,
setelah hampir 20 tahun lamanya menabung. Sore itu mereka menghitung untuk mendaftar
haji dan keinginan itu pun tercapai. Niat untuk melakukan rukun Islam kelima
menjadi kenyataan. Mereka mengucap syukur atas terkabulnya doa.
Kabar bahwa Suhada dan istrinya akan menunaikan ibadah haji
terdengar sampai ke telinga Hermanto, menyebabkan dirinya semakin membenci
sahabat kecilnya itu, tetapi rasa dendam itu tersimpan begitu rapi.
Ketika diundang dalam acara syukuran keberangkatan haji pun
dirinya datang. Masih memperlihatkan sikap dekat dan akrab.
****
Setelah menjalankan ibadah haji.
Suhada tiba di tanah air dengan disambut gembira oleh warga
setempat, dan tentu saja namanya semakin
dikenal luas oleh masyarakat sekitar karena ketekunannya baik dalam hal ibadah
maupun bekerja.
Api dendam yang disimpan oleh Hermanto tidak bisa dipadamkan,
justru semakin berkobar dan menjilat-jilat. Kebencian itu semakin memuncak ketika
terdengar kabar bahwa warga akan mencalonkan Suhada sebagai Kades.
Warga menganggap Suhada akan lebih baik dari Darmanto yang
menjadi Kades.
Selain memajukan para kaum miskin warga juga tidak sungkan jika
datang meminta tanda tangan, itu karena Suhada adalah warga dengan ekonomi
menengah bukan kalangan atas.
Mengetahui suhada semakin disenangi oleh warga bahkan
diisukan sebagai pesaingnya membuat Hermanto gelap mata.
Malam itu ia duduk di teras depan rumah ditemani dua anak
buahnya yakni Salman dan Kasim. Setelah berbincang masalah perkebunan kemudian
Hermanto menjelaskan inti dari maksudnya mengundang mereka berdua.
Ada pekerjaan yang harus mereka selesaikan jika mampu
melaksanakan dengan sempurna maka seluruh utang dianggap lunas. Selain itu
seluruh kebutuhan hidup keluarga mereka akan dicukupi. Tugas yang harus mereka berdua lakukan adalah
membunuh Suhada.
Salman masih berpikir panjang mengenai risiko yang akan ia
tanggung jika dirinya ketahuan, berbeda dengan Kasim yang dengan cepat
menyanggupinya.
Syaratnya jika kasus tersebut terbongkar jangan sampai
membawa nama Hermanto karena jika itu terjadi maka keluarga mereka akan
menderita.
****
Pagi itu.
Suhada pagi itu memarkirkan sepeda tuanya di sisi pasar hewan.
Dia lantas memilih yang dirasa cocok untuk dipelihara, akan tetapi belum juga
ada yang cocok hingga menjelang zuhur. Ia pun memutuskan untuk pulang berencana
mencari kambing kembali di hari pasaran pekan depan. Tidak lupa makanan
kesukaannya yang dipesan anak bungsunya yaitu Yeni, arem-arem berada di setang sisi kiri.
Suhada mengayuh sepeda dengan semangat meski rasa capek mendera.
Di tengah jalan yang merupakan hamparan ladang, Suhada dihadang
oleh 2 orang anak buah Hermanto yang mengenakan penutup kepala agar tidak
dikenali.
Tanpa buang waktu mereka menendang sepeda yang dinaiki oleh
Suhada, seketika itu pula Suhada terjatuh di ladang jagung yang ada di
sampingnya.
Suasana jalan
alternatif itu memang selalu sepi, hanya beberapa orang saja yang memilih lewat
jalanan licin berbatu tersebut.
Setelah Suhada terjatuh, dengan cepat anak buah Hermanto
mengajarnya. Suhada beberapa kali dihantam oleh kayu yang cukup besar.
Suhada tidak bergeming. Dia selalu bangkit kembali meski
merasa kesakitan. Di saat itulah Kasim memukulkan pelepah kelapa gading sesuai perintah
Hermanto, dan benar saja, Suhada pun lemah tidak berdaya.
Segera Salman dan Kasim menyeret tubuh yang tidak bernyawa
itu, kemudian diceburkan ke sungai perbatasan antar desa.
Byur!
****
Sore menjelang.
Di rumah, istri Suhada merasa tidak tenang. Dia memikirkan
sang suami yang tidak kunjung pulang dari pasar. Perasaan waswas tidak karuan menyelimuti
hatinya. Dia takut hal buruk menimpa sang suami.
“Nduk, coba kamu ke rumah Paklik Kartono. Suruh cari
bapakmu,” ucapnya khawatir.
Putri sulungnya yang sudah remaja segera beranjak pergi. Dia
juga merasa khawatir dengan sang ayah yang tidak biasanya pergi sampai begitu
lama.
****
Keesokan harinya.
Seorang warga desa bermaksud membuka aliran sungai yang masuk
ke sawahnya, tetapi dia dikejutkan dengan sosok mayat terbujur kaku. Jasad itu
terlihat penuh darah yang mengering.
Seketika itu juga dia berteriak dengan sekuat tenaga. Sontak
para petani yang masih berada di sawah mendekat kepadanya, sedangkan salah satu
dari mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak yang berwajib.
Setelah berhasil diidentifikasi oleh pihak kepolisian yang
ternyata mayat tersebut adalah mayat Suhada. Kemudian dibawalah pada pihak
keluarga.
****
Tampak rumah juga sudah dipenuhi orang.
Mengetahui mayat diturunkan dari mobil jenazah, semua warga
yang menyaksikan memberikan sumbangan tangisnya terutama istri dan kedua putri
mendiang Suhada.
****
Seiring berjalannya waktu keluarga yang ditinggal berusaha
mengikhlaskan dan juga pasrah, dan memang tidak ada kejahatan yang sempurna,
Salma dan Kasim akhirnya ditangkap oleh Polisi atas tindakan yang dilakukan.
Sesuai janji di awal, mereka tidak pernah mengaku bahwa dalam
pembunuhan upaya tersebut adalah perintah Kades Hermanto hingga akhirnya Salman
dan Kasim dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
Sebagai Kades, tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan.
Hermanto tidak mau bersaing dengan sahabatnya sendiri.
Rasa iri membuat keputusan sesat saat itu dengan menyuruh dua
anak buahnya untuk menghabisi Suhada.
****
Di Pemilihan Kepala
Desa berikutnya.
Kades Darmanto kembali terpilih sebagai calon tunggal. Kotak
kosong sebagai lawannya, hanya terisi beberapa suara saja. Tidak pernah
terlintas di pikiran warga bahwa Hermanto adalah pelaku kejahatan kematian Suhada.
Hal itu karena sikap dan sifat Kades Hermanto yang juga terkenal baik dan
santun. Bahkan dalam waktu dekat akan menunaikan ibadah haji bersama keluarga
besarnya.
Meskipun Kades Hermanto terbebas dari hukum duniawi tetapi ia
selalu dihantui rasa bersalah.
Kejadian demi kejadian ganjil mulai menghantuinya tepat setelah
1000 hari kematian Suhada. Setiap malam ia tidak bisa tidur, merasa arwah Suhada
selalu datang menghantui. Setiap malam ia tak bisa memejamkan mata, hingga obat tidur adalah
solusi dari permasalahan itu, tetapi teror semakin menjadi.
Saat dia terlelap Suhada datang lewat mimpi yang membuat Kades
Hermanto semakin dicekam rasa bersalah.
Lambat laun tubuhnya menjadi kurus kering dan yang paling
mengejutkan adalah perutnya semakin membuncit. Setiap kali diperiksakan, dokter
selalu mengatakan bahwa tidak ada penyakit yang diderita, sedangkan orang pintar
ataupun dukun yang datang untuk mengobati selalu berkata kalau tidak sanggup.
Hingga pada akhirnya selang beberapa bulan Kades Hermanto
yang tidak kuat menanggung rasa sakit dan bersalah menyusul Suhada sahabat
karibnya.
Pemakaman berjalan lancar, namun kemudian berlanjut menjadi
keanehan. Bukan hanya para peronda saja, tapi warga juga melihat penampakan
Kades Hermanto.
Selang tujuh hari kematiannya, peristiwa pembunuhan Suhada
perlahan mulai terungkap. Yang menjadi penyebab kematiannya adalah Kades Hermanto,
pun berita itu juga banyak didengar oleh warga.
Akhirnya teror yang menghantui dan menjadi perbincangan warga
berakhir setelah pihak keluarga Kades Hermanto minta maaf pada keluarga Suhada.
Istri dan kedua putri Suhada menerima permintaan maaf itu
dengan ikhlas.
Mereka pun secara bersama-sama datang berziarah ke makam dua
sahabat tersebut, dan sejak saat itulah keadaan kampung menjadi aman dari teror
penampakan sang Kades.
No comments:
Post a Comment