Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

KEPALA DESA YANG MATI MENGENASKAN

 CERITA DUA SAHABAT

Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 80-an. Rintik hujan malam itu tidak menyurutkan semangat para peronda di desa Mojokerto meski kilat menyambar-nyambar, tetapi rutinitas yang harus dijalankan sesuai jadwal haruslah tetap berjalan.

Suwarno malam itu mendapat giliran untuk ronda. Ia berjalan ke arah pos sembari melihat keadaan kanan kiri, apakah sudah aman atau belum. Karena akhir-akhir ini sering ada laporan dari beberapa warga yang kehilangan alat pertanian mereka. Tidak biasanya alat-alat pertanian ditaruh di depan rumah diambil orang.

Saat sampai di pertigaan, Suwarno berpapasan dengan warga lainnya, juga mendapat giliran ronda. Dia adalah Faiz, malam itu bapaknya sedang kurang enak badan sehingga menyuruh dirinya untuk menggantikan.

Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan menuju pos ronda, letaknya di sebelah barat pertigaan yang jaraknya kurang lebih 100 meter.

Sesampainya di sana Faiz mengeluarkan sebungkus rokok sembari menawarkan pada Suwarno agar tidak kedinginan. Suwarno tidak langsung mengambil tawaran tersebut, malah dirinya menembang. Kemudian dia mulai meneguk kakinya yang semula selonjor karena seharian bekerja di ladang.

Suwarno mulai kedinginan. Mendadak ia merasakan suasana yang berbeda, tercium aroma kemenyan yang semakin lama semakin menyengat hidung. Seketika bulu kuduknya meremang, ternyata hal yang sama juga dirasakan oleh Faiz. Aroma itu menyebar di hidungnya. Untuk sekejap mereka saling pandang memberi isyarat bahwa malam itu menjadi malam yang mencekam. Beberapa saat kemudian aroma itu lenyap dengan sendirinya.



Mereka pun semakin tenang dan menikmati rokok sambil menunggu untuk bergerak ronda.

Malam semakin larut. Tidak tampak peronda lain yang mendapat giliran jaga malam.  Mungkin hawa dingin disertai sambaran petir membuat mereka malas jaga. Sementara Suwarno dan Faiz sudah saling diam, tidak ada lagi bahan yang dijadikan obrolan. Rokok masih menjadi andalan pengusir dingin, sambil menunggu waktu berkeliling kampung.

Saat terbawa lamunan, jantung Suwarno berdetak tidak karuan. Dia melihat pemandangan mengerikan beberapa meter di belakang Faiz. Jelas sekali seseorang berada tepat di seberang jalan pos ronda. Seseorang bertubuh kurus dengan perut buncit. Sedangkan  ditubuh penuh dengan darah dan nanah.

Suwarno semakin bergidik saat sosok itu berjalan tertatih-tatih menuju ke arahnya. Semakin mendekat dan dengan jelas terdengar suara minta tolong.

“Tolong aku, War. Tolong aku.”

Suwarno hafal betul siapa sosok yang minta tolong itu. Dia adalah Hermanto yang dikebumikan tadi siang.

Anehnya Faiz masih bersikap biasa saja, dia asyik menikmati setiap isapan rokoknya seperti tidak mendengar suara menggema itu. Sontak dengan cepat Suwarno menggandeng tangan Faiz. Pemuda itu terkaget dan tidak bisa apa-apa dengan terpaksa ia mengikuti tarikan tangan Suwarno. Bahkan dia tidak sempat memutuskan untuk bertanya.

Sesampai di perempatan pinggiran desa, Suwarno menyuruh Faiz untuk pulang saja. Faiz merasa bingung dengan kelakuan Suwarno dan lagi-lagi dia tidak bisa berbuat banyak, meski begitu Faiz sudah bisa menebak, pasti ada sesuatu hal mistis yang dilihat oleh teman rondanya itu, apalagi sebelumnya dia juga sempat mencium aroma kemenyan.

Faiz berjalan dengan santai menuju pulang tanpa alas kaki. Dia berharap kondisi desa malam ini aman. Dia yakin kalau besok Suwarno akan memberi alasan tepat sebagai alasan untuk meyakinkan warga. Di dalam lamunan itu, tepat di depan pintu masuk rumah, Faiz dikejutkan dengan penampakan yang mengerikan.  Sosok yang sama persis dengan yang dijumpai Suwarno, bertubuh kurus dengan perut buncit, sedangkan di sekujur tubuh penuh darah dan nanah. Faiz hafal betul bahwa sosok itu adalah Hermanto, pemuda berkumis tebal itu berusaha menguasai keadaan.

“Tolong.”

“Tolong aku.” Terdengar suara menggema yang berasal dari sosok tersebut. Tidak lama kemudian menghilang disapu angin malam.

Sebelum masuk rumah, Faiz mulai menebak jika ketakutan Suwarno disebabkan hal yang sama yakni menyaksikan penampakan Hermanto.

****

Malam menuju pagi hari di mana suasana pagi itu ramai menjadi perbincangan para ibu-ibu yang belanja di warung. “Kenapa, Mi?”

“Suaminya tadi malam bertugas ronda, kemudian  menjadi pusat perhatian, karena dia menceritakan peristiwa yang dialami oleh Suwarno semalam,” jawab satu perempuan dengan rambut digelung.

“Begitu pula dengan Muniroh, Ibu dari Faiz yang ikut menegaskan mengenai cerita sosok memedi yang wajahnya mirip Pak Kades Hermanto.”

Obrolan terus berlanjut di warung tentang kabar sosok yang dilihat Faiz dan Suwarno.

****

Hermanto merupakan salah seorang yang terpandang di desa.

Dia dikenal dengan tuan tanah, di mana lainnya tersebar dimana-mana. Setiap kali ada orang yang menjual tanah, dia selalu menawar dengan harga tinggi sehingga dapat dipastikan tanah tersebut akan dibelinya karena tidak ada orang lain yang mampu. Meski begitu kekayaan tidak membuat Hermanto menjadi sombong, selain dikenal sebagai tuan tanah dia juga terkenal sebagai sosok yang dermawan pada siapa saja.

Banyak warga yang mendapat uluran tangan darinya, maka tidak mustahil jika dua kali mencalonkan diri sebagai kepala desa selalu terpilih, dan tidak ada lawan untuk menandinginya.

Semua itu karena warga tahu akan kekayaan dan kebaikannya, sehingga mereka berpikir ulang jika bersaing untuk melawannya, tetapi siapa sangka di balik wajah yang terlihat arif itu di dalam hatinya tersimpan hal busuk dan ditutupi. Sebuah dendam yang berkecamuk dan tidak bisa dimatikan! Semua berawal dari masa lalunya.

****

Tidak ubahnya dengan anak lain, Hermanto kecil selalu bermain dengan anak-anak lain, meski terlahir dari kalangan orang berada namun orang tuanya tidak keberatan jika dia bergaul dengan siapa pun. Dia pun mempunyai sahabat yang bernama Suhada. Memang nasib orang berbeda-beda, ada yang terlahir dari kalangan orang kaya, juga ada yang lahir di kalangan orang-orang mampu.

Suhada sendiri adalah seorang anak buruh tani yang terbilang miskin. Saat lulus Madrasah Sanawiah Hermanto dan Suhada sama-sama berguru pada Kiai Juari, salah seorang kiai setempat. Mereka memperdalam ilmu agama dan ilmu kedigdayaan.

Hingga menginjak usia 20 tahun persahabatan mereka tergolong sangat dekat. Setiap ada permasalahan apa pun selalu mencurahkan isi hati mereka.

Ketekunan serta semangat Suhada mengantarkannya menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah putus asa. Hal itu yang menjadikan Suhada mencintai seorang gadis dari desa setempat.  Suhada jatuh hati padanya, gadis dengan berperawakan tidak terlalu tinggi, berkulit kuning langsat itu sebelumnya pernah ditaksir oleh Hermanto.

Benih-benih kebencian mulai tumbuh ketika Hermanto mengetahui bahwa gadis yang ingin untuk mendampingi hidupnya itu akan menikah dengan Suhada yang tidak lain adalah sahabat dekatnya sendiri.

Kebencian itu sekuat tenaga ia pendam dan meski Hermanto sudah menikah dengan gadis pilihan orang tuanya yang berasal dari kalangan atas juga, namun dendam itu masih bergejolak.

****

Hari demi hari dilalui oleh pasangan Suhada dengan penuh kebahagiaan.

Selain menjadi buruh tani, Suhada menggarap sawah peninggalan yang tuanya untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua orang anak perempuan. Sementara hubungannya dengan Hermanto masihlah cukup dekat.

Sampai sejauh ini, Hermanto masih bersikap biasa saja. Dia masih menyimpan rapat rasa iri bercampur dendam di hatinya.

Saat mencalonkan diri sebagai Kades, Suhada selalu membantu sebagai salah satu orang kepercayaan. Dia membantu penuh keikhlasan.

Ia tidak mau diberi uang serupiah pun. Begitu pun saat membagikan sembako kepada tetangga, dia tidak mau diberi jatah, hingga saat pemilihan berlangsung Suhada berhasil mengangkat suara.

Pada akhirnya Hermanto terpilih menjadi Kades dengan selisih suara sangat mengejutkan, dan hanya terpaut 32 suara saja, meski begitu Hermanto tidak melihat lebih jauh perjuangan Suhada.

Sejak menjadi Kades saat itu Suhada menjadi jarang berkomunikasi dengan Hermanto. Dia paham akan kesibukan sahabatnya itu, terakhir bertemu adalah saat kematian guru mereka yakni Kiai Juari. Selama tujuh malam berturut-turut mereka selalu mengobrol bersama.

Dari hasil bercocok tanam, setiap panen tiba Suhada  menyisihkan sedikit hasil untuk tabungan.

“Tabunganku aku rasa sudah cukup,” ucap Suhada di suatu sore, setelah hampir 20 tahun lamanya menabung. Sore itu mereka menghitung untuk mendaftar haji dan keinginan itu pun tercapai. Niat untuk melakukan rukun Islam kelima menjadi kenyataan. Mereka mengucap syukur atas terkabulnya doa.

Kabar bahwa Suhada dan istrinya akan menunaikan ibadah haji terdengar sampai ke telinga Hermanto, menyebabkan dirinya semakin membenci sahabat kecilnya itu, tetapi rasa dendam itu tersimpan begitu rapi.

Ketika diundang dalam acara syukuran keberangkatan haji pun dirinya datang. Masih memperlihatkan sikap dekat dan akrab.

****

Setelah menjalankan ibadah haji.

Suhada tiba di tanah air dengan disambut gembira oleh warga setempat,  dan tentu saja namanya semakin dikenal luas oleh masyarakat sekitar karena ketekunannya baik dalam hal ibadah maupun bekerja.

Api dendam yang disimpan oleh Hermanto tidak bisa dipadamkan, justru semakin berkobar dan menjilat-jilat. Kebencian itu semakin memuncak ketika terdengar kabar bahwa warga akan mencalonkan Suhada sebagai Kades.

Warga menganggap Suhada akan lebih baik dari Darmanto yang menjadi Kades.

Selain memajukan para kaum miskin warga juga tidak sungkan jika datang meminta tanda tangan, itu karena Suhada adalah warga dengan ekonomi menengah bukan kalangan atas.

Mengetahui suhada semakin disenangi oleh warga bahkan diisukan sebagai pesaingnya membuat Hermanto gelap mata.  

Malam itu ia duduk di teras depan rumah ditemani dua anak buahnya yakni Salman dan Kasim. Setelah berbincang masalah perkebunan kemudian Hermanto menjelaskan inti dari maksudnya mengundang mereka berdua.

Ada pekerjaan yang harus mereka selesaikan jika mampu melaksanakan dengan sempurna maka seluruh utang dianggap lunas. Selain itu seluruh kebutuhan hidup keluarga mereka akan dicukupi.  Tugas yang harus mereka berdua lakukan adalah membunuh Suhada.

Salman masih berpikir panjang mengenai risiko yang akan ia tanggung jika dirinya ketahuan, berbeda dengan Kasim yang dengan cepat menyanggupinya.

Syaratnya jika kasus tersebut terbongkar jangan sampai membawa nama Hermanto karena jika itu terjadi maka keluarga mereka akan menderita.

****

Pagi itu.

Suhada pagi itu  memarkirkan sepeda tuanya di sisi pasar hewan. Dia lantas memilih yang dirasa cocok untuk dipelihara, akan tetapi belum juga ada yang cocok hingga menjelang zuhur. Ia pun memutuskan untuk pulang berencana mencari kambing kembali di hari pasaran pekan depan. Tidak lupa makanan kesukaannya yang dipesan anak bungsunya yaitu  Yeni, arem-arem berada di setang sisi kiri. Suhada mengayuh sepeda dengan semangat meski rasa capek mendera.

Di tengah jalan yang merupakan hamparan ladang, Suhada dihadang oleh 2 orang anak buah Hermanto yang mengenakan penutup kepala agar tidak dikenali.

Tanpa buang waktu mereka menendang sepeda yang dinaiki oleh Suhada, seketika itu pula Suhada terjatuh di ladang jagung yang ada di sampingnya.

 Suasana jalan alternatif itu memang selalu sepi, hanya beberapa orang saja yang memilih lewat jalanan licin berbatu tersebut.

Setelah Suhada terjatuh, dengan cepat anak buah Hermanto mengajarnya. Suhada beberapa kali dihantam oleh kayu yang cukup besar.

Suhada tidak bergeming. Dia selalu bangkit kembali meski merasa kesakitan. Di saat itulah Kasim memukulkan pelepah kelapa gading sesuai perintah Hermanto, dan benar saja, Suhada pun lemah tidak berdaya.

Segera Salman dan Kasim menyeret tubuh yang tidak bernyawa itu, kemudian diceburkan ke sungai perbatasan antar desa.

Byur!

****

Sore menjelang.

Di rumah, istri Suhada merasa tidak tenang. Dia memikirkan sang suami yang tidak kunjung pulang dari pasar. Perasaan waswas tidak karuan menyelimuti hatinya. Dia takut hal buruk menimpa sang suami.

“Nduk, coba kamu ke rumah Paklik Kartono. Suruh cari bapakmu,” ucapnya khawatir.

Putri sulungnya yang sudah remaja segera beranjak pergi. Dia juga merasa khawatir dengan sang ayah yang tidak biasanya pergi sampai begitu lama.

****

Keesokan harinya.

Seorang warga desa bermaksud membuka aliran sungai yang masuk ke sawahnya, tetapi dia dikejutkan dengan sosok mayat terbujur kaku. Jasad itu terlihat penuh darah yang mengering.

Seketika itu juga dia berteriak dengan sekuat tenaga. Sontak para petani yang masih berada di sawah mendekat kepadanya, sedangkan salah satu dari mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak yang berwajib.

Setelah berhasil diidentifikasi oleh pihak kepolisian yang ternyata mayat tersebut adalah mayat Suhada. Kemudian dibawalah pada pihak keluarga.

****

Tampak rumah juga sudah dipenuhi orang.

Mengetahui mayat diturunkan dari mobil jenazah, semua warga yang menyaksikan memberikan sumbangan tangisnya terutama istri dan kedua putri mendiang Suhada.

****

Seiring berjalannya waktu keluarga yang ditinggal berusaha mengikhlaskan dan juga pasrah, dan memang tidak ada kejahatan yang sempurna, Salma dan Kasim akhirnya ditangkap oleh Polisi atas tindakan yang dilakukan.

Sesuai janji di awal, mereka tidak pernah mengaku bahwa dalam pembunuhan upaya tersebut adalah perintah Kades Hermanto hingga akhirnya Salman dan Kasim dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.

Sebagai Kades, tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan. Hermanto tidak mau bersaing dengan sahabatnya sendiri.

Rasa iri membuat keputusan sesat saat itu dengan menyuruh dua anak buahnya untuk menghabisi Suhada.

****

Di Pemilihan Kepala Desa berikutnya.

Kades Darmanto kembali terpilih sebagai calon tunggal. Kotak kosong sebagai lawannya, hanya terisi beberapa suara saja. Tidak pernah terlintas di pikiran warga bahwa Hermanto adalah pelaku kejahatan kematian Suhada. Hal itu karena sikap dan sifat Kades Hermanto yang juga terkenal baik dan santun. Bahkan dalam waktu dekat akan menunaikan ibadah haji bersama keluarga besarnya.

Meskipun Kades Hermanto terbebas dari hukum duniawi tetapi ia selalu dihantui rasa bersalah.

Kejadian demi kejadian ganjil mulai menghantuinya tepat setelah 1000 hari kematian Suhada. Setiap malam ia tidak bisa tidur, merasa arwah Suhada selalu datang menghantui. Setiap malam ia tak bisa  memejamkan mata, hingga obat tidur adalah solusi dari permasalahan itu, tetapi teror semakin menjadi.

Saat dia terlelap Suhada datang lewat mimpi yang membuat Kades Hermanto semakin dicekam rasa bersalah.

Lambat laun tubuhnya menjadi kurus kering dan yang paling mengejutkan adalah perutnya semakin membuncit. Setiap kali diperiksakan, dokter selalu mengatakan bahwa tidak ada penyakit yang diderita, sedangkan orang pintar ataupun dukun yang datang untuk mengobati selalu berkata kalau tidak sanggup.

Hingga pada akhirnya selang beberapa bulan Kades Hermanto yang tidak kuat menanggung rasa sakit dan bersalah menyusul Suhada sahabat karibnya.

Pemakaman berjalan lancar, namun kemudian berlanjut menjadi keanehan. Bukan hanya para peronda saja, tapi warga juga melihat penampakan Kades Hermanto.

Selang tujuh hari kematiannya, peristiwa pembunuhan Suhada perlahan mulai terungkap. Yang menjadi penyebab kematiannya adalah Kades Hermanto, pun berita itu juga banyak didengar oleh warga.

Akhirnya teror yang menghantui dan menjadi perbincangan warga berakhir setelah pihak keluarga Kades Hermanto minta maaf pada keluarga Suhada.

Istri dan kedua putri Suhada menerima permintaan maaf itu dengan ikhlas.

Mereka pun secara bersama-sama datang berziarah ke makam dua sahabat tersebut, dan sejak saat itulah keadaan kampung menjadi aman dari teror penampakan sang Kades.

TAMAT

PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search