Dukung SayaDukung Pakde Noto di Trakteer

[Latest News][6]

abu nawas
abunawas
berbayar
cerkak
cerpen
digenjot
gay
hombreng
horor
hot
humor
informasi
LGBT
mesum
misteri
Novel
panas
puasa
thriller

Labels

AZAB BAGI YANG SUKA MENGGESER PATOK DAN MAKAN HAK YANG BUKAN HAKNYA


Siapa menabur akan menuai. Hal itu pula yang terjadi pada pengalaman Kakek dan Nenekku yang hidup sejaman dengan Mbah Darso.

Waktu itu ….

Beberapa hari kemudian ketika Mbah Darso berkeliling lahan. Kakek beserta penggarap lain menjelaskan tentang membajak sawah yang hampir selesai.

Setelah penggarap yang lain kembali ke bagian garapan masing-masing, Kakek masih berdiri di depan Mbah Darso dan menjelaskan keinginannya untuk berhenti bekerja dengan Mbah Darso.

Mbah Darso pun tertawa dengan keras, lalu berkata “Ha ha ha. Tambah satu lagi calon orang miskin di kampung ini. Sudah merasa hebat rupanya! Awas saja kalau kau merengek minta pekerjaanmu kembali, Darmo. Ha ha ha.”

Kakek tersenyum dan mohon izin untuk kembali menyelesaikan pekerjaan di hari terakhirnya.

Mbah Metro masih tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala dan begitu yakin jika Kakek tidak akan mampu bertahan hidup karena sudah bertahun-tahun Kakek menggantungkan rezeki pada Mbah Darso.

****

 

2 Tahun kemudian.

Di luar dugaan, Kakek yang sudah bertekad bulat menggarap lahan kecil miliknya lambat laun mengalami perkembangan yang bagus.

Didukung dengan hasil jual sayur-mayur milik Nenek pula yang juga cukup laris di pasar.

Dalam waktu kurang dari 3 tahun Kakek sudah berhasil membeli sawah sepetak, di sebelah lahan kecil miliknya.

Setelah Kakek berhasil membeli sawah tersebut, Nenek lebih banyak beraktivitas di rumah, karena belum lama melahirkan anaknya yaitu ibuku. Sementara untuk urusan jual sayur-mayur dipercayakan pada yang merupakan sesama pedagang sayuran di pasar

****

Di lain sisi.

Sementara itu, Mbah Darso yang mulai protes oleh beberapa petani penggarap selepas mundurnya kakek, tetap bersikukuh soal upah. Bahkan menjadi-jadi.

Mbah Darso juga sempat beberapa kali menggeser batas tanah dan menyuruh penggarap untuk mengolah tanah di sebagian petak sawah milik orang lain tersebut.

Yang lebih parah, Mbah Darso mengklaim bahwa itu adalah lahan sawahnya.

Ketika beberapa pemilik tanah tidak terima dan mulai berselisih, Mbah Darso pun membayar pemuda-pemuda kampung sebelah untuk mengancam dan memukuli pemilik sawah tersebut agar tidak protes.

Beberapa pemilik tanah pun hanya bisa pasrah mendapati seperempat hingga sepertiga sawahnya ditanami padi yang bukan milik Mbah Darso.

****

Singkat cerita ….

Sekitar pertengahan tahun 1974, Mbah Darso mulai mengalami penurunan kondisi kesehatan. Jalannya mulai membungkuk dan suaranya tidak lagi menggelegar berwibawa seperti dulu.

 

Kala itu, Mbah Darso yang sedang duduk mengawasi penggarap merasa agak pusing. Mbah Darso pun bersandar ke dinding gubuk nyaman bambu.

Tiba-tiba Mbah Darso dikejutkan dengan seekor tikus putih yang entah dari mana datangnya menggigit jari Mbah Darso.

Hal itu membuat pangkal jari kelingking Mbah Darso meneteskan darah.

Luka itu sudah diobati oleh istrinya yang bernama  Yuk Basingah. Anehnya semakin hari, luka itu semakin melebar, dan bernanah serta berbau busuk.

Mbah Darso pun sering merasa sakit kepala hebat dan beberapa kali disertai demam tinggi. Setiap demamnya kambuh, Mbah Darso berteriak-teriak dengan ucapan kasar.

Sudah tiga kali Mbah Darso bawa ke rumah sakit di kota, namun para dokter juga tidak bisa berbuat banyak. Pada akhirnya Yuk Basingah memutuskan merawat Mbah Metro di rumah saja.

Yuk Basingah yang masih memendam rasa dengki terhadap Kakek, mencoba memanggil kembali perewangan yang dimilikinya untuk mengirimkan serangan kepada Kakek yang diduga telah membuat Mbah Darso mengalami sakit aneh, namun karena sudah terlalu lama terbuai dengan kemewahan hidup dari Mbah Darso, sesajen dan perawatan pusaka milik Yuk Basingah yang harusnya rutin digunakan pun seringkali terabaikan, pada akhirnya dedemit perewangan Yuk Basingah pun pergi dan tidak mau membantu Yuk Basingah lagi.

Semakin hari kondisi Mbah Darso semakin memburuk. Hampir tiap malam Mbah Darso merajuk kesakitan.

Luka di tangannya semakin lebar, dan beberapa kali ditemukan belatung yang menggerogotinya.

Yuk Basingah yang pada awalnya selalu mendampingi dan bermanja-maja, mulai bersikap dingin dan judes pada Mbah Darso. Dia tidak tahan dengan keadaan Mbah Darso yang mulai mengalami kemunduran ekonomi karena satu persatu tanahnya habis terjual untuk pengobatan. Motor gede kebanggaan Mbah Darso juga sudah tergadai.

Luka yang pada awalnya berada di sekitaran tangan kini menjalar sampai hampir ke siku. Di punggung Mbah Darso, muncul pula luka baru yang bernanah dan berbau sama seperti luka pada tangannya.

Keadaan yang memburuk membuat Yuk Basingah tidak tahan lagi. Sambil memaki-maki Mbah Darso yang terbaring lemah, dia mengemasi barang-barang dan hendak pulang ke rumahnya. Mbah Metro hanya terdiam sambil menitikan air mata.

****

Dua minggu kemudian tepatnya di awal tahun 1975, Mbah Metro menghembuskan nafas terakhir di rumahnya. Lelaki tua itu berakhir dengan keadaan yang mengenaskan. Terdapat luka terbuka di beberapa bagian tubuh yang mulai dikerubuti belatung, serta mulut menganga lebar dengan mata yang melotot. Bau busuk menyelimuti tubuhnya hingga seluruh ruangan pun ikut bau.

Tetangga dan para penggarap sawah milik Mbah Metro berdatangan sambil menutup mulut dan hidungnya dengan kain atau sapu tangan.

Melihat jenazah Mbah Darso yang susah payah dibersihkan oleh beberapa tetangga, membuat Kakek beristighfar sambil mengelus dada.

Belatung yang mulai banyak memang tidak terlalu sulit dibersihkan, namun nanah yang terus menetes keluar cukup menyulitkan para pemanis jenazah.

Butuh waktu kurang lebih satu jam memandikan dan membersihkan jenazah Mbah Darso.

Setelah dimandikan dan dikafani, acara pemberangkatan jenazah pun dimulai. Pak Dukuh membawakan acara dengan ringkasan cepat karena cuaca mulai mendung dan bau jenazah Mbah Darso membuat perut terasa mual.

Yuk Basingah yang ikut mengiringi jenazah, tampak bersikap dingin dan tidak memperlihatkan kesedihan sama sekali.

****

Kakekku yang waktu itu adalah salah satu pembawa keranda jenazah semakin keheranan. Kakek merasakan berat, sehingga berjalan agak sempoyongan, padahal ketika meninggal, tubuh Mbah Darso sangat kurus dan keranda jenazah yang dipakai juga berbahan bambu yang tidak berat.

Beberapa kali pembawa keranda berganti orang dan setiap orang yang baru saja diganti mengeluhkan beratnya keranda yang dipikul.

Ketika sudah sampai di pemakaman desa, Pak Kiai dan Pak Dukuh mengarahkan agar beberapa warga turun ke liang terlebih dahulu untuk menerima jenazah.

Bau busuk tidak hentinya keluar dari jenazah, membuat mual setiap orang yang hadir di acara pemakaman tersebut.

Ketika jenazah hendak diturunkan, liang lahat terlihat kurang panjang, posisi tumit Mbah Metro tidak bisa masuk. Jenazah pun ditaruh kembali ke keranda dan dilakukan penggalian ulang untuk menambah panjang liang lahat.

Setelah digali, jenazah kembali diangkat untuk dimasukkan ke liang lahat. Keanehan kembali terjadi, liang lahat yang sudah ditambah panjangnya ternyata tidak muat ketika hendak dimasuki jenazah Mbah Darso.

Karena hari semakin sore, ditambah para pelayat yang sudah lemas, ditambah bau busuk jenazah yang makin menyengat, maka jenazah Mbah Darso pun dipaksakan masuk meski kakinya masih sedikit menekuk.

Yuk Basingah yang menyaksikan proses pemakaman suaminya tidak berkata apa apa. Dia memandanginya dari pinggir liang saja.

Dengan susah payah, jenazah Mbah Darso pun dimasukkan dan diposisikan sebagaimana mestinya.

Ketika bambu penutup terakhir sudah dipasang, dua warga yang masih di dalam liang lahat bergegas naik ke atas.

Seketika mendadak terjadi gempa yang membuat warga kocar-kacir dari kerumunan.

Yuk Basingah yang berdiri di pinggir liang lahat, jatuh ke dalam dengan posisi tengkurap. Terdengar kencang ketika ia jatuh. Darah tampak menetes di samping kepalanya.

Belum cukup sampai di situ, perlahan sisi samping kuburan mulai longsor dan menutupi bagian yang lain. Secara perlahan Yuk Basingah yang masih berada di dalam liang  tidak mampu berbuat apa apa.

Setelah guncangan terhenti, hawa panas keluar dari liang lahat. Saking panasnya, hingga warga yang kembali datang tidak berani mendekat dan justru mulai berhamburan menjauh.


Longsoran tanah pun makin menimbun jenazah Mbah Darso dan tubuh Yuk Basingah hingga menghasilkan timbunan tanah yang tidak merata.

Sekitar 15 menit kemudian beberapa warga mencoba mendekat, namun mereka menjauh kembali karena hawa panas masih terasa di sekitaran timbunan tanah.

Merasa suasana semakin tidak kondusif serta hari yang sudah beranjak senja, Pak Kiai dan Pak Dukuh pun memutuskan untuk membacakan doa paling ringkas dan menyudahi acara.

Sepanjang perjalanan pulang tidak ada satu pun warga yang berbicara. Mereka masih terlihat trauma dengan keanehan yang terjadi di depan mata mereka secara langsung.

****

Tahun 1975, tahun di mana memori akan kejadian mengerikan itu masih terbayang di ingatan Kakek dan Nenek. Riwayat hidup Mbah Darso pun menjadi pembelajaran bagi warga, khususnya Kakek dan Nenek, serta dikisahkan ke seluruh keturunannya, agar tidak sembarangan mengambil hak yang bukan haknya.

Sampai hari ini, timbunan tanah makam Mbah Darso masih tidak ada perubahan. Tanah timbunan makam tampak tandus dan tidak ada rumput yang tumbuh, sedangkan makam yang lain ditumbuhi rumput yang dirawat.

Tidak ada nisan, tidak ada pula sana saudara yang datang berziarah.

Nenek berkata, “Mungkin ini pelajaran hidup yang didapat oleh Mbah Darso, agar kita berhati-hati dalam berbuat dan tidak makan hak orang lain dengan semena-mena.”

“Mensyukuri rezeki pemberian Tuhan adalah yang utama, karena banyak sedikitnya rezeki, sudah diatur dengan sempurna oleh Tuhan yang maha kuasa.”

SELESAI

 


PAKDE NOTO

Baca juga cerita seru lainnya di Wattpad dan Follow akun Pakde Noto @Kuswanoto3.

No comments:

Post a Comment

Start typing and press Enter to search