PENGHUNI BERINGIN ANGKER
DISETUBUHI GENDERUWO
BAGIAN 1
Pekat malam bergerak semakin naik.
Tidak tampak rembulan yang biasa memberi cahaya temaram,
terkalahkan oleh gumpalan mendung yang bertengger di ujung cakrawala.
Setelah sekian lama terpaku dengan tatapannya yang kosong, Saripah
menyudahi lamunannya kemudian beranjak masuk ke dalam.
Perlahan diusap air mata dengan ujung baju.
Pikirannya sedang kalut karena baru saja melepas seseorang
yang dia sayangi, mungkin dalam jangka waktu yang lama. Orang tersebut adalah Sutopo
suaminya.
Saripah seakan tidak rela berpisah dengan belahan jiwanya itu.
Sungguh sesuatu hal yang berat baginya karena baru sebulan
setengah mereka melangsungkan pernikahan, kini Sutopo harus kembali bergabung
dengan para pejuang lain demi misi merebut kemerdekaan.
Saripah melangkah gontai menuju ranjang bambu dengan tikar
anyaman pandan sebagai alas, dia langsung merenggut bantal.
Khayalan untuk bersama dalam jangka waktu lama seakan pupus. Sutopo
masih memiliki jiwa pejuang yang setiap waktu malaikat pencabut nyawa
mengintainya.
Meskipun sebelum menikah sudah ada pertimbangan matang, namun
pada kenyataannya sangat sulit diterima, kini perasaan waswas akan selalu
menghantuinya sebagai istri seorang gerilyawan.
Dengan air mata yang kembali menetes dia menatap usuk bambu
kamarnya. Masih disimpan rasa rindu mendalam pada sang suami. Harapan Tak
henti-hentinya dipanjatkan hingga dia pun lelah dan pulas tidur.
Angin berembus pelan menerobos pori-pori dinding anyaman
bambu rumah Saripah hingga secara perlahan masuk ke dalam kamar tempatnya
terlelap.
Saripah pun terjaga dan berniat menutup pintu kamar agar wawa
dingin tidak memenuhi ruangan, namun niat itu diurungkan saat terdengar suara
derap kaki di luar rumah disusul kemudian dengan munculnya aroma ubi bakar yang
sangat menyengat.
Saripah yang penasaran segera menengok keluar rumah, namun
karena pekat malam dia tidak mampu melihat siapa pun di sana, hanya saja ada
sepasang cahaya merah yang berbentuk seperti bola api seolah bersembunyi di
balik pohon beringin besar di seberang jalan.
Perasaan semakin cemas, bergegas dia kembali masuk ke dalam,
namun dia dikejutkan dengan suara ketokan pintu sebelum masuk ke kamar.
Tok!
Tok!
Tok!
Ada jeda beberapa saat sebelum kembali terdengar suara
ketukan susulan.
Tok!
Tok!
Tok!
“Sopo kui!” Saripah bertanya dengan suara keras dan gemetar,
namun tidak ada jawaban.
Hal itu membuat Saripah semakin merasa takut.
Dia segera mengambil sabit sebagai senjata, bersiap jika ada
sesuatu hal yang tidak diinginkan karena pintu masih saja diketuk.
Tok!
Tok!
Tok!
Saripah melangkah menuju daun pintu.
Ada ketakutan luar biasa yang ia rasakan apalagi di
kampungnya jarak satu rumah dengan rumah lainnya sangat berjauhan ditambah lagi
suara lolongan anjing liar tentunya saling bersahutan meski begitu, dengan
memberanikan diri dia pun mengintip melalui celah pintu.
Dia tidak melihat dengan jelas siapa sosok di luar, namun
dari perawakan dan baju yang dikenakan jelas sekali kalau mirip dengan suaminya
dan meskipun ragu-ragu Saripah memberanikan diri untuk membuka pintu.
Krek ...
“Lho! Sampean, kok wes balik, Kang?” tanya Saripah begitu dia
mendapati sang suami berada di hadapannya.
Pria itu hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
Dia pun langsung masuk dan duduk di balen bambu ruang tamu,
nafasnya tersengal seakan telah berjalan kaki cukup jauh.
Melihat itu, Saripah langsung mengambil kendi dan gelas,
disuguhkannya pada sang suami Saripah sangat heran dengan apa yang dilihatnya, Sutopo
menenggak isi kendi sampai habis, padahal setahu dia suaminya selalu memakai
gelas setiap kali minum karena Sutopo pasti tersedak jika tanpa gelas.
Kembali Saripah berjalan ke dapur untuk mengambilkan pisang
rebus sisa tadi malam sekalian dia membuatkan teh panas untuk suaminya.
Memang selama menjalin hubungan asmara, Sutopo sering kali
pulang menjenguknya secara tiba-tiba apalagi kalau sedang kangen berat, hampir
setiap hari Sutopo mendatanginya. Mungkin dia curi-curi waktu dari
kawan-kawannya.
“Monggo, Kang,” ucapnya menyuguhkan dan hal aneh kembali Saripah
rasakan.
Hanya sekali minum, teh panas itu langsung habis, padahal Saripah
yakin Sutopo tidak tahan dengan makanan ataupun minuman panas, dia pasti
menunggu hangat baru meminumnya, itu pun hanya sedikit-sedikit saja, tapi kali
ini berbeda, begitu pun dengan pisang rebus, Sutopo melahapnya hanya dalam
sekejap.
Saripah hanya menggelengkan kepala. Dia menganggap kalau
semua itu akibat dari suaminya yang kelelahan karena berjalan jauh.
Di sisi lain Saripah berpikir kalau suaminya sedang dalam
bahaya mungkin saja pihak penjajah menyerbu markas dan mengejar para pejuang
termasuk Sutopo.
Sutopo berkata kalau kondisi markas aman, sedangkan alasannya
pulang adalah karena merasa kangen pada Saripah. Dia merasa kalau 6 minggu
belum cukup untuk berbulan madu dan hal itu juga dirasakan oleh Saripah.
Sejenak kemudian Saripah bangkit lalu memeluk suaminya dari
belakang, setelah itu dia beranjak menuju kamar tidur seperti halnya pengantin
baru lainnya.
Saripah juga mengharapkan waktu yang lebih untuk bersama,
tapi dia tidak menyangka jika Sutopo mengulur waktu untuk berlayar dalam
samudra cinta. Saripah berpikir kalau suaminya itu mungkin akan mandi terlebih
dahulu di sumur belakang rumah.
Mendadak aroma ubi bakar kembali datang menyengat dan
bersamaan dengan itu, Saripah merasakan suaminya masuk.
Dalam erotika kamasutra, Saripah merasakan ciuman hangat
menyentuh leher dan punggung lalu beranjak pada bagian tubuh lain.
Saripah terus memejamkan mata saat Sutopo terus bermandikan
peluh di atas tubuhnya.
Saripah merasakan nikmat luar biasa, terlebih suaminya kali
ini sangat bersemangat, tapi meski mendapat sensasi luar biasa, Saripah tetap
dalam posisi terbungkam, sama sekali dia tidak bisa membuka mata dan hanya bisa
mendesah. Dia hanya merasakan kalau suaminya jauh lebih perkasa malam itu.
Kokok ayam bersahutan membangunkan Saripah. Dia bangkit
dengan menyambar jarit sebagai selimutnya ketika mendapati dalam keadaan tidak
berbusana. Sedangkan sang suami tidak tampak berada di ranjang bambu, dia
berpikir kalau suaminya mandi terlebih dulu, tapi suasana sumur sepi tidak
terdengar suara seseorang beraktivitas di sana.
Saripah pun langsung menuju sumur untuk membersihkan diri
sebelum membuat teh panas untuk suaminya.
Pada akhirnya teh itu pun menjadi dingin karena Sutopo tidak menampakkan
diri.
Saripah berpikir jika suaminya telah pergi tanpa pamit waktu
dia masih tertidur nyenyak. Bisa saja Sutopo tidak mau mengganggu lelapnya.
Saripah pun kembali menyibukkan diri seperti biasa,
membersihkan kamar mandi, hingga halaman rumah, barulah kemudian mencuci.
Saat aktivitas dimulai di kamar tidur, dia merasa heran
dengan apa yang ditemui.
Tampak layak rambut dengan ukuran tidak biasa berceceran di
ranjang. Rambut yang lebih besar dari milik manusia itu menebarkan aroma tidak
sedap.
Saripah hampir muntah dengan bau yang menusuk tersebut.
“Uek!”
“Uek!”
Setelah dibersihkan dan memberi wewangian daun salam, Saripah
duduk termangu di teras rumah. Dia merasakan nyeri di sekujur tubuh seakan
telah ditindih sesuatu yang besar juga berat, dia juga menemukan memar di
bagian badan dan lengannya.
Saripah pun kembali mengingat peristiwa semalam di mana
kenikmatan luar biasa telah ia dapatkan dan dia tidak mengingat apa pun selain
wajah suami tercinta.
Saripah menepis semua pikiran aneh lalu kembali menyibukkan
diri.
Belum lama ia menyapu pelataran rumah tampak Pakde Joyo, pemilik
pohon besar di seberang jalan.
Beberapa kali tetangganya itu mengitari pohon beringin tua
dengan akarnya yang menjuntai seperti mencari celah yang tepat untuk memangkas.
“Wonten nopo toh, Pakde?” tanya Saripah.
Pakde Joyo menjawab Kalau pohon tersebut akan ditebang esok
hari.
No comments:
Post a Comment