AZAB BAGI YANG SUKA MENGGESER PATOK DAN MAKAN HAK YANG BUKAN HAKNYA
Siapa menabur akan menuai. Hal itu pula yang terjadi pada
pengalaman Kakek dan Nenekku yang hidup sejaman dengan Mbah Darso.
Waktu itu ….
Beberapa hari kemudian ketika Mbah Darso berkeliling lahan. Kakek
beserta penggarap lain menjelaskan tentang membajak sawah yang hampir selesai.
Setelah penggarap yang lain kembali ke bagian garapan
masing-masing, Kakek masih berdiri di depan Mbah Darso dan menjelaskan
keinginannya untuk berhenti bekerja dengan Mbah Darso.
Mbah Darso pun tertawa dengan keras, lalu berkata “Ha ha ha. Tambah
satu lagi calon orang miskin di kampung ini. Sudah merasa hebat rupanya! Awas
saja kalau kau merengek minta pekerjaanmu kembali, Darmo. Ha ha ha.”
Kakek tersenyum dan mohon izin untuk kembali menyelesaikan
pekerjaan di hari terakhirnya.
Mbah Metro masih tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala
dan begitu yakin jika Kakek tidak akan mampu bertahan hidup karena sudah bertahun-tahun
Kakek menggantungkan rezeki pada Mbah Darso.
****
2 Tahun kemudian.
Di luar dugaan, Kakek yang sudah bertekad bulat menggarap
lahan kecil miliknya lambat laun mengalami perkembangan yang bagus.
Didukung dengan hasil jual sayur-mayur milik Nenek pula yang
juga cukup laris di pasar.
Dalam waktu kurang dari 3 tahun Kakek sudah berhasil membeli
sawah sepetak, di sebelah lahan kecil miliknya.
Setelah Kakek berhasil membeli sawah tersebut, Nenek lebih
banyak beraktivitas di rumah, karena belum lama melahirkan anaknya yaitu ibuku.
Sementara untuk urusan jual sayur-mayur dipercayakan pada yang merupakan sesama
pedagang sayuran di pasar
****
Di lain sisi.
Sementara itu, Mbah Darso yang mulai protes oleh beberapa
petani penggarap selepas mundurnya kakek, tetap bersikukuh soal upah. Bahkan
menjadi-jadi.
Mbah Darso juga sempat beberapa kali menggeser batas tanah
dan menyuruh penggarap untuk mengolah tanah di sebagian petak sawah milik orang
lain tersebut.
Yang lebih parah, Mbah Darso mengklaim bahwa itu adalah lahan
sawahnya.
Ketika beberapa pemilik tanah tidak terima dan mulai berselisih,
Mbah Darso pun membayar pemuda-pemuda kampung sebelah untuk mengancam dan memukuli
pemilik sawah tersebut agar tidak protes.
Beberapa pemilik tanah pun hanya bisa pasrah mendapati
seperempat hingga sepertiga sawahnya ditanami padi yang bukan milik Mbah Darso.
****
Singkat cerita ….
Sekitar pertengahan tahun 1974, Mbah Darso mulai mengalami
penurunan kondisi kesehatan. Jalannya mulai membungkuk dan suaranya tidak lagi
menggelegar berwibawa seperti dulu.
Kala itu, Mbah Darso yang sedang duduk mengawasi penggarap
merasa agak pusing. Mbah Darso pun bersandar ke dinding gubuk nyaman bambu.
Tiba-tiba Mbah Darso dikejutkan dengan seekor tikus putih
yang entah dari mana datangnya menggigit jari Mbah Darso.
Hal itu membuat pangkal jari kelingking Mbah Darso meneteskan
darah.
Luka itu sudah diobati oleh istrinya yang bernama Yuk Basingah. Anehnya semakin hari, luka itu
semakin melebar, dan bernanah serta berbau busuk.
Mbah Darso pun sering merasa sakit kepala hebat dan beberapa
kali disertai demam tinggi. Setiap demamnya kambuh, Mbah Darso berteriak-teriak
dengan ucapan kasar.
Sudah tiga kali Mbah Darso bawa ke rumah sakit di kota, namun
para dokter juga tidak bisa berbuat banyak. Pada akhirnya Yuk Basingah
memutuskan merawat Mbah Metro di rumah saja.
Yuk Basingah yang masih memendam rasa dengki terhadap Kakek,
mencoba memanggil kembali perewangan yang dimilikinya untuk mengirimkan
serangan kepada Kakek yang diduga telah membuat Mbah Darso mengalami sakit aneh,
namun karena sudah terlalu lama terbuai dengan kemewahan hidup dari Mbah Darso,
sesajen dan perawatan pusaka milik Yuk Basingah yang harusnya rutin digunakan pun
seringkali terabaikan, pada akhirnya dedemit perewangan Yuk Basingah pun pergi
dan tidak mau membantu Yuk Basingah lagi.
Semakin hari kondisi Mbah Darso semakin memburuk. Hampir tiap
malam Mbah Darso merajuk kesakitan.
Luka di tangannya semakin lebar, dan beberapa kali ditemukan
belatung yang menggerogotinya.
Yuk Basingah yang pada awalnya selalu mendampingi dan bermanja-maja,
mulai bersikap dingin dan judes pada Mbah Darso. Dia tidak tahan dengan keadaan
Mbah Darso yang mulai mengalami kemunduran ekonomi karena satu persatu tanahnya
habis terjual untuk pengobatan. Motor gede kebanggaan Mbah Darso juga sudah tergadai.
Luka yang pada awalnya berada di sekitaran tangan kini
menjalar sampai hampir ke siku. Di punggung Mbah Darso, muncul pula luka baru yang
bernanah dan berbau sama seperti luka pada tangannya.
Keadaan yang memburuk membuat Yuk Basingah tidak tahan lagi. Sambil
memaki-maki Mbah Darso yang terbaring lemah, dia mengemasi barang-barang dan
hendak pulang ke rumahnya. Mbah Metro hanya terdiam sambil menitikan air mata.
****
Dua minggu kemudian tepatnya di awal tahun 1975, Mbah Metro
menghembuskan nafas terakhir di rumahnya. Lelaki tua itu berakhir dengan
keadaan yang mengenaskan. Terdapat luka terbuka di beberapa bagian tubuh yang
mulai dikerubuti belatung, serta mulut menganga lebar dengan mata yang melotot.
Bau busuk menyelimuti tubuhnya hingga seluruh ruangan pun ikut bau.
Tetangga dan para penggarap sawah milik Mbah Metro
berdatangan sambil menutup mulut dan hidungnya dengan kain atau sapu tangan.
Melihat jenazah Mbah Darso yang susah payah dibersihkan oleh
beberapa tetangga, membuat Kakek beristighfar sambil mengelus dada.
Belatung yang mulai banyak memang tidak terlalu sulit
dibersihkan, namun nanah yang terus menetes keluar cukup menyulitkan para
pemanis jenazah.
Butuh waktu kurang lebih satu jam memandikan dan membersihkan
jenazah Mbah Darso.
Setelah dimandikan dan dikafani, acara pemberangkatan jenazah
pun dimulai. Pak Dukuh membawakan acara dengan ringkasan cepat karena cuaca
mulai mendung dan bau jenazah Mbah Darso membuat perut terasa mual.
Yuk Basingah yang ikut mengiringi jenazah, tampak bersikap
dingin dan tidak memperlihatkan kesedihan sama sekali.
****
Kakekku yang waktu itu adalah salah satu pembawa keranda
jenazah semakin keheranan. Kakek merasakan berat, sehingga berjalan agak
sempoyongan, padahal ketika meninggal, tubuh Mbah Darso sangat kurus dan
keranda jenazah yang dipakai juga berbahan bambu yang tidak berat.
Beberapa kali pembawa keranda berganti orang dan setiap orang
yang baru saja diganti mengeluhkan beratnya keranda yang dipikul.
Ketika sudah sampai di pemakaman desa, Pak Kiai dan Pak Dukuh
mengarahkan agar beberapa warga turun ke liang terlebih dahulu untuk menerima
jenazah.
Bau busuk tidak hentinya keluar dari jenazah, membuat mual
setiap orang yang hadir di acara pemakaman tersebut.
Ketika jenazah hendak diturunkan, liang lahat terlihat kurang
panjang, posisi tumit Mbah Metro tidak bisa masuk. Jenazah pun ditaruh kembali
ke keranda dan dilakukan penggalian ulang untuk menambah panjang liang lahat.
Setelah digali, jenazah kembali diangkat untuk dimasukkan ke
liang lahat. Keanehan kembali terjadi, liang lahat yang sudah ditambah
panjangnya ternyata tidak muat ketika hendak dimasuki jenazah Mbah Darso.
Karena hari semakin sore, ditambah para pelayat yang sudah
lemas, ditambah bau busuk jenazah yang makin menyengat, maka jenazah Mbah Darso
pun dipaksakan masuk meski kakinya masih sedikit menekuk.
Yuk Basingah yang menyaksikan proses pemakaman suaminya tidak
berkata apa apa. Dia memandanginya dari pinggir liang saja.
Dengan susah payah, jenazah Mbah Darso pun dimasukkan dan
diposisikan sebagaimana mestinya.
Ketika bambu penutup terakhir sudah dipasang, dua warga yang
masih di dalam liang lahat bergegas naik ke atas.
Seketika mendadak terjadi gempa yang membuat warga
kocar-kacir dari kerumunan.
Yuk Basingah yang berdiri di pinggir liang lahat, jatuh ke
dalam dengan posisi tengkurap. Terdengar kencang ketika ia jatuh. Darah tampak
menetes di samping kepalanya.
Belum cukup sampai di situ, perlahan sisi samping kuburan
mulai longsor dan menutupi bagian yang lain. Secara perlahan Yuk Basingah yang
masih berada di dalam liang tidak mampu
berbuat apa apa.
Setelah guncangan terhenti, hawa panas keluar dari liang
lahat. Saking panasnya, hingga warga yang kembali datang tidak berani mendekat
dan justru mulai berhamburan menjauh.
Longsoran tanah pun makin menimbun jenazah Mbah Darso dan tubuh Yuk Basingah
hingga menghasilkan timbunan tanah yang tidak merata.
Sekitar 15 menit kemudian beberapa warga mencoba mendekat,
namun mereka menjauh kembali karena hawa panas masih terasa di sekitaran
timbunan tanah.
Merasa suasana semakin tidak kondusif serta hari yang sudah
beranjak senja, Pak Kiai dan Pak Dukuh pun memutuskan untuk membacakan doa
paling ringkas dan menyudahi acara.
Sepanjang perjalanan pulang tidak ada satu pun warga yang
berbicara. Mereka masih terlihat trauma dengan keanehan yang terjadi di depan
mata mereka secara langsung.
****
Tahun 1975, tahun di mana memori akan kejadian mengerikan itu
masih terbayang di ingatan Kakek dan Nenek. Riwayat hidup Mbah Darso pun
menjadi pembelajaran bagi warga, khususnya Kakek dan Nenek, serta dikisahkan ke
seluruh keturunannya, agar tidak sembarangan mengambil hak yang bukan haknya.
Sampai hari ini, timbunan tanah makam Mbah Darso masih tidak
ada perubahan. Tanah timbunan makam tampak tandus dan tidak ada rumput yang
tumbuh, sedangkan makam yang lain ditumbuhi rumput yang dirawat.
Tidak ada nisan, tidak ada pula sana saudara yang datang
berziarah.
Nenek berkata, “Mungkin ini pelajaran hidup yang didapat oleh
Mbah Darso, agar kita berhati-hati dalam berbuat dan tidak makan hak orang lain
dengan semena-mena.”
“Mensyukuri rezeki pemberian Tuhan adalah yang utama, karena
banyak sedikitnya rezeki, sudah diatur dengan sempurna oleh Tuhan yang maha
kuasa.”
SELESAI
No comments:
Post a Comment