KEMUNCULAN NINJA DI MANA TERJADI PEMBANTAIAN DUKUN
Fenomena Ninja yang pernah terjadi di tanah Banyuwangi dan ternyata fenomena ini bukan hanya ada di Banyuwangi.
Ada yang mengatakan jika di wilayah Jawa Barat bahkan di
Sumatera sempat juga terjadi fenomena Ninja, namun memang dari banyak sumber diperoleh
Ninja awalnya memang pertama kali muncul di Banyuwangi.
Kemunculan Ninja yaitu masa di mana para dukun mengalami
pembantaian.
Banyuwangi Kota Santet, sebenarnya julukan ini bukan tanpa
sebab, pada Februari tahun 1998 masyarakat Banyuwangi geger dengan masalah ini.
Orang yang dipercaya mempunyai ilmu santet jadi sasaran sekelompok orang yang
tidak dikenal. Sejumlah orang yang dituding dukun santet langsung dihabisi oleh
kelompok ini. Tiap rumah mereka yang disinyalir sebagai tempat tinggal dukun kemudian
diberi label tertentu.
Setelah peristiwa itu, Bupati Banyuwangi yaitu Purnomo Sidik
membuat rencana lain. Ia menulis dan mendata orang-orang yang masih memiliki
kekuatan magis atau dianggap dukun. Setiap orang di pasar, sesepuh desa, hingga
di lingkungan mana pun tak luput dari pendataan ini.
Dikutip dari harian Kompas yang terbit tanggal 14 Oktober 1998,
Ia menginstruksikan kepada semua camatnya untuk mengirim data tentang orang
yang dianggap dukun santet di wilayah itu dengan tujuan untuk menyelamatkan
mereka. Jadi justru tujuan awalnya adalah agar para dukun tidak diamuk oleh
masa.
Pesan dikirim lewat radiogram itu akhirnya bocor ke
sekelompok orang. Awalnya bertujuan untuk menyelamatkan orang yang diduga
sebagai dukun, malah menjadikan petaka tahap kedua bagi mereka.
Bocoran informasi ini akhirnya menjadi acuan bagi sekelompok orang
untuk membunuh para dukun.
Banyak orang yang menyebut kelompok itu sebagai Gerakan Anti
Tenung atau disebut juga dengan Gantung.
Pada tahap pertama terjadi pembantaian yang lebih masif. Pembunuhan
dilakukan oleh banyak orang, bahkan mereka datang dengan naik truk.
Orang yang sebelumnya telah terdaftar dalam radiogram
langsung ditangkap dan dibunuh di tempat. Keberadaan gerakan ini juga mendapat
dukungan dari masyarakat.
Informasi mengenai lokasi dan tempat tinggal didapat dari
masyarakat-masyarakat, seolah-olah percaya bahwa kelompok orang itu merupakan
utusan dari pemerintah.
Bicara mengenai pembantaian dukun santet, ada kisah dari
saksi mata yang mengalami kejadian
tersebut. Sebut saja namanya Ahmad, dan ini adalah nama samaran.
Ahmad tidak ingat lagi baik bulan, tanggal, maupun harinya. Yang
masih ia ingat tahun kejadiannya saja.
Geger dukun santet yang terjadi tahun 1998 silam atau 25
tahun yang lalu, tragedi ini masih ada yang bisa ia ingat. Tahun itu ia masih
duduk di kelas 2 SMA.
Hidup di kalangan mayoritas, di tempat tinggalnya ada dua tokoh
kiai yang menjadi panutan warga. Kiai di bagian selatan sungai dan satunya lagi
di bagian utara sungai.
Beberapa tahun sebelum tragedi Ninja terjadi sang kiai
Selatan sudah wafat terlebih dahulu.
Praktis tersisa satu kiai di bagian utara. Ia sendiri beserta
keluarganya tinggal di lingkungan selatan sungai, dan di awal kejadian tragedi
Ninja banyak korban yang katanya dukun santet dibantai, dibunuh dengan kejam,
dan saat itu seolah-olah masyarakat sepakat dengan itu.
Ia sendiri pun pernah menyaksikan bagaimana orang yang
dituduh dukun santet dihabisi masa dengan brutal. Ia menyebut kejadian itu
lebih dari sebuah kebiadaban. Tepat terjadi saat ia melintas bersepeda motor di
jalan raya, persis di depan warung, tampak laki-laki paruh baya terkapar dengan
tangan terikat dan diseret sepeda motor.
Tubuh sang korban tak berdaya dan berguling-guling di jalan
aspal. Sekejap pemandangan mengerikan itu masuk ke penglihatannya yang membuat otaknya
mati beberapa saat. Terlalu vulgar untuk diceritakan dan dikenang.
Kira-kira 500m berlalu, iring-iringan pun akhirnya berhenti
di salah satu kuburan desa. Jasad pria itu pun akhirnya diletakkan begitu saja
di sana.
Menyaksikan kejadian tersebut, air mata tak sadar menetes. Kaki
dan tangan gemetar luar biasa, tak kuasa menahan kengerian yang tak disangka-sangka
datangnya.
Waktu terus berlalu, namun teror Ninja tidak juga reda,
bahkan semakin merajalela.
Saat itu di sekolah tersiar kabar bahwa bukan hanya dukun
santet saja yang dibunuh. Ulama, kiai, dan juga tokoh-tokoh kampung, juga
diserang maupun dibinasakan. Penyerangnya disebut sebagai Ninja.
Yang tinggal di lingkungan santri, akhirnya resah dan marah. Yang
semula malam hari hanya dalam rumah, kini berani keluar malam untuk berjaga menjaga.
Ibu dan adik perempuannya di saat saudara laki-lakinya di
pos-pos jaga utama, banyak laki-laki yang merepresentasi dengan cerita-cerita
teror Ninja yang konon sakti luar biasa.
Ninja ini bisa menempel di dinding, masuk lewat celah sempit,
melompat dengan tinggi, bahkan bisa menghilang ketika dikejar-kejar.
Ia mendengar kehebatan Ninja tersebut. Mereka pun mulai
mencari ilmu kebal kepada para guru, berharap dengan ilmu kesaktian instan itu
mereka mampu melawan kekuatan Ninja termasuk Ahmad sendiri.
Memang sudah tidak rasional lagi karena kondisinya pun sangat
kacau membuat logika orang waras dipaksa berlaku surut.
Para pria, baik dewasa maupun remaja, keluar-masuk kamar mandi
yang terbuka langsung disambut dengan tebasan pedang oleh seorang laki-laki tua
berkopiah, dan ajaibnya hanya bajunya saja yang sobek, sedangkan kulit tetap
utuh.
Entah kenapa di dalam sekejap mereka merasa menjadi pria yang
gagah siap melindungi dan membela ulama dan kiai panutannya.
Tidak sampai di sini saja, beberapa bahkan diam-diam mencoba
mempertebal ilmu dengan menemui guru-guru yang lain, menjalani ritual mandi,
berendam di sungai, dan puasa selama 40 hari.
Mengingat hal tersebut Ahmad merasa konyol memang, meski
demikian selama teror Ninja tersebut ia tak pernah berhadapan langsung dengan Ninja,
bahkan sekedar melihat pun tak pernah.
Tetapi ada juga pengakuan dari teman-teman yang mengaku
pernah mengejar dan melihat langsung.
Terlepas dari rasa penasaran ia bersyukur, ia dan keluarganya
selamat dari tragedi tersebut, tragedi ini menelan korban dengan catatan
beragam versi.
Ada perbedaan jumlah korban antara versi pemerintah dan juga
versi Tim Pencari Fakta atau disebut juga dengan TPF.
Versi pemerintah merilis ada 115 korban jiwa yang tersebar di
20 Kecamatan, sedangkan TPF dari NU korban yang meninggal lebih banyak yaitu 147 jiwa.
Pada Desember 2019, tim kembali membuka investigasi dari kasus ini
dengan memberikan pengaduan kepada Komnas HAM, tujuannya agar peristiwa
tersebut bisa diurai sedalam-dalamnya bisa dibagikan ke pengadilan dan keluarga
korban yang tertuduh sebagai dukun santet, bisa dibersihkan nama baiknya, namun
hal ini terkendala dari keluarga korban yang sudah tidak mau lagi jika kasus
ini dibuka.
Keluarga korban meminta
atas kejadian tersebut dan tidak menginginkan aktor dari peristiwa tersebut
diadili.
No comments:
Post a Comment