PENGHUNI BERINGIN ANGKER BAGIAN 4
CERITA PILU DI UJUNG KISAH
BAGIAN 4 TAMAT
Setelah perang gerilya
dinyatakan bubar, para pejuang daerah disarankan untuk bergabung ke dalam
organisasi perjuangan.
Sutopo memilih pulang
dan menemani istrinya hingga lahirlah anak pertama mereka.
Sutopo menepis prasangka buruknya. Dia menunjukkan rasa cinta
dan sayang pada Saripah yang teramat sangat.
Tanggung jawab sebagai suami juga dilaksanakan sesuai
kemampuan hingga lahirlah anak lelaki yang membuat semua orang bergidik saat
melihatnya.
Wajah sang bayi sangat sangar dengan seluruh badan dipenuhi
bulu lebat layaknya monyet, hanya saja bulu tersebut ukurannya lebih besar
daripada bulu manusia.
Saat lahir pun tidak menangis layak bayi lain.
Warga pun menggunjing jika bayi tersebut adalah anak
genderuwo.
Sebisa mungkin Sutopo menerima keadaan, begitu pun dengan Saripah,
mereka bersepakat akan mendidik putra mereka yang diberi nama Druwo.
Meskipun gunjingan terus berlanjut, menginjak usia satu tahun semua bulu di tubuh
rontok, namun masih ada beberapa bagian tubuh yang mana bentuknya melingkar
seperti tompel dengan bulu lebat dan di saat itu pula Mariono mendadak lemah
tak berdaya.
Mariono menjadi lumpuh dan bisu.
Semua berawal tepat satu tahun, di waktu yang sama Mariono
yang memotong kayu di rumah untuk dijual mendadak merasa sangat lelah, seluruh
sendinya sakit dan nyeri begitu pun dengan kakinya yang kaku.
Dia pun hanya mampu berbaring di tempat tidur.
Saat istrinya membangunkan, dia tidak segera bangun hanya
tangannya yang terjulur hendak menggapai sang istri dengan tanpa mengeluarkan
kata-kata dan secara tiba-tiba tangannya semakin melemah tidak bertenaga.
Istrinya semakin panik saat Mariono membuka matanya, lelaki
itu tidak dapat berucap apa pun, sedangkan nafasnya tersengal-sengal. Semenjak
itu Mariono menjadi bisu dan lumpuh.
Setiap malam selepas isya, wajahnya terlihat gelisah
ketakutan dengan keringat dingin mengucur karena takut, maka istrinya segera
menemui Sabdo.
Begitu melihat kondisi kawannya, Sabdo tidak bisa berbuat
banyak, dia hanya berpasrah sambil berucap, “Rasakno. Sombongmu wektu semono wes dibayar dino iki.”
Sabdo melanjutkan bahwa bayi genderuwo sudah lahir dan kelak
jika usianya sudah 5 tahun maka anak itulah yang akan menyembuhkan Mariono.
Sabdo mengakui aura negatif yang menjalar dan dia tidak mampu
melawannya. Menurutnya, sate gagak yang telah dibuang secara sembarangan
menjadi penyebab semua dendam tersalurkan.
Sebelum beranjak pulang, Sabdo berjanji akan berusaha melepas
jerat gaib tersebut, tapi dia tidak berjanji mampu karena dia juga menjaga
keselamatannya sendiri.
****
5 tahun berikutnya.
Druwo sudah beranjak di usia 5 tahun.
Nafsu makannya 5 kali
lebih besar dari manusia biasa. Dia tidur sekitar 2 jam dalam sehari semalam,
dua kali buang air kecil dalam sehari, dan dua kali buang air besar dalam
sebulan, juga belum bisa berkata apa-apa justru bahasa yang tidak dimengerti
yang selalu keluar dari mulutnya sehingga dia kesulitan untuk berkomunikasi.
“Opo benar yen Druwo kui anake genderuwo?” tanya Saripah saat
Sabdo bertamu ke rumahnya.
“Cubo dieling-eling yen semono mesti kue ngalami keanehan,”
ucap Sabdo yang membuat Saripah kembali ke masa lalu.
Hatinya tidak bisa memungkiri, beberapa malam dia mencapai
kepuasan batin sebelum kisruh akan kematian penebang yang melanda pohon
beringin dan mungkin itulah yang dimaksud Sabdo.
Sejenak Saripah memandangi putranya dan bagaimanapun wujud Druwo,
anak itu tetap darah dagingnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan sang buah hati
meski buruk rupa.
Selama ini dia dan suami sangat menyayangi Druwo, meski anak
lain menjauhi.
“Mengko yen Kang Sutopo balik tak jak teng daleme Sampean yo,
Kang?”
Akan tetapi, Sabdo memilih menunggu kepulangan Sutopo agar bersama-sama
menuju rumah Mariono untuk melakukan pengobatan.
****
Kabar tentang Druwo yang berhasil menyembuhkan Mariono
menyebar luas dari mulut ke mulut.
Satu persatu tamu berdatangan untuk minta bantuan pada Druwo
dan kekuatan yang dimiliki mampu mengabulkan hajat mereka hingga suatu malam
mereka merasa kehilangan sosok Druwo.
Mendadak anak kecil itu menghilang tanpa ada yang tahu ke mana
raibnya.
Sutopo dan Saripah menyisir seluruh perkampungan, tapi tidak
ditemukan putra kesayangan mereka.
Bersamaan dengan itu secara berbarengan Mariono meninggal
secara mendadak.
Mariono ditemukan tercebur sumur saat menimba air. Lelaki
yang baru beberapa minggu sembuh itu tewas di dalam sumur.
Sedangkan Sabdo meninggal tertimpa dahan pohon saat melintas
di pinggiran hutan. Sebuah dahan pohon bacang yang tidak terlalu besar patah, Sabdo
yang tidak sempat menghindar tengkuknya pun terhantam.
Meski ukuran dan tidak besar, namun Sabdo meninggal dunia seketika.
Bukan hanya dua lelaki itu saja, beberapa orang yang meminta
bantuan pada Druwo juga meninggal secara berurutan.
Warga menjadi ketakutan dengan peristiwa demi peristiwa yang
terjadi. Mereka takut jika ikut dijadikan korban keganasan anak genderuwo itu.
Melihat suasana yang semakin semrawut, Sutopo pun teringat
dengan Supangat kawan bergerilya yang mana Supangat pernah bercerita bahwa ada
seorang ustaz di desanya. Ustaz kampung itu memiliki keilmuan di atas rata-rata.
Supangat pernah bercerita bahwa sang ustaz pernah diserang
oleh centeng Kompeni di tempatnya mengajar mengaji.
Semua orang melihatnya dibunuh dengan keji lalu mayatnya
dibuang begitu saja, namun pada keesokan harinya sang ustaz sudah ada di Surau
dalam keadaan sehat. Sejak saat itu para centang Kompeni berpikir dua kali
untuk menangkapnya.
Sutopo pun akan berangkat minta bantuan Supangat untuk
menemui sang ustaz.
Langkah Sutopo tidak salah, meski jauh di luar kabupaten, dia
tetap menemui sang ustaz yang dikenal dengan nama Ustaz Sopyan.
Berkat beliau kondisi kampung Sutopo menjadi tenang kembali.
Hanya dengan dua kali saja beliau melakukan ritual dan sejak
saat itu warga kampung Sutopo yang semula tanpa kepercayaan mulai mendalami
ilmu agama.
Ustaz Sopyan berpendapat, bahwa perkawinan antara jin dan
manusia bisa saja membuahkan keturunan, itu pun diakui oleh beberapa ulama.
“Yang lebih penting adalah menanamkan keyakinan bahwa siapa pun
anak genderuwo itu selama dia berwujud manusia maka dia sama dengan orang lain,
sama-sama manusia yang hanya mempunyai kemampuan sebagaimana manusia lainnya,
namun jika dia menjelma tak kasat mata dan menampakkan wujud di dunia manusia,
saat itulah titik terlemahnya.”
“Betapa pun saktinya sosok jin, dia akan lemah di tempat yang
bukan dunianya.”
“Jadi, jangan pernah takut apabila jin masuk ke alam manusia.”
“Seperti pernyataan Imam Mujahid, engkau melihat setan menampakkan
diri kepadamu dan berwujud apa saja maka usirlah dia. Ambil Benda apa saja dan
lemparkan kepadanya sambil membaca bismillah.”
Ustaz Sopyan juga memberi pencerahan, beliau menguatkan para
warga dengan berucap, “Seluruh Jin yang ada akan mati dan kita dapat membunuhnya
jika kita mau saat mengganggu kita.”
“Allah telah memberikan senjata. Salah satunya yaitu surah Al-baqarah
ayat 255.”
“Dengan membaca doa dari surah itu kita bisa membakar setan
serta menghanguskannya.”
“Terdapat banyak kisah setan yang dapat dibunuh serta terbakar
yang dapat dilihat pada kitab-kitab atau dalam hadis-hadis nabi yang Shahih.”
Penjelasan Ustaz Sopyan menjadi renungan tersendiri bagi
warga kampung.
Mereka semakin yakin akan terjauh dari gangguan jin dan setan
dengan cara meningkatkan iman dan mereka yakin jika jin jahat yakni sosok
genderuwo telah melakukan kesalahan besar terhadap mereka, menjadikan orang
yang terjauh dari agama.
****
Di tengah bangsa ini
mencari cara meraih kemerdekaan, Saripah dan Sutopo kembali diberi kebahagiaan.
Saripah telah hamil menginjak 2 bulan.
Mereka berharap semuanya akan baik-baik saja.
Biarlah kisah Druwo menjadi kenangan pahit, sosok yang
diyakini sebagai anak genderuwo.
No comments:
Post a Comment